Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT puluh lima dokumen terserak di antara 11,5 juta dokumen Panama Papers. Jika dicetak, tebalnya lebih dari setengah rim kertas. Semuanya terkait dengan aktivitas perusahaan offshore milik pengusaha Edi Yosfi.
Ada setidaknya empat perusahaan di berkas Panama yang terkait dengan Edi: Saxenburg Enterprises Ltd, Palomino Energy Ketapang Limited, Hollingsworth Group Ltd, dan Kingswood Capital Ltd. Empat perusahaan tersebut didaftarkan oleh firma hukum Mossack Fonseca dan beralamat sama: Akara Building, Tortola, British Virgin Islands.
Dihubungi pada Kamis pekan lalu, Edi enggan berkomentar tentang aktivitasnya di perusahaan cangkang tersebut. "Saya sedang umrah," kata Komisaris Utama PT Adiperkasa Citra Lestari ini kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Awal April lalu, Edi, yang dikenal dekat dengan petinggi Partai Amanat Nasional semisal Hatta Rajasa dan Amien Rais, membenarkan pernah terdaftar sebagai pemilik perusahaan. "Dulu memang pernah bikin untuk beli perusahaan di sana, tapi tidak jadi," katanya. "Kami sudah tutup juga perusahaan tersebut sekitar 2008-2009."
Nyatanya, dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan bahwa aktivitas Edi terekam sejak 2005 hingga 2013. Pada Juli 2005, misalnya, Edi dalam surat yang ditujukan ke Saxenburg Enterprises Ltd menyatakan dirinya sebagai direktur tunggal perusahaan tersebut. Dia tercatat memiliki 50 ribu lembar saham, masing-masing senilai US$ 1.
Sedangkan pada 2013, Edi, dalam surat berjudul "resolusi direktur tunggal", menyatakan agen yang mewakili perusahaannya untuk mengurus berbagai persoalan hukum dialihkan ke MMG Trust. Tanda tangan Edi tercatat jelas di situ.
Uniknya, beberapa aktivitas di perusahaan Edi terbilang superkilat. Pada 9 Juli 2010, misalnya, Edi menyatakan menjadi Direktur Kingswood Capital Ltd. Tapi, selang beberapa saat kemudian, masih pada hari yang sama, Edi mengirimkan surat pengunduran diri sebagai direktur.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan pebisnis tak melulu melakukan kejahatan dengan mendirikan perusahaan di negara yang menjadi suaka pajak. Ada kemungkinan pengusaha memang menggelar aksi korporasi biasa. "Meskipun bisa juga untuk menghindari pajak atau menyembunyikan aset dari kegiatan ilegal seperti korupsi," kata Yustinus. "Dua kegiatan itu paling sering menjadi modus."
DOKUMEN Panama Papers penuh dengan data tentang aktivitas lebih dari 200 ribu perusahaan cangkang yang didirikan firma hukum Mossack Fonseca. Dokumen yang diperoleh oleh surat kabar Jerman Suddeutsche Zeitung tersebut kemudian diinvestigasi oleh organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, yang bekerja sama dengan hampir 400 jurnalis dari seluruh dunia, termasuk wartawan Tempo di Indonesia. Dari penelusuran sejak Agustus tahun lalu, Tempo menemukan tak kurang dari 899 nama politikus, pejabat, ataupun pengusaha negeri ini dalam pendirian perusahaan di negara suaka pajak.
Heru Lelono, misalnya. Anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2014 ini tercatat menjadi direktur di perusahaan cangkang Star Energy Enterprises Ltd, dengan alamat sama seperti perusahaan Edi Yosfi. Heru berbagi saham senilai US$ 100 dengan Itek Bachtiar dan Iswahyudi. Tanda tangan mereka tertoreh pada 10 Mei 2007.
Berdasarkan dokumen Panama Papers, pada April 2008, Heru juga tercatat bersama Itek dan Iswahyudi menjadi Direktur Sarana Harapan Indocorp Ltd, yang didaftarkan di gedung yang sama dengan Star Energy Enterprises Ltd. Ihwal dua perusahaan tersebut tak tercantum dalam dokumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dari Heru Lelono yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Heru menyangkal memiliki perusahaan cangkang. Dia menyatakan tak pernah memiliki perusahaan apa pun. "Setelah bertugas sebagai staf khusus, saya hanya ikut usaha dengan teman di Madiun, PT Mitra Maharta, yang membuat mesin pemanen padi," ujar Heru melalui pesan pendek. Heru meyakini namanya dicatut untuk pendirian perusahaan di Gedung Akara tersebut.
Meski begitu, dia mengaku mengenal Itek dan Iswahyudi. "Kalau tidak salah, mereka agen konsultan perminyakan." Iswahyudi, kata Heru, pernah juga menjadi asisten staf khusus di Istana. Sejak tak aktif di lingkaran kekuasaan, bekas Komisaris BRI tersebut menyatakan tak pernah lagi berkomunikasi dengan Itek dan Iswahyudi.
Itek belum bisa dimintai tanggapan. Tempo mendatangi kantornya di Plaza Bapindo, Jalan Sudirman, Jakarta. Tapi petugas di sana menyatakan Itek sudah pindah kantor. Sedangkan Iswahyudi tak lagi tinggal di alamat yang tertera di perusahaan cangkang. Saat Tempo mendatangi rumahnya di Jati Sampurna, Bekasi, Widodo, pemilik rumah, mengatakan Iswahyudi pindah ke Garut, Jawa Barat, sejak tiga tahun lalu.
Selain Heru Lelono, tercatat nama Banyu Biru Djarot di Panama Papers. Putra politikus Erros Djarot yang juga aktif menjadi relawan pendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini terdaftar sebagai direktur dua perusahaan cangkang. Bukan hanya tanda tangan, salinan paspor Banyu Biru pun muncul dalam Panama Papers.
Pada 11 Maret 2014, Banyu Biru menjadi direktur di MSP Holdings Ltd. Tiga tahun sebelumnya, dia menjadi Direktur Ramba Energy Indonesia Limited. Dua perusahaan itu beralamat di Akara Building, Tortola, British Virgin Islands. Banyu Biru tak menjawab telepon ataupun pesan pendek permintaan wawancara Tempo.
Nama lain yang juga tercatat menjadi direktur di perusahaan yang berkantor di Gedung Akara adalah Muhammad Reza Ihsan Rajasa. Dia menyatakan sebagai direktur perusahaan Hazel Century Limited pada 15 Mei 2012, dengan sahamnya seharga US$ 1. Kala itu, ayah Reza, Hatta Rajasa, menjabat Menteri Koordinator Perekonomian. Tapi kepemilikan perusahaan cangkang di luar negeri ini tak tercantum dalam LHKPN yang diserahkan Hatta ke KPK.
Pada hari yang sama, Hazel Century juga menyatakan menjadi pemilik saham dari Dovela Inaurate Inc, yang juga berkantor di Akara. Dalam dokumen tersebut tercantum tanda tangan Reza Rajasa. Reza mengatakan semula Hazel Century Limited didirikan untuk mengundang investor dari luar negeri. Saat itu, perusahaan jasa kontraktor pengeboran minyak dan gas bumi miliknya juga mencari peluang pengeboran di luar negeri.
Menurut Reza, perusahaan tersebut tak pernah mendapat peluang di luar negeri. "Hazel Century tak pernah aktif sejak berdiri. Tak ada aktivitas apa pun," katanya melalui pesan pendek. Dia membantah kabar bahwa perusahaan cangkang tersebut didirikan untuk menghindari pajak.
Dibandingkan dengan Reza dan Banyu Biru, jejak anak sulung Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Anindya Novyan Bakrie, jauh lebih awal soal urusan mendirikan perusahaan cangkang. Chief Executive Officer PT Bakrie Global Ventura tersebut terdaftar di Serenata Shipping Limited SA, yang beralamat di Panama, pada Desember 2004. Saat itu Aburizal menjabat Menteri Koordinator Perekonomian di kabinet Yudhoyono. Ihwal ini tak dicantumkan dalam LHKPN Aburizal.
Jabatan untuk Anindya Bakrie di situ adalah direktur dan presiden. Saat itu usianya masih 30 tahun dan menjabat Presiden Komisaris PT Cakrawala Andalas Televisi. Tak jelas benar aktivitas yang dilakukan perusahaan yang didirikan pada akhir 1982 tersebut. Informasi yang tersedia di dokumen Panama ataupun Internet pun minim. Belakangan, nama Anindya tak muncul lagi sebagai direktur di perusahaan tersebut.
Anindya belum bisa dimintai tanggapan. Dia tak membalas pesan yang dilayangkan Tempo. Juru bicara keluarga Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, mengklaim tak ada yang salah dengan langkah Anindya mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri. Menurut Lalu Mara, kegiatan Presiden Komisaris PT Bakrie Telecom Tbk itu hanya aktivitas bisnis biasa. "Tahun 2004 kan Bakrie Group masih mencari uang. Nah, perusahaan itu untuk menarik dana dari luar," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Golkar ini.
Lalu Mara membantah tudingan bahwa perusahaan cangkang tersebut untuk menghindari pajak yang tinggi. "Jangan curiga terus sama pengusaha. Peran kami besar untuk membangun ekonomi negeri ini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo