Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMADIKUN Hartono turun perlahan dari tangga pesawat Vista Jet yang baru mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Raut mukanya datar, kontras dengan senyum ramah tiga kru pesawat yang berjejer rapi di samping pintu jet carteran dari Cina itu.
Samadikun, terpidana perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menjadi buron sejak 2003, berjalan di belakang Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, yang turun lebih dulu. Mereka beriringan menuju ruang very very important person (VVIP) bandara di Jakarta Timur itu. Tak ada pengawalan ketat. "Dia kooperatif," kata Sutiyoso, Kamis pekan lalu.
Menurut Sutiyoso, Samadikun tak melawan sejak ditangkap di Shanghai pada Kamis malam dua pekan lalu. Penangkapan Samadikun oleh otoritas Cina, kata dia, atas permintaan Badan Intelijen Negara. Ia menyatakan setahun terakhir tim khusus BIN berfokus mencari pemilik dan mantan Komisaris Utama Bank Modern itu.
Sutiyoso mendapat info awal pada 7 April 2016. Kala itu, dia diundang pemerintah Cina untuk menjadi pembicara dalam sebuah acara. Sutiyoso mendapat informasi intelijen bahwa Samadikun akan kembali ke Shanghai untuk menonton balap Formula One. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Sutiyoso, yang bertemu dengan pejabat setara dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Cina, meminta dukungan untuk menangkap lelaki 61 tahun itu.
Sewaktu kembali ke Indonesia, Sutiyoso menugasi satu tim anggota BIN ke Shanghai untuk mengawasi lokasi yang biasa disinggahi Samadikun. Sebelum tertangkap, Samadikun terpantau berkunjung ke rumah anaknya di suatu kawasan di Shanghai. Dalam perjalanan balik dari rumah anaknya itulah, menurut Sutiyoso, Samadikun ditangkap polisi Cina atas permintaan BIN.
Itu cerita penangkapan versi Sutiyoso. Ada versi lain yang agak berbeda.
Menurut seorang penegak hukum yang mengetahui informasi penangkapan dari otoritas Cina, Samadikun ditangkap bukan atas permintaan pemerintah Indonesia. Ceritanya, pada Kamis malam, 14 April lalu, petugas imigrasi Cina mendapati seseorang yang akan masuk ke Shanghai dari Vietnam. Lelaki yang sama terpantau lima kali ganti paspor ketika masuk ke Shanghai dengan rute yang sama. Menurut si penegak hukum, Samadikun sebulan sekali ke Shanghai untuk mengunjungi anak dan cucunya. Samadikun juga punya perusahaan di Shanghai yang dikendalikan anaknya.
Pemerintah Indonesia dalam setahun terakhir memantau pergerakan Samadikun. Meski sudah mendeteksi pola pergerakan dia, kata penegak hukum tadi, pemerintah Indonesia tak bisa langsung meminta bantuan aparat Cina untuk penangkapan. "Cina itu negara yang tak bisa diminta ini dan itu," ujarnya.
Karena curiga, petugas imigrasi Cina mencocokkan data mereka dengan nota merah (red notice) yang telah dikirim Indonesia jauh-jauh hari. "Foto itu cocok dengan yang ada di red notice," kata sumber itu. Pemerintah Cina lantas mengontak BIN untuk memberitahukan tangkapannya. Samadikun, sementara itu, ditahan petugas imigrasi Cina untuk waktu tujuh hari. "Jadi penangkapan kemarin atas inisiatif mereka," ujar si penegak hukum.
Ketika Samadikun dicokok, Sutiyoso sedang berada di Jerman untuk menemani kunjungan Presiden Joko Widodo ke Eropa. Hingga 19 April lalu, Cina mengirim tiga utusan menemui Sutiyoso di London. Delegasi Cina memberi tahu pendiri Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia itu bahwa masa tahanan Samadikun akan berakhir tujuh hari.
Kalau tidak dikeluarkan sebelum masa penahanan habis, menurut Sutiyoso, prosedur pemulangan Samadikun akan panjang dan rumit. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu meminta izin Jokowi untuk terbang ke Shanghai. Tiba di Bandara Pudong pada pukul 02.00, Sutiyoso berkoordinasi dengan aparat Cina untuk menyelesaikan administrasi pemulangan Samadikun. Pada sore harinya, sekitar pukul 16.00 waktu setempat, Sutiyoso memboyong Samadikun menuju Jakarta dengan pesawat sewaan dari perusahaan asal Swiss. Lima jam kemudian, Sutiyoso bersama rombongan tiba di Ibu Kota. Dia menyerahkan Samadikun kepada Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.
Mahkamah Agung memvonis Samadikun empat tahun penjara pada 28 Mei 2003. Dia terbukti menyelewengkan dana BLBI Rp 169 miliar-dari total dana BLBI Rp 2,5 triliun yang diterima Bank Modern. Dari jumlah itu, yang menjadi tanggung jawab pribadi Samadikun sekitar Rp 11,9 miliar. Uang itu ia gunakan untuk investasi dan membiayai perusahaan dalam kelompok usahanya.
Kelompok usaha yang didirikan keluarga Samadikun pada 1970-an sempat jadi pemain utama bisnis perakitan kamera foto, percetakan, dan distribusi film di Indonesia. Namun mereka tersandung masalah karena ekspansi yang terlalu cepat ke bisnis real estate, perbankan, dan pariwisata. Depresiasi rupiah sewaktu krisis moneter 1997 menambah bencana bagi perusahaan itu. Sektor real estate mereka macet. Bisnis jasa keuangannya pun ambrol.
Vonis Mahkamah tak sempat dieksekusi lantaran Samadikun tak kembali setelah meminta izin berobat ke Jepang. Dari pelarian, Samadikun melakukan perlawanan hukum. Pada 28 Mei 2003, ia memberi surat kuasa kepada kantor pengacara Otto Cornelis Kaligis untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Namun Mahkamah menolak permohonan peninjauan kembali tersebut.
Ketika perkaranya masih di persidangan, Samadikun juga pernah meminta dispensasi atas pelarangan dia ke luar negeri. Alasannya, seorang anak Samadikun turut menjadi korban teror 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat. Dispensasi diberikan. Namun, waktu itu, Samadikun pulang lagi ke Indonesia.
Selama ini, menurut Sutiyoso, Samadikun sulit diendus keberadaannya karena lihai menyembunyikan jati diri. Samadikun punya lima paspor, tiga dari Gambia, sisanya dari Dominika. Tiap paspor punya nama dan identitas berbeda. Sewaktu ditangkap aparat Cina, Samadikun menggunakan paspor Gambia dengan nama Tan Jemi Abraham.
Pada masa penahanan Samadikun itulah pemerintah Cina mengontak pemerintah Indonesia. "Ada permintaan resiprokal dari Cina," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo membenarkan pernyataan Yasonna. Menurut Prasetyo, Cina sempat meminta Samadikun dibarter dengan warga negara mereka yang menjadi tersangka terorisme di Indonesia. Seorang lelaki dari etnis Uighur, suku mayoritas di Provinsi Xinjiang, ditangkap pada 23 Desember di Bekasi, Jawa Barat. Ia memakai kartu tanda penduduk Indonesia yang dipalsukan atas nama Ali. Polisi menemukan jejak bahan peledak di kamar kos Ali.
Pemerintah Indonesia menolak permintaan barter itu. Alasannya, menurut Prasetyo, Samadikun merupakan warga Indonesia yang melakukan kejahatan di negaranya sendiri. Sedangkan Ali warga Cina yang melakukan tindak pidana di Indonesia. "Ini tidak bisa, beda kasus," kata Prasetyo.
Adapun Sutiyoso membantah ada permintaan resiprokal dari Cina. "Enggak ada barter. Ini etika internasional," ujarnya.
Samadikun akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Kini dia mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, Samadikun berjanji membayar uang ganti rugi kepada negara. "Masih berkoordinasi dengan keluarganya," kata Arminsyah.
Sewaktu diperiksa di Gedung Bundar-sebutan kantor Jampidsus-Samadikun mengaku memiliki satu unit rumah di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat, dan tanah di kawasan Puncak, Bogor. "Jika dia tak mau membayar ganti rugi, kami tak segan menyita aset itu," kata Arminsyah.
Linda Trianita, Anton Aprianto, Ananda Teresia
Poco-poco Kasus BLBI
Penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan skandal terbesar di negeri ini. Bank sentral mengucurkan dana sekitar Rp 650 miliar untuk menolong 48 bank umum yang hampir kolaps ketika Indonesia digebuk krisis moneter pada 1997. Bantuan pemerintah malah diselewengkan oleh pemilik bank. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Rp 144,5 triliun dana BLBI, sekitar Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sejauh ini, baru segelintir pengemplang dana BLBI yang masuk bui. Pengusutan kasus yang bergulir sejak 1998 itu maju-mundur bak tarian poco-poco.
Masih Berkeliaran:
Sjamsul Nursalim
Bambang Sutrisno
Eko Adi Putranto
Agus Anwar
Lidya Muchtar
Tertangkap:
David Nusa Wijaya
Kasus: Bank Umum Servitia
Kerugian: Rp 1,29 triliun
Tempat pelarian: Singapura dan Amerika Serikat
Catatan: Diekstradisi dari Amerika pada 2006
Hukuman: 4 tahun penjara
Atang Latief
Kasus: Bank Indonesia Raya
Kerugian: Rp 325 miliar
Tempat pelarian: Singapura
Catatan: Kembali ke Indonesia dan menyerahkan diri pada 2006
Hukuman: Kasusnya hanya sampai di tingkat penyelidikan
Sherny Konjongiang
Kasus: Bank Harapan Sentosa
Kerugian: Rp 2,659 triliun
Tempat pelarian: Amerika Serikat
Catatan: Dideportasi dari Amerika pada 2012
Hukuman: 20 tahun penjara
Adrian Kiki Ariawan
Kasus: Bank Surya
Kerugian: Rp 1,5 triliun
Tempat pelarian: Australia
Catatan: Diekstradisi dari Australia pada 2014
Hukuman: Penjara seumur hidup
Samadikun Hartono
Kasus: Bank Modern
Kerugian: Rp 169 miliar
Tempat pelarian: Singapura, Vietnam, dan Cina
Catatan: Dideportasi dari Cina pada 2016
Hukuman: 4 tahun penjara
Sudah Dihukum:
Setiawan Haryono
Kasus: Bank Asia Pacific
Kerugian: Rp 408,184 miliar
Hukuman: Pengadilan negeri, vonis 5 tahun penjara.
Hendrawan Haryono
Kasus: Bank Asia Pacific
Kerugian: Rp 583,4 miliar
Hukuman: Kasasi, vonis 4 tahun penjara.
Supari Dhirdjoprawiro
Kasus: Bank Ficorinvest
Kerugian: Rp 315 miliar dan Rp 900 miliar
Hukuman: Satu setengah tahun penjara
S. Soemeri
Kasus: Bank Ficorinvest
Kerugian: Rp 315 miliar dan Rp 900 miliar
Hukuman: Satu setengah tahun penjara
Hendri Sunardyo
Kasus: PT South East Asia Bank
Kerugian: Rp 39 miliar
Hukuman: 10 bulan penjara
Jemi Sutjiawan
Kasus: PT South East Asia Bank› Kerugian: Rp 39 miliar
Hukuman: 8 bulan penjara
Bebas:
Kaharuddin Ongko
Kasus: Bank Umum Nasional
Kerugian: Penyimpangan Rp 6,738 triliun
Hukuman: Kasasi Mahkamah Agung menyatakan bebas
Leonard Tanubrata
Kasus: Bank Umum Nasional
Kerugian: Penyimpangan Rp 6,738 triliun
Hukuman: Kasasi Mahkamah Agung menyatakan bebas
Leo Andianto
Kasus: PT South East Asia Bank
Kerugian: Penyimpangan Rp 39 miliar
Hukuman: Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan bebas karena, sejak akhir 1994, Leo sudah tidak aktif sebagai direktur pemasaran dan kredit di bank tersebut.
Meninggal:
Hendra Rahardja
Kasus: Bank Harapan Sentosa
Kerugian: Rp 2,659 triliun
Tempat pelarian: Australia
Hukuman: Penjara seumur hidup
Catatan: Meninggal di Australia
Linda Trianita, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo