Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tarian Duterte dan Beijing

Filipina mendapat hadiah senjata dari Cina. Bagaimana Duterte membawa Manila makin rapat ke Beijing?

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tarian Duterte dan Beijing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA datang dalam lima kargo pesawat terbang militer Cina. Pesawat angkut jenis 17 Il-76 bikinan Rusia yang mampu mengangkut 48 ton kargo itu mendarat di Pangkalan Udara Clark di Pampanga, sebelah barat laut Manila, Filipina. Lambung pesawat itu lalu menganga dan memuntahkan puluhan tentara Cina berkaus biru dan bercelana loreng-loreng yang secara berpasangan mengusung kotak-kotak berwarna hijau.

Kotak itu berisi 3.000 senapan serbu dan 100 senapan penembak jitu yang disumbangkan pemerintah Cina kepada pemerintah Filipina. Sumbangan itu merupakan pertanda "hubungan persahabatan dan kerja sama" dari Negeri Panda. Ini juga menunjukkan mulai membaiknya hubungan Manila dengan Beijing.

Beberapa contoh senjata itu kemudian dibawa ke barak tentara Kamp Aguinaldo di Quezon, Manila, Kamis dua pekan lalu. Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Eduardo Ano, dan Duta Besar Cina untuk Filipina Zhao Jianhua mengecek senjata itu di hadapan sejumlah wartawan.

Menteri Lorenzana mengatakan senjata itu seharusnya untuk militer, tapi Presiden Rodrigo Duterte merasa polisi lebih membutuhkannya. "Kami beruntung pemerintah Cina memberikan senjata ini," katanya.

Menurut Duterte, senjata-senjata itu bernilai 50 juta yuan atau lebih dari Rp 102 miliar dan membuka era baru hubungan Filipina-Cina. "Kami hampir sekarat karena kekurangan senjata. Punya sahabat yang memahami kami seperti Cina itu sungguh-sungguh bagus," ujar Duterte.

Ambasador Zhao Jianhua menyatakan bantuan militer ini datang pada saat yang tepat. "Yang Mulia Presiden, saya tahu Anda sedang memerangi terorisme yang berhubungan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di selatan. Cina juga korban dari terorisme," kata Zhao kepada Duterte.

Senjata itu akan digunakan Polisi Nasional Filipina, yang kekurangan senjata setelah legislator Amerika Serikat menghadang rencana penjualan 26 ribu senapan serbu M4 Carbine pada November tahun lalu. Komisi Hubungan Luar Negeri Senat Amerika khawatir mereka akan mempersenjatai polisi yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam perang Duterte terhadap narkotik.

Sejumlah lembaga hak asasi dan media mengklaim perang Duterte itu telah menewaskan 10 ribu orang, baik yang dilakukan polisi maupun penembak misterius. Duterte membantahnya. Badan Narkotika Nasional menyodorkan data bahwa dari 70.854 operasi, sebanyak 107 ribu orang ditahan dan 3.811 meninggal.

Duterte menjawab sikap Amerika itu dengan ancaman akan meninggalkan Washington, sekutu lama negerinya. Lelaki 72 tahun itu yakin Moskow dan Beijing akan menolong Manila. Benarlah, ketika Duterte melawat ke Cina pada Oktober tahun lalu, Beijing menyatakan niatnya untuk "membantu Filipina tanpa syarat".

Ketika kelompok Maute, yang berafiliasi ke ISIS, menyerang Marawi, Beijing mengulang kembali tawaran bantuannya. Akhirnya, menurut Duterte, Manila dan Beijing bersepakat Cina akan memberi bantuan militer senilai 590 juta peso atau Rp 154 miliar lebih untuk melawan ISIS. "Ini tak hanya memperkuat komitmen negara kami untuk saling mendukung pada saat dibutuhkan, tapi juga menyinari fajar era baru hubungan Filipina-Cina," kata Duterte, yang mengklaim bahwa kakeknya adalah imigran dari Fujian, Cina.

Bantuan ini merupakan tambahan dari pinjaman lunak jangka panjang dari Cina senilai Rp 6,75 triliun lebih. Pinjaman yang harus dilunasi dalam 25 tahun itu, menurut Menteri Lorenzana, ada kemungkinan akan dibelikan senjata ringan, kapal cepat, dan teropong bidik malam.

Duterte suka berdansa. Sebelum maju ke pencalonan Presiden Filipina, Wali Kota Davao itu menari budots di sebuah acara televisi. Budots adalah tarian sederhana dengan gerak berulang-ulang sambil berputar yang sangat populer di kota itu. Pidato Duterte pun dijadikan musik budots. Bahkan sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan bagaimana Duterte tiba-tiba turun ke jalan dan menari budots bersama para remaja di sana pada 2015. Tampaknya dengan cara itulah Duterte memikat pemilih remaja.

Kini Duterte menari dengan Cina. Demikian Richard Javad Heydarian, lektor kepala ilmu politik di De La Salle University, Filipina, menggambarkan langkah politik luar negeri Duterte di Foreign Affairs. "Pemikiran Duterte tentang kebijakan luar negeri itu timbul berdasarkan pandangan bahwa Filipina akan masuk ke dunia pasca-Amerika, ketika Cina menjadi kekuatan dominan di Asia," ucapnya.

Dalam perdagangan senjata di kawasan ini, Cina mulai mendominasi. Stockholm International Peace Research Institute mencatat, sejak 2006, Cina telah menjual berbagai peralatan militer ke negara-negara Asia Tenggara dengan nilai total Rp 67,5 triliun lebih. Itu belum termasuk yang akan tiba tahun ini. Thailand bersiap menyambut kedatangan perdana 28 tank tempur VT4 setelah setuju membelinya seharga hampir Rp 2 triliun. Thailand juga telah memesan tiga kapal selam Yuan Tipe 039A dan sejumlah kendaraan amfibi VN-1. Malaysia membeli empat kapal patroli pantai seharga Rp 3,7 triliun lebih.

Sikap Manila terhadap Beijing memang berubah sejak Duterte memegang kursi kepresidenan pada Juni 2016. Ketika pemimpin sebelumnya menjaga jarak dengan Cina, Duterte justru memperbaiki hubungan itu. Dia meninjau kembali latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat, melarang kapal perang Amerika memakai pangkalan Filipina, dan mengurangi tekanan dalam sengketa Filipina-Cina mengenai Laut Cina Selatan. Saat berkunjung ke Beijing pada Oktober tahun lalu, Duterte mengumumkan "telah berpisah dari Amerika" sambil menyatakan niatnya untuk membentuk aliansi dengan Cina dan Rusia untuk "melawan dunia".

Kala itu, Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Liu Zhenmin, mengatakan Cina dan Filipina telah bersepakat bahwa sengketa Laut Cina Selatan bukanlah segalanya dan kedua negara akan memulai kembali masalah diplomatik dan pertahanan. "Artinya, lembaran baru telah dibuka di antara kedua negara dalam hal isu Laut Cina Selatan melalui dialog dan konsultasi bilateral," tuturnya.

Janji-janji itu tampaknya bukan omong kosong. Agustus lalu, Menteri Lorenzana menyatakan Cina setuju untuk tidak mengklaim kaveling baru di Laut Cina Selatan. Dalam dengar pendapat di parlemen, dia mengatakan kedua negara telah mencapai "modus vivendi" atau kesepakatan luhur yang melarang klaim pulau baru di perairan sengketa. Cina, menurut Lorenzana, juga tak akan mendirikan bangunan baru di Scarborough Shoal, kawasan penangkapan ikan yang dekat dengan Filipina.

Adapun Menteri Luar Negeri Filipina Alan Peter Cayetano menyatakan Filipina sedang membahas "perjanjian bisnis" dengan Cina untuk mengeksplorasi minyak dan gas di perairan yang disengketakan. Pengeborannya diharapkan dapat dimulai tahun depan.

Proyek itu sudah lama tertunda, dan Manila ingin segera memulainya. Proyek ini bekerja sama dengan CNOOC Ltd milik pemerintah Cina dan sebuah perusahaan Kanada. Bagi Duterte, perkara ekonomi tampaknya jauh lebih penting daripada berebut pulau dan perairan.

Kurniawan (sunstar, Reuters, South China Morning Post, Foreign Affairs)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus