Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUTA Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, punya kesempatan langka menengok Distrik Maungdaw dan Rathedaung di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Ia bersama sejumlah diplomat asing mengunjungi dua wilayah yang dinilai paling parah dikoyak konflik etnis di negeri itu, Senin dua pekan lalu. "Terjadi kerusakan infrastruktur secara masif. Ada beberapa desa yang semua rumahnya terbakar habis," kata Ito soal hasil kunjungannya.
Ito datang bersama sedikitnya 47 pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diplomat berbasis di Yangon, ibu kota Myanmar. Mereka difasilitasi pemerintah untuk meninjau daerah yang sedang menjadi pusat perhatian internasional itu dengan naik helikopter, meski cuma sehari. Dari atas, Ito melihat rumah-rumah yang gosong dan desa-desa yang ditinggalkan penghuninya.
Delegasi diplomat itu diajak meninjau kondisi Rakhine pascakonflik antara milisi Bala Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA) dan tentara Myanmar. Konflik itu memicu eksodus lebih dari setengah juta warga Rohingya ke Bangladesh sejak akhir Agustus lalu. "Selama kunjungan, yang dilakukan terhadap obyek dan waktu terbatas, tidak mungkin mendapatkan bukti-bukti atau indikasi yang menjadi pertanyaan dunia internasional," ujar Ito. Dunia internasional sebelumnya mencurigai ada pembersihan etnis di negara itu.
Mereka tiba di Sittwe, ibu kota Rakhine, pada pagi hari. Dibagi dalam tiga kelompok, mereka lantas naik helikopter hijau milik militer Myanmar menuju Maungdaw dan Rathedaung. Dalam catatan Ito, yang ditunjukkan kepada Tempo, rombongan itu mendatangi Desa Ah Nout Pyin, Shwe Long Tin, Nu Ru La, Shwe Zarr, Pyann Taw Pyin, Khon Tine, Kha Maung Sait, dan Ngaa Khu Ya serta Kantor Distrik Maungdaw.
Paul Seger, Duta Besar Swiss untuk Myanmar, turut bergabung dalam rombongan diplomat yang ke Rakhine. Melalui media sosial Twitter, Seger mengunggah sebuah video yang memperlihatkan asap yang masih mengepul di beberapa desa. Dia juga menunjukkan toko-toko yang tutup dan jalanan melompong. "Maungdaw terasa seperti kota hantu. Sangat berbeda ketimbang saat saya mengunjunginya tahun lalu," kata Seger.
Kondisi sebenarnya warga Rohingya di Rakhine tidak banyak diketahui publik. Sebab, pemerintah Myanmar baru membuka sebagian akses untuk mengunjungi Rakhine, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Itu pun setelah pemimpin de facto negara itu, Aung San Suu Kyi, mendapat kecaman bertubi-tubi dari komunitas internasional. "Rakhine utara seperti ’penjara’ bagi ribuan orang Rohingya," ucap Nay San Lwin, aktivis Rohingya di Jerman, seperti dikutip Al Jazeera. "Mereka terus melarikan diri untuk menghindari tentara."
Rakhine merupakan rumah bagi 1,1 juta warga minoritas muslim Rohingya. Negara bagian yang dulu bernama Arakan ini juga dihuni warga etnis Burma, Chin, Mro, Rakhine, Chakma, Khami, Dainet, dan Maramagri. "Rakhine adalah negara bagian termiskin di Myanmar," begitu catatan Badan Dunia untuk Pendanaan Anak-anak (Unicef). Selain di sana, ratusan ribu orang Rohingya hidup terserak di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Peter Bouckaert dari lembaga Human Rights Watch menilai informasi tentang warga Rohingya di Rakhine yang memerlukan pertolongan masih kurang. "Pemerintah Myanmar harus memberi akses kemanusiaan penuh ke Rakhine utara atau orang-orang akan mati," katanya. Human Rights Watch dan Amnesty International mencatat bahwa Tatmadaw atau militer Myanmar telah membakar lebih dari 80 desa Rohingya sejak 25 Agustus lalu.
Di beberapa desa, kekerasan telah surut. Namun warga Rohingya masih hidup dalam ketakutan. "Kami tidak bisa pergi ke toko untuk membeli barang kebutuhan karena takut diserang umat Buddha," ujar Abu Tayeb, guru di Bura Shida Para di utara Maungdaw. Selain ditindas tentara, kaum Rohingya kerap ditindas kelompok ekstremis Buddha. "Kami tidak bisa mendapat cukup makanan dan tidak bisa menjalankan salat (di masjid)."
Nasib warga Rohingya di Distrik Buthitaung tidak lebih mujur. Abdulla Mehman, yang bekerja untuk sebuah lembaga bantuan kemanusiaan, mengatakan ada lebih dari 2.000 orang di desanya, Kwan Dine, yang kehabisan makanan. Sebagian warga lainnya kekurangan pasokan bahan pangan. "Kami tidak diizinkan bergerak bebas oleh tentara. Padahal orang-orang berjuang untuk bertahan hidup," kata Mehman. "Banyak orang yang kelaparan."
Sejumlah keluarga di Desa Kin Taung, Bura Shida Para, Kyar Gaung Taung, dan Sein Daung-semuanya di Rakhine utara-tidak hanya kekurangan pangan dan obat. Mereka juga mengaku terancam oleh intimidasi, penjarahan, dan pencurian ternak yang dilakukan tentara Myanmar dan tetangga Buddha mereka. "Tolong bantu kami," ujar seorang perempuan Rohingya dari Kin Taung kepada Al Jazeera lewat telepon.
Nasib mereka yang berhasil kabur juga tidak lebih baik. Shazia Alam, misalkan. Ia terjebak di sebuah lereng bukit yang curam di dekat pantai Ah Lae Than Kyaw di Maungdaw. Shazia bersama sekitar 400 orang dari desanya, Tar Zaw, di Rathedaung, terpaksa kabur saat rumah mereka dibakar tentara, medio September lalu. Sejak itu, mereka berpindah ke desa-desa Rohingya lain. Hidup mereka tak lagi tenang karena merasa terus dikuntit tentara.
Saat singgah di desa ketiga, tetua mereka memutuskan semua warga Tar Zaw meninggalkan Myanmar selamanya. Shazia dan ratusan tetangganya itu lantas berjalan menuju Ah Lae Than Kyaw. Mereka berharap dapat menyeberangi Sungai Naf dan mencari selamat di Bangladesh. "Kami hanya punya beras. Kami sama sekali tidak mengantongi uang untuk membayar tukang perahu," kata Shazia sembari terisak, seperti diberitakan The Washington Post.
Dalam dua pekan terakhir, sekitar 2.000 orang Rohingya terpaksa tinggal di pantai Ah Lae Than Kyaw. Warga Rohingya, May Wong, dalam wawancara dengan Channel News Asia, mengaku terpaksa hengkang dari kampung halaman karena rumah mereka dibakar. Mereka juga merasa terancam. "Para pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi sulit saat mereka berusaha menyeberang ke Bangladesh," ucap Wong, yang sempat merekam situasi di pantai Ah Lae Than Kyaw.
Mereka yang tiba di Bangladesh, kondisinya tak otomatis lebih baik. "Kondisi mereka menyedihkan," kata Amin Sudarsono, Kepala Sekretariat Forum Zakat, lembaga bantuan untuk pengungsi Rohingya, Rabu pekan lalu. Di bawah naungan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (IHA), Forum Zakat menyalurkan lebih dari 5.000 paket bantuan berupa beras, garam, minyak, cabai, pulse, dan dal. "Dua makanan terakhir itu khas Bangla."
Amin berada di Cox’s Bazar, Bangladesh, sejak 3 Oktober lalu. Ia telah menyambangi beberapa kamp pengungsi Rohingya, seperti Kutupalong, Balukhali, dan Taingkali. Di kamp-kamp itu, para pengungsi tinggal di tenda-tenda plastik. "Bila hujan, airnya masuk ke tenda plastik. Becek tanahnya," ujarnya. Dalam perjalanan dari satu kamp ke kamp lain, jaraknya puluhan kilometer. "Sepanjang jalan, ratusan ribu manusia terserak."
Pepi Perdiansyah, 37 tahun, anggota tim Muhammadiyah Aid, juga pernah datang ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh untuk menyalurkan bantuan. Menurut dia, tempat tinggal para pengungsi Rohingya jauh dari layak. "Seperti deretan kandang itik yang hanya terbuat dari plastik," kata Pepi. Tenda-tenda itu berukuran 2 x 3 meter. Tiap tenda umumnya dihuni lebih dari empat orang. "Di dalamnya ada tungku untuk memasak."
Seperti Forum Zakat, Muhammadiyah Aid bernaung di dalam IHA. "Kami memberi layanan kesehatan, obat, serta paket makanan dan alat masak untuk 200 ribu orang," ucap Corona Rintawan, dokter yang mengetuai Muhammadiyah Aid. Untuk bantuan kesehatan, tim Muhammadiyah Aid berfokus menyalurkannya di Jamtoli, Ukhia, sekitar dua jam dari Cox’s Bazar, daerah tujuan turis dan wisata pantai yang populer di tenggara Bangladesh.
Di kamp-kamp pengungsi, Corona juga melihat nasib miris orang Rohingya. "Fasilitas sanitasi sangat kurang," ujarnya. Kondisi itu diperparah dengan pembuangan sampah yang tidak teratur dan cuaca tak bersahabat, yang membuat para pengungsi hidup dalam tekanan dan kondisi kesehatan yang minim. "Jumlah pengungsi dalam satu kamp sangat banyak, membuat satu tenda dengan yang lain berdempetan. Tidak ada ruang (untuk mendapatkan) udara segar."
Bagi para relawan, efek buruknya fasilitas sanitasi sangat terasa. "Mereka buang air di luar tenda dan dibiarkan begitu saja, sehingga aroma di kamp sangat bau," kata Pepi. Bau amis, basin, dan pesing pun menusuk hidung. "Entah kotoran manusia entah keringat mereka yang tak sempat mandi," ujar Amin. Ia sampai mewanti-wanti kepada para koleganya ihwal banyaknya "ranjau" kotoran manusia di kamp-kamp pengungsian. "Pengungsi Rohingya banyak yang buang air sembarangan."
Mahardika Satria Hadi (al Jazeera, The Washington Post, Channel News Asia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo