JIKA Pangeran Norodom Sihanouk ditanyai tentang nasib negerinya sekarang, ia akan menarik napas panjang. "Proses perdamaian kini macet," katanya kepada TEMPO di sela-sela kesibukannya mengikuti KTT Nonblok ke-10 di Jakarta pekan lalu. "Semua itu gara-gara Khmer Merah." Khmer Merah, menurut Sihanouk, sengaja menghalang-halangi pelaksanaan operasi UNTAC, utusan PBB di Kamboja, yang ditugasi menyiapkan pemilu tahun depan. Sejak beberapa bulan lalu kelompok yang terkenal dengan teror mautnya itu mogok mengikuti tahap kedua dari operasi UNTAC -- tahap perlucutan senjata dan pembubaran pasukan dari keempat kelompok yang bersaing di Kamboja. "Mereka menuntut yang mustahil. Mana mungkin pemerintahan (Perdana Menteri) Hun Sen dibongkar," Sihanouk melanjutkan dengan kesal. Kesepakatan kelompok-kelompok utama yang bertikai itu -- sekarang keempatnya bergabung dalam Dewan Nasional Tertinggi Kamboja dan dipimpin oleh Sihanok -- ketika berunding di Paris Oktober 1991, pemerintahan di Phnom Penh tetap berjalan di bawah penanganan UNTAC. Tapi Khmer Merah tetap saja menghendaki pemerintahan Hun Sen dibubarkan. Sikap keras itu, menurut pengamat, sebenarnya karena pemerintahan Hun Sen dibentuk oleh pasukan Vietnam dengan menggulingkan rezim Khmer Merah, yang dipimpin Pol Pot, pada 1979. Tak mengherankan bila bermacam upaya dilakukan Khmer Merah untuk menghilangkan pengaruh Vietnam di Kamboja. "Kami menolak proses perdamaian selama situasi di Kamboja belum netral," kata Ketua Khmer Merah, Khieu Samphan. Ia antara lain minta UNTAC mengecek kebenaran penarikan pulang pasukan Vietnam pada tahun 1979, dan menuntut perubahan peraturan pemilu agar anak-anak kelahiran Vietnam yang datang setelah tahun 1979 tidak diberi hak memberi suara. Pendatang Vietnam di Kamboja, menurut UNTAC, ada satu juta orang. Atas desakan Muangthai dan Jepang, Khieu Samphan baru-baru ini mengajukan usul baru untuk memecahkan kemacetan proses perdamaian di Kamboja. "Kami ingin pembentukan suatu badan konsultasi yang terdiri dari wakil keempat kelompok didudukan dalam pemerintah Phnom Penh," katanya. Namun usul itu langsung ditolak Hun Sen. Alasannya, tidak sesuai dengan Perjanjian Paris. Melihat tuntutan Khmer Merah yang macam-macam dan sikap UNTAC yang tak tegas membuat Hun Sen kesal. "Tidak ada keadilan dalam pelaksanaan Perjanjian Paris," katanya. "Kami telah memenuhi semua perintah, pihak lain belum berbuat apa-apa. Kami sudah dikuasai UNTAC, Khmer Merah masih bebas bertindak semaunya." Sementara itu, Khieu Samphan mengatakan bahwa mereka tidak akan mengubah sikap selama UNTAC masih bersikeras menuntut pelaksanaan pelucutan senjata dan pembubaran pasukan. Bahkan mereka menuntut agar Ketua UNTAC, Yasushi Akashi, mengundurkan diri. Apa di belakang sikap keras Khmer Merah itu? "Tidak ada yang tahu apa maksud mereka. Mungkin mereka memiliki suatu strategi untuk mementaskan revolusi baru," kata Sihanouk. Beberapa pengamat tak yakin bahwa Khmer Merah akan menyabot proses perdamaian. Kemungkinan Khmer Merah, menurut Khieu Kanarith, seorang wartawan di Phnom Penh, cuma ingin menunda pelucutan senjatanya. "Kekuataan mereka terletak pada jumlah dan mutu pasukan. Mereka perlu waktu untuk membentuk suatu organisasi politik guna menggantikan kekuataan miliernya," kata Kanarith. Teori lain menyebut bahwa Khmer Merah tidak sekuat dugaan umum. Jumlah gerilyawan bersenjata mereka, menurut laporan intel UNTAC, tidak lebih dari lima ratus orang. Malah sebagian ada yang sudah menyerahkan senjata kepada UNTAC. "UNTAC melaporkan bahwa Khmer Merah kini sedang mengalami kesulitan, dan meninggalkan wilayah-wilayah yang mereka perebutkan awal tahun ini," kata Sihanouk. Di Provinsi Kampot, salah satu sarang pasukan Khmer Merah, pasukan patroli Kapten Jean-Louis Borelly dari Prancis memergoki para gerilyawan itu sedang bekerja di ladang sayuran. "Mereka bersikap tenang-tenang saja ketika kami mendekatinya. Tidak angkat senjata," kata Borelly. Ternyata tidak semua tuntutan Khmer Merah tak sesuai dengan kelompok-kelompok lain. Salah satu tuntutan Khieu Samphan yang dapat dukungan semua kelompok adalah dikembalikannya garis perbatasan Kamboja-Vietnam pada posisi seperti pada 1970, sebelum Sihanouk digulingkan Jenderal Lon Nol. Vietnam, menurut beberapa diplomat di Hanoi, sejak 1979 diam-diam mengubah perbatasan kedua negara lebih ke dalam wilayah Kamboja. Ini terlihat ketika pejabat UNTAC mengunjungi daerah-daerah yang dalam peta terbaca milik Kamboja ternyata ditandai sebagai wilayah Vietnam. Sikap Khmer Merah yang mengesalkan banyak orang adalah upaya mereka memperlambat proses perdamaian di Kamboja. Maka, Sihanouk minta pada Akashi agar pemilu tetap diadakan dengan atau tanpa partisipasi Khmer Merah. "Tanpa mereka, 85 persen rakyat sudah bisa memilih pemerintah baru. Kami membutuhkan pembangunan ekonomi, sosial, dan lainnya. Ini tidak bisa ditunda-tunda lagi," kata Sihanouk. Namun Sihanouk juga mengakui, tanpa ikutnya Khmer Merah dalam pemilu bisa mengundang risiko. Jika terpojok, menurut beberapa pengamat, pasukan Khmer Merah bisa melampiaskan kemarahannya kepada rakyat di desa-desa maupun kepada pasukan UNTAC. Tapi, UNTAC tak mencemaskan itu. "Kelompok Khmer Merah juga sudah jenuh dengan perang, dan ingin hidup damai dan tenteram bersama keluarga mereka," kata Jenderal Sanderson. Yang jelas, beberapa pekan terakhir sudah tak ada saling menembak antara gerilyawan Khmer Merah dan pasukan pemerintah Phnom Penh. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini