Pesawat Lauda Air dibom, atau hanya kecelakaan biasa, baru bisa dipastikan pekan depan. BISA jadi Niki Lauda merasa seolah kembali ke sirkuit. Hari-hari ini ia harap-harap cemas siapa bakal menang sampai di "garis finis". Itu memang hanya perumpamaan. Yang "berpacu" bukanlah mobil-mobil balap, tapi berbagai kemungkinan penyebab jatuhnya sebuah Boeing 767-300 milik Lauda Air di Bangkok, Selasa pekan lalu. Yakni, antara kemungkinan kecelakaan teknis dan kemungkinan adanya sabotase. Dan garis finis itu adalah hasil analisa kotak hitam pesawat, yang Jumat pekan lalu dikirimkan ke Washington. Para analisnya menjanjikan hasil itu dalam dua minggu -- biasanya, dalam dua bulan. Sebelum analisa diumumkan, sebagaimana terjadi di sirkuit, orang hanya bisa menduga-duga. Dugaan pertama, pesawat dibom. Dasarnya, salah seorang korban diduga seorang ahli narkotik yang diperbantukan pada kantor PBB, dan ia diduga membawa berkas hasil penyelidikan kegiatan perdagangan heroin di Segi Tiga Emas. Ada bantahan, dari pejabat PBB di Bangkok. Mcintosh, nama korban itu, hanyalah petugas pertanian yang diberi tugas membujuk penduduk di Segi Tiga Emas agar menanam kopi sebagai ganti opium. Dugaan kedua, juga dibom. Yang ini kurang sensasional karena hanya salah sasaran. Niki Lauda sendiri yang bercerita tentang adanya telepon gelap dari Jerman pada pejabat bandara di Wina, Austria. Si penelepon mengaku telah salah menaruh kopor berisi bom dalam pesawat Lauda. Bom itu, katanya, seharusnya dimasukkan ke United Airline. Namun, petugas bandara Wina membantahnya. Dugaan ketiga, yang datang dari Kepala Otoritas Bandara Muangthai Marsekal Somboon Ranong, kecelakaan itu semata akibat cuaca buruk. Dugaan terakhir, ada kerusakan mesin. Kepala tim penyelidikan melaporkan, mesin sebelah kanan pesawat terbakar sebelum pesawat itu tercabik-cabik. Seorang saksi mata melihat kobaran api di ekor pesawat, sebelum pesawat meledak. Dugaan terakhir ini diperkuat setelah Menteri Transportasi Austria mengemukakan adanya bukti kerusakan pada komputer pengatur jalannya mesin pesawat. Kerusakan komputer menyebabkan satu putaran mesin jet berlawanan arah. Dugaan-dugaan itulah yang kini ditunggu kepastiannya oleh Nikolas Andreas Lauda. 42 tahun, yang pernah tiga kali menjuarai dunia balap Formula I. Lelaki Austria ini memutuskan untuk ganti lahan dari darat ke udara, pada 1978, setelah 20 tahun berpusing-pusing di sirkuit. Dia membuka usaha penerbangan di Salzburg, Austria, dengan modal Fokker F-27 dengan 44 kursi. Namun, rugi yang terlebih dahulu ditanggungnya. Maka ia kembali ke darat. Ternyata, ia memang lebih mudah berusaha di darat: pada 1984 dia berhasil mengumpulkan uang untuk membeli dua buah pesawat serta menyewa dua buah lagi dari perusahaan penerbangan lain. Pesawatnya lebih banyak melayani jalur ke Timur Tengah, dan kemudian dikembangkan ke Sri Lanka dan Muangthai. Tahun lalu Lauda Air menjual 49% sahamnya. Yang dipertaruhkan Lauda, yang kini tinggal bersama Mariella von Reininghaus, bekas fotomodel, di Salzburg ini: "Jika pesawat Boeing itu jatuh karena kesalahan saya, saya akan menghentikan bisnis penerbangan ini." Bambang Aji dan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini