Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Eksekusi

Proses penghukuman sekarang ini tidak lagi dipusatkan pada penyiksaan badan dan penderaan jiwa, melainkan berdasarkan pertimbangan keamanan umum.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eksekusi A. HALIM MAHFUD BULAN Maret 1757, Damiens sang terkutuk sedang menerima hukuman. Ia diikat di tiang dan ditonton orang banyak. Daging dada, paha, lengan atas, dan perutnya dijepit tang membara. Lalu cairan minuman tertentu, dituangkan pada daging yang terkupas itu, supaya Damiens mengerang serak, "Tuhan, ampuni aku!" Hukuman tidak selesai di situ. Empat ekor kuda menarik tubuhnya ke arah empat penjuru angin. Tetapi tubuh Damiens tetap tak terceraikan. Lengan dan kakinya tetap lengket pada tubuh yang menderita itu. Seorang pendeta mendekat dan menanyakan apakah Damiens ada pesan terakhir. Hanya keluh dan rintih parau menyelinap dari mulut Damiens, "Tuhan, kasihi hamba ini ...." Para algojo jengkel. Damiens masih bisa menyebut nama Tuhan. Kepalanya masih setengah tegak. Mereka ingin Damiens protes, mengumpat, mencerca, bukan menyebut nama Tuhan. Seorang algojo mengusulkan agar anggota tubuh Damiens segera dicincang. Yang lain menolak karena merupakan proses kematian yang terlalu cepat. Damiens harus mati pelan-pelan. Sebagai pembunuh raja, Damiens harus menerima hukuman yang setimpal. Tubuh Damiens kini ibarat boneka kain rombeng dedel dhuwel. Putih dagingnya karena darah tak mampu lagi menetes. Kepalanya merunduk dan lemah. Orang banyak terlongong-longong. Mereka menyaksikan hukuman itu. Mereka ditakuti oleh pemandangan itu. Mereka diteror. Para penguasa dan algojo memang mempertunjukkan proses hukuman supaya tidak ada lagi orang yang coba-coba menghujat raja, apalagi membunuh. Dan berhasil. Orang banyak harus membuang jauh pikiran untuk menghina raja. Mereka harus tidak mengalami apa yang diderita Damiens sang terkutuk. Masih banyak dari proses penghukuman Eropa zaman itu yang tidak patut dituangkan dalam tulisan pada abad modern ini, tapi pada dasarnya cara menghukum terus berusaha menemukan bentuk untuk menakuti orang banyak. Cara-cara itu mengandung unsur spectacle, tontonan. Para penguasa menggiring orang banyak ke tempat penyiksaan untuk menyaksikan proses itu. Mereka menanamkan ancaman dan ketakutan. Asas itu tetap berlangsung ketika kemudian para penguasa mulai memikirkan cara menghukum yang dianggap lebih "manusiawi". Kematian dengan cara lambat oleh berbagai kalangan, terutama agama, diminta supaya dihentikan. Cara menggantung, yang mulai muncul pada 1760, pada awalnya dianggap paling sesuai dengan keinginan ini, begitu pula lahirnya guillotine yang terkenal itu di Prancis: tetapi unsur tontonan masih tetap dipertahankan. Pada abad ke-19, terjadi perubahan. Terhukum Fieschi, yang gagal membunuh Raja Louis-Phillipe, dibawa ke tempat eksekusi dengan baju biasa, telanjang kaki, dan wajah tertutup kerudung hitam. Orang banyak masih hadir di sana tanpa tahu siapa sang terkutuk. Dibanding kasus Damiens, unsur mempertontonkan wajah sang terkutuk tidak ada lagi. Namun, seseorang mengumumkan siapa sang terkutuk, lalu eksekusi dilaksanakan. Sang terkutuk harus "tanpa wajah". Makin kejam kejahatannya, makin rapat menutup wajahnya. Ini adalah awal perubahan ketika proses penghukuman mulai dilaksanakan secara tersembunyi. Guillotine Prancis dipindahkan ke balik tembok penjara sesudah kasus Weidmann tahun 1939. Tempat penggantungan di teratak terbuka dipindah ke kereta tertutup. Sang terhukum langsung dibawa ke tempat eksekusi tanpa boleh dilihat umum. Jalan-jalan menuju ke tempat eksekusi pun diblokir. Perkembangan lain adalah menghukum tidak lagi harus dipusatkan pada penyiksaan badan. Tujuan menghukum mulai berpindah ke penyiksaan kesehatan dan kebebasan. Muncullah tmpat-tempat pengucilan untuk sang terhukum. Kerja paksa, pemenjaraan, pengasingan, dan pembatasan kebebasan dan kemerdekaan memasuki sejarah penghukuman. Perkembangan ini menampilkan sasaran baru penghukuman. Dahulu ragalah yang menjadi sasaran, kini jiwalah yang harus menerima penyiksaan. Para penguasa penghukuman menganggap penyiksaan dan penderaan jiwa tidak menyakitkan, tidak biadab, lebih "ramah" dan lebih "manusiawi". Terhukum kemudian harus meninggalkan jauh-jauh pikiran tentang libido karena tidak diizinkan mengadakan hubungan seks. Ia tidak lagi boleh menyampaikan pikiran-pikirannya karena harus dikucilkan. Seorang terhukum harus kehilangan kebebasan dan kemerdekaan sebagai manusia. Meskipun guillotine baru lenyap dari undang-undang Prancis tahun 1930-an, proses pengucilan seorang terhukum sudah mulai terjadi sejak awal abad ke-20. Bukan cara penghukuman saja yang mengalami perubahan. Orang yang harus mengalami hukuman pun berkembang. Berbagai ukuran dan pertimbangan baru diterapkan untuk menjangkau para terhukum. Sang terkutuk baru itu bisa dikenai hukuman berdasarkan pertimbangan keamanan umum. Mereka dilarang memasuki daerah tertentu, dikenai masa percobaan, atau sekadar diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan. Tujuan penghukuman berbelok dari penyiksaan ke arah yang lebih "manusiawi". Muncullah teknik-teknik pengawasan individual, meredam pikiran-pikiran yang dianggap membahayakan khalayak, atau mengalihkan kecenderungan tindak kejahatan. Ini proses penghukuman yang tidak bisa selesai sekaligus. Ia memerlukan aktivitas mengendap-endap, menguntit, mengintip-intip, mencuri pandang, melirik-lirik, terus-menerus dalam waktu yang panjang. Intensitas kegiatan ini sangatlah tinggi. Juga diperlukan keterlibatan berbagai pihak. Jiwa tidak ada bentuk fisik atau materi. Ia adalah bagian penting manusia yang tidak bisa mati. Ia ada di mana-mana dalam bentuk pikiran, semangat, nafsu, dan keinginan. Karena itu, penghukuman tidak lagi bisa dilaksanakan oleh seorang hakim dan algojo saja. Seorang hakim tak bakal mampu mengawasi satu jiwa yang menggeliat ke sana kemari. Seorang algojo tak bakal mungkin terus-menerus mendeteksi, menyadap, dan memadamkan semangat yang meruyak di sana-sini. Muncul pemahaman betapa mustahilnya menguasai jiwa, mengunci kemerdekaan, dan membungkam mulut demokrasi. Muncul ketakutan dan kekhawatiran adanya ancaman terhadap status quo baik dari perseorangan, kelompok, maupun negara. Atau kita segera menghadapi bentuk penghukuman yang lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus