ADA sebuah lelucon buruk di Jerman Barat. "Bila orang Jerman Timur meruntuhkan Tembok Berlin, kami akan membangunnya kembali di Barat." Lelucon itu dipakai untuk menyatakan hal yang mustahil. Soalnya, semangat di Barat adalah semangat untuk bersatunya Jerman kembali -- paling tidak begitulah politik pemerintahan Helmut Kohl. Runtuhnya tembok justru diharapkan. Setidaknya, setelah itu menjadi kenyataan dua pekan lalu, orang Jerman Barat menyambutnya dengan kegembiraan. Dan bisa dipahami bila pembicaraan hangat di Eropa, mungkin dunia, kini adalah soal bersatunya Jerman kembali. Hal yang membuat Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev cepat-cepat membuat pernyataan bahwa "pembicaraan mengenai bersatunya Jerman merupakan campur tangan terhadap negeri lain." Pernyataan Gorbachev agak aneh. Soalnya, dialah yang disebut-sebut sebagai peruntuh tak langsung Tembok Berlin. Pembaruan ekonomi dan keterbukaan politik yang ia lancarkan dan kemudian menular ke negeri-negeri Eropa Timur, oleh para pengamat Eropa Timur, telah diduga akan menyebabkan tembok maut itu roboh. Misalnya, itu tercermin dalam tulisan David Spanier, koresponden Independent Radio News di London, ketika ia membicarakan buku Wall di The New York Times Book Review. Dan langsung saja, Kanselir Helmut Kohl menjawab. "Orang yang tak mau memberi saran kepada kami tentunya tak usah mengatakan bahwa yang terbaik bagi kami adalah tanah air yang terbelah," kata Kohl di depan Parlemen Jerman Barat, Jumat pekan lalu. Mungkin yang terbaik bagi Jerman memang bukan negeri yang semula satu lalu dijadikan dua. Tapi bersatunya Jerman kembali tampaknya bukan juga pilihan yang mudah. Ada sejumlah hal yang pagi-pagi, sebelum Egon Krenz "meruntuhkan" Tembok Berlin, oleh Peter Schneider, seorang novelis Berlin Barat, disebut-sebut sebagai penghalang bersatunya Jerman. "Setelah Tembok runtuh, orang akan tahu bahwa lebih banyak perbedaan daripada persamaan antara kedua Jerman," tulis Schneider dalam sebuah artikel yang diterjemahkan di The New York Times Magazine. Novelis ini mengingatkan, mereka yang di Barat dan Timur yang merasa sebangsa adalah generasi tuanya saja. Berdasarkan angket yang diedarkan di Jerman Barat di kalangan usia antara 18 dan 25 tahun, ternyata mayoritas responden mengatakan bahwa Jerman Timur adalah negeri asing. Ini agak bertentangan dengan hasil tiga pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh majalah Inggris The Economist, yang sebagian besar responden menginginkan Jerman bersatu -- tapi tiga poll ini tak menyebutkan usia responden. Kemudian, terhadap imigran resmi maupun gelap dari Jerman Timur, orang-orang muda Jerman Barat biasanya memandangnya dengan curiga. Bukannya mereka enggan membantu "orang lain" yang juga Jerman itu. Melainkan, "kalau saya memberikan hadiah kepada salah seorang di antara mereka, saya tahu bahwa ada yang lain yang juga berharap mendapatkan hadiah." Orang-orang muda Jerman Barat menerjemahkan harapan orang Jerman Timur dalam kalimat yang khas: Orang-orang di seberang itu berpikir bahwa mobil dan televisi berwarna kami tumbuh dengan sendirinya di pohon-pohon. Mereka tak tahu bahwa kami lahir tidak langsung memiliki Mercedes, kami harus membayarnya, dan kami pun punya utang yang berbunga.... " Orang-orang muda itu juga punya kritik terhadap orang Jerman Timur yang sudah menjadi warga negara Jerman Barat. Mereka tak pernah puas, kata mereka, selalu punya kritik terhadap ini dan itu. Para pendatang dari Timur itu biasanya mempersoalkan "sikap dingin" orang Jerman Barat, mengapa mereka "kurang ramah" dan "tak bersahabat". Itu semua mengakibatkan munculnya kecurigaan di kalangan generasi muda Jerman Barat, bahwa para pendatang itu, meski sudah bersumpah antikomunis, sebenarnya memboyong juga nilai sosialis sebanyak-banyaknya. Lalu terbayang oleh orang muda Jerman Barat, setelah mereka meneguk tiga kaleng bir, lalu mereka bermimpi kembali ke seberang Tembok, negeri yang kata-katanya bisa dipercaya. Semua ketidakcocokan itu, disimpulkan dari persepsi subyektif, tentu saja bisa salah. Tapi ada kenyataan obyektif yang menarik yang selama ini tak dipersoalkan oleh mereka yang mencita-citakan adanya satu Jerman kembali. Yakni soal peringatan hari besar. Di Jerman Barat 17 Juni adalah hari libur, dan 13 Agustus adalah hari yang perlu diperingati. Tanggal tersebut pertama adalah peringatan buat peristiwa 17 Juni 1953 yang di Jerman Barat disebut Hari Persatuan Jerman. Ketika itu meledak satu pemberontakan di Jerman Timur karena tekanan ekonomi. Para pemberontak, yang ditindas dengan kejam oleh tentara Soviet, menghendaki antara lain digabungkannya kembali kedua Jerman. Sementara itu, 13 Agustus adalah hari yang diperingati dengan rasa berduka di Jerman Barat. Di hari itulah, 2 tahun lalu, Tembok Berlin mulai dibangun. Biasanya televisi Jerman Barat menayangkan upacara peringatan di kubur para korban yang tewas karena mencoba lolos dari Jerman Timur dengan melintasi Tembok. Di televisi Jerman Timur waktu itu ada juga upacara dukacita untuk "korban" Tembok Berlin. Bedanya, korban di Timur bukannya mereka yang mencoba melintas ke Barat, melainkan para penjaga yang tewas karena mencoba menghalangi mereka yang hendak menerobos Tembok. Selain unsur-unsur dalam yang bisa menghambat bersatunya Jerman, unsur luar pun tak kurang seriusnya. Yakni terutama kekhawatiran yang dibawa oleh sejarah dua Perang Dunia. Lech Walesa, pemimpin Solidaritas yang pekan lalu berada di AS, umpamanya, sangat khawatir bila Jerman bersatu. "Kita tak boleh melakukan kesalahan," katanya. Ia setuju dengan satu Jerman, asal prosesnya dimulai dari penyatuan ekonomi, baru kemudian politik. Dalam pertemuan mendadak 12 negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa (ME) Sabtu pekan lalu di Paris, setelah 3 jam perdebatan, disepakati bahwa ME siap membantu ekonomi negara Eropa Timur, terutama Polandia dan Hungaria. ME tak ingin melihat perubahan itu macet. Memang, perubahan yang cepat di Jerman Timur mengejutkan dan membingungkan semua pihak. Mula-mula hanyalah arus imigran Jerman Timur yang membludak lewat Hungaria dan Cekoslovakia, sejak pertengahan Agustus. 10 September, Hungaria membatalkan secara sepihak perjanjian dengan Jerman Timur -- untuk menghalangi pengungsi Jerman Timur ke Barat -- arus itu makin besar. 12 September lahir kelompok oposisi di Jerman Timur, Forum Baru. Pada 3 dan 4 Oktober meledak kerusuhan antara polisi dan sekitar 10.000 orang Jerman Timur yang mencoba masuk kereta api dari Praha menuju Jerman Barat yang lewat Dresden di Jerman Timur. 7 dan 8 Oktober demonstrasi besar meledak di Berlin Timur, Leipzig, dan Dresden, menuntut demokrasi, bertepatan dengan peringatan 40 tahun berdirinya Republik Demokrasi Jerman. Mikhail Gorbachev yang menjadi tamu agung menasihati Honecker agar tak membuat rakyat lebih marah. Tapi Honecker menjawab, Jerman Timur akan menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Penyelesaian itu adalah dengan kekerasan, diberikan sendiri oleh Erich Honecker. Konon, Honecker menginginkan penyelesaian macam di Tiananmen, Beijing, 3 dan 4 Juni. Pada saat itulah muncul suara-suara di Politbiro bahwa Honecker sudah saatnya harus mundur. Egon Krenz, waktu itu Ketua Komite Sentral, dan wakilnya, Wolfgang Herger, terbang ke Leipzig, menemui pemimpin partai setempat, dan menyarankan penyelesaian secara politis. 9 Oktober, malam, ketika demonstrasi besar meledak lagi di Leipzig, polisi tak turun tangan. 10 Oktober, untuk pertama kalinya muncul suara menentang Honecker. "Erich, kita tak bisa menerapkan kekerasan terhadap ratusan ribu orang itu," kata Erich Mielke, 82 tahun, kepala keamanan. Disusul Kurt Hager, 77 tahun, kepala ideolog Politbiro. Kata dia, anak-anak muda itu menuntut hal yang benar. Sekretaris Partai Gunter Schabowski mendukung Hager. Hanya dua dari 17 anggota Politbiro yang masih bersama Honecker -- Gunter Mittag, 63 tahun, dan Joachim Hermann, 61 tahun. 11 Oktober, rapat Politbiro luar biasa, dihadiri juga oleh Hans Modrow, ketua partai cabang Dresden. Meski ditentang keras oleh Honecker, Politbiro mengeluarkan dua pernyataan. Pertama, bahwa mereka siap mendiskusikan keadaan negara saat ini. Dan kedua, mereka yang pindah ke Jerman Barat bisa jadi memang punya alasan yang sah. Sejak itu tiba-tiba media massa jadi berani. Artikel-artikel membicarakan tuntutan demonstran. 17 Oktober, jelas sudah bagi sebagian besar anggota Politbiro bahwa Sang Ketua tak juga memahami perkembangan baru. Akhirnya Perdana Menteri Willi Stoph, 75 tahun, mengatakan kepada Honecker, sudah waktunya bagi dia untuk mundur. 18 Oktober, Honecker mengatakan kepada Komite Sentral bahwa dia mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Krenz ditunjuk sebagai ketua baru. 1 November, Krenz ke Moskow menemui Gorbachev. 4 November, warga Jerman Timur yang ingin pindah ke Jerman Barat lewat Praha dihalalkan. Hari itu juga 10.000 orang pergi ke Praha. Untuk menurunkan niat bereksodus, undang-undang baru dibuat: orang Jerman Timur boleh pergi ke mana saja dengan bebas. Percuma, arus eksodus terus membludak. 7 dan 8 November, dewan menteri membubarkan diri, disusul Politbiro. Dibentuk Politbiro baru, tetap diketuai oleh Krenz, dengan 5 anggota baru, termasuk Modrow -- yang kemudian ditunjuk sebagai perdana menteri. 9 November, sore, Schabowski menyelenggarakan konperensi pers. Diumumkan, orang Jerman Timur boleh ke mana saja, termasuk melintasi Tembok Berlin. Sepasang muda-mudi mencoba membuktikan pengumuman itu. Benar, meski penjaga belum menerima instruksi, ia telah mendengar pengumuman Schabowski. Ia biarkan dua sejoli itu melintasi Tembok yang hari itu berusia 28 tahun, 2 bulan, dan 27 hari, dan makan korban 80 orang tewas. Peristiwa ini disiarkan televisi Jerman Barat. Dan dalam waktu kurang dari 3 jam meledaklah pesta kebebasan itu. Bahan: surat kabar dan majalah The New York Times
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini