Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tentara dengan ransel karung ...

Tentara filipina, afp, tidak boleh berpolitik. di zaman marcos terjadi penyalahgunaan dana militer. dibentuk dewan, mengusut jenderal-jenderal yang korup. ramos ingin menegakkan disiplin moral tentara. (ln)

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA 400 tahanan politik dibebaskan dan gerilyawan komunis NPA ditawari gencatan senjata, maka AFP (Angkatan Bersenjata Filipina) diberi imbalan apa? Hanya nasihat, sejumlah medali, dan kenaikan pangkat. Mereka, bintang revolusi 4 hari di Camp Aguinaldo dan Camp Crame itu agaknya sudah harus merasa bangga dipanggil sebagai "prajurit-prajuritku" oleh Presiden Filipina. Itu pun didahului peringatan, agar mereka tidak ikut berpolitik. Sampai pada tahap ini, militer Filipina, yang ditempa dalam tradisi supremasi sipil itu, sama sekali tidak protes. Doktrin AFP yang diwarisi dari masa penjajahan AS mengajarkan, politik bukanlah permainan orang yang menimang-nimang senjata. Tugas mereka adalah melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara, bukan mengurusnya. Dan berbeda dari rekan-rekan mereka di Amerika Latin, AFP tampaknya sama sekali tidak berpotensi untuk menjadi insan-insan politik. Tapi di tangan Marcos, mereka menjadi insan-insan tak bermoral, seperti dikemukakan oleh Cory Aquino dalam wawancara dengan Newsweek dua pekan lalu. Dengan peluang untuk berdwifungsi, mereka dibiarkan mencicipi sukses manis ekonomi. Serentak dengan pemekaran AFP sebanyak tiga kali lipat selama UU Darurat, diperbanyak pula jumlah tentara yang mengamankan Marcos, keluarga, dan konco-konconya. Sekitar 3.000 pasukan elite, yang seharusnya dikirim ke garis depan, malah dibiarkan santai mengawal sang presiden di Manila. Tidak heran jika dedikasi pada negara kemudian berubah menjadi loyalitas pada hanya seorang tokoh: Marcos. Sumber AIP menyatakan, kemerosotan paling parah terjadi selama lima tahun belakangan di saat daya juang NPA meningkat hebat. Sementara para prajurit mempertaruhkan nyawa di gunung-gunung, banyak perwira tinggi - sebagian besar jenderal yang sudah mesti pensiun - menikmati hidup mewah di kota-kota. Nasib prajurit tidak diperhatikan, hingga acap kali mereka kekurangan amunisi, pangan, dan peralatan. "Banyak yang tidak memiliki ransel dan sepatu boot," ujar Jenderal Antonio Lukban, perwira bidang logistik. "Sebagai gantinya, mereka gunakan karung beras dan sepatu tenis." Dalam waktu singkat prajurit AFP pun berubah menjadi tentara yang compang-camping lahir batin. Panglima Tertinggi Ferdinand Marcos tidak menyadari hal ini karena, seperti kata Aquino, "ia tidak pernah mengunjungi barak-barak prajurit." Marcos tidak punya waktu untuk itu, sebaliknya ia sempat mengatur agar pembelian heli tempur Huey dibatalkan, lalu diganti dengan pembelian helikopter mewah Sikorsky. Ia menetapkan 60% kendaraan angkut personel diparkir di Manila, sisanya baru untuk daerah rawan. Tanpa dapat dicegah terjadi penyalahgunaan dana militer, pembelian persenjataan dengan harga yang sengaja dimahalkan, korupsi, dan persaingan tak sehat antara berbagai satuan. Menurut Richard Armitage, asisten menhan AS, banyak pesawat terbang dan kapal yang tidak berfungsi karena kekurangan suku cadang. Bahkan untuk meneruskan perintah, para komandan terpaksa menggunakan pelari cepat, konon karena alat komunikasi terbatas sekali. Karena mesti bertempur dalam hidup serba kekurangan, tentara pada akhirnya hanya sibuk memikirkan kepentingan diri sendiri. Dalam kondisi terjepit seperti ini, mereka hampir tidak terkendali. Dan berkembanglah berbagai kebiasaan buruk: mencuri, menyiksa, mencari keuntungan pribadi, dan aneka bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mencapai puncaknya pada salvaging yakni pembunuhan masal orang-orang sipil. Tindak kriminal seperti itulah yang akan dibongkar oleh Komisi Hak Asasi, satu lembaga yang dipimpin Jose Diokno dan berada di bawah Komisi untuk Pemerintahan yang baik. Sejak mula Diokno sudah menegaskan: pihak militer tidak akan terbebas dari pengusutan komisi itu. Mendengar ini Menhan Enrile protes. Jenderal Ramos kemudian menuntut agar amnesti, yang berlaku bagi pemberontak komunis, juga berlaku bagi tentara. Adalah Ramos yang berusaha keras menegakkan disiplin dan moral tentara. Untuk itu dalam kunjungan ke daerah ia tak lupa membawa sekotak medali yang siap disematkan ke dada mereka yang berjasa. Ramos juga yang mengharuskan rambut dipotong pendek, alkohol dijauhi, dan rakyat didekati. Dalam program reorientasi dan reorganisasi, para prajurit diarahkan kembali kepada prinsip profesionalisme tentara. Seiring dengan itu, Ramos coba meningkatkan keterampilan militer, kelengkapan logistik, dan efisiensi jaringan suplai. Tapi belum banyak yang dapat ia lakukan, ketika Jenderal Fabian Ver diaktifkan kembali akhir tahun lalu, sesudah bebas dari tuduhan perkara pembunuhan Aquino. Tidak heran bila korupsi tentara aman Marcos sekarang akan diungkit oleh sebuah dewan beranggotakan 7 perwira. Menurut Ramos, sejumlah jenderal akan diusut. Buat apa? "Agar semua lapisan kepemimpinan mengalami pembersihan." Jenderal Ramos adalah tokoh teladan tentara profesional yang hampir tanpa cacat. Tapi tampaknya diperlukan lebih banyak Ramos untuk membina AFP dan mengembalikan kepercayaan rakyat pada mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus