Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hotel terbaru Donald Trump di ibu kota Amerika Serikat laris manis. Trump International Hotel ¡©Washington, DC, nama hotel bintang lima tersebut, berdiri di Pennsylvania Avenue, di lokasi bekas kantor pos tua. Sejak dibuka pada September lalu, 263 kamar di hotel yang hanya berjarak 1,2 kilometer dari Gedung Putih tersebut tak pernah sepi pengunjung.
Bukan sembarang orang yang menginap di hotel baru Trump. Diplomat asing, utusan khusus negara lain, dan lembaga konsultan politik kenamaan tercatat dalam buku tamu hotel. ¡±Saya tentu lebih memilih hotel yang dekat Gedung Putih. Dengan begitu saya dapat memberi tahu presiden baru (Amerika), ¡¯Saya suka hotel baru Anda¡¯,¡± kata seorang diplomat Asia kepada The Washington Post, beberapa waktu lalu.
Riuhnya diplomat asing di hotel Trump menyulut kontroversi. Terlebih setelah dia terpilih sebagai presiden. Menjadi orang nomor wahid di negara adikuasa, Trump dituding memanfaatkan posisinya untuk mengeruk tambahan duit melalui jaringan hotelnya. "Bukankah kasar jika saya datang ke Washington, DC, dan berkata kepada Presiden, 'Saya menginap di hotel pesaing Anda'," diplomat Asia tersebut menuturkan.
Sepekan setelah pemilihan presiden, sekitar 100 diplomat asing menyewa kamar di hotel baru Trump. Mereka berasal dari berbagai negara. Daftar antrean bahkan masih panjang. Pada 15 Desember, misalnya, Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations, organisasi payung untuk kelompok-kelompok Yahudi di Amerika, menggelar pesta Hanukkah bersama Kedutaan Besar Republik Azerbaijan.
Malcolm Hoenlein, ketua organisasi tersebut, mengatakan tidak ada maksud lain di balik rencana mereka menggelar acara di hotel Trump. Apalagi Trump belum resmi dilantik. "Sampai 20 Januari, dia warga biasa. Saya pikir tidak ada konflik kepentingan," ujarnya. "Anda pikir presiden terpilih tahu siapa yang menyewa kamar hotelnya selama dua jam?"
Berlatar belakang pebisnis, kemenangan Donald Trump menyentak dunia. Sejak dia terpilih, rakyat Amerika waswas gurita bisnis Trump bakal mempengaruhi kebijakannya. Larry Noble, penasihat umum dari Campaign Legal Center, menyoroti ihwal membanjirnya diplomat asing di hotel Trump berikut puja-puji yang mereka bawa. "Trump menuai keuntungan. Ini memicu konflik kepentingan," katanya.
Wajar bila rakyat Amerika khawatir. Kerajaan bisnis Trump mendunia. Bernaung di bawah Trump Organization, organisasi payung usaha keluarga Trump, lengan-lengan bisnis pria 70 tahun itu menjalar lintas negara. Menurut analisis CNN, Trump menduduki posisi penting di lebih dari 500 perusahaan. Itu termasuk 144 perusahaan milik Trump yang menjalin bisnis di 25 negara di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Kekayaan Trump ditaksir mencapai US$ 3,7 miliar (sekitar Rp 49,2 triliun).
Perusahaan Trump paling banyak tersebar di India dan Indonesia, masing-masing 16 perusahaan. Ada pula di Kanada (14), Uni Emirat Arab (12), Skotlandia (10), dan Cina (9). Jaringan bisnis Trump juga merengkuh Turki, Qatar, dan Arab Saudi. "Beberapa bisnisnya menyulut kontroversi, seperti Trump Towers Istanbul," begitu dilaporkan CNN.
Di Istanbul, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengkritik keras Trump. Selama kampanye, Trump menyerukan larangan muslim masuk Amerika. Erdogan murka, tapi Trump bergeming. Dia tetap mengeruk duit dari proyek Trump Towers Istanbul, kompleks kantor dan perumahan berupa menara ganda berlantai 37 dan 39. Trump bukan pemilik gedung di Distrik Sisli itu, tapi dia mendapat royalti dari lisensi namanya. "Dia telah mengantongi lebih dari US$ 10 juta (sekitar Rp 132 miliar)," begitu menurut Huffington Post.
Trump juga mengeruk uang dari negara-negara Teluk. Qatar Airways, maskapai milik pemerintah Qatar, misalnya, menyewa ruangan di Trump Tower untuk kantor pusat mereka di New York. Trump juga menggamit proyek real estate dan lapangan golf di Uni Emirat Arab. Trump Organization, lewat jaringan Trump Hotel Collection, berencana memperbanyak hotel mewah di Dubai, Abu Dhabi, Qatar, dan Arab Saudi. Padahal Michael Flynn, penasihat keamanan nasional Trump, pernah menyebutkan bahwa negara-negara Teluk menjadi sponsor gerakan ekstremis Islam, terutama di Suriah.
Terhadap Arab Saudi, sikap Trump rupanya hanya pedas di mulut. Dia pernah mengancam bakal menyetop impor minyak dari Riyadh kecuali mereka menyediakan pasukan untuk melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "Siapa yang meledakkan World Trade Center? Bukan Irak, tapi Saudi," kata Trump pada Februari lalu. Namun belakangan terkuak bahwa Trump mendaftarkan delapan perusahaan baru di Saudi. Komisi Pemilihan Federal Amerika mengungkapkan bahwa empat dari perusahaan Trump itu masih aktif pada Mei 2016.
Jordan Libowitz, juru bicara Citizens for Responsibility and Ethics in Washington—lembaga nirlaba yang mempromosikan etika dalam pemerintahan—menyoroti jaringan bisnis Trump di Timur Tengah, terutama di Saudi dan Turki. Apalagi Trump menjadikan pemberantasan ISIS sebagai agenda utama kebijakan luar negerinya. "Turki kini menyedot perhatian terbesar dalam perang melawan teror," ujarnya.
Konflik lain muncul dari Negeri Panda. Bersuara kencang melawan Cina, Trump rupanya berutang ratusan juta dolar Amerika kepada Bank of China, yang dimiliki Beijing. Trump juga menyewakan ruangan di Trump Tower untuk bank lain milik Beijing, yaitu Industrial and Commercial Bank of China. Belum lagi utang Trump pada bank Jerman, Deutsche Bank.
Sepak terjang Trump membuatnya rentan terpapar pengaruh asing. Dia bisa terganjal Klausul Honorarium Asing dalam Konstitusi. Klausul itu melarang pejabat publik menerima keuntungan ekonomi dari pemerintah asing ataupun perusahaan milik pemerintah asing. "Jika tanpa persetujuan Kongres," kata Erik Jensen, profesor hukum dari Case Western Reserve University.
Donald Trump menyadari potensi konflik kepentingan saat dia kelak menggantikan Barack Obama. Tiga belas hari setelah pemilihan umum, Trump mencuit di Twitter. "Semua orang tahu saya berkepentingan dalam (bisnis) properti di seluruh dunia," katanya. Namun Trump meminta rakyat Amerika tak waswas. Dia berjanji menyerahkan kerajaan bisnisnya kepada tiga anaknya, yaitu Ivanka Trump, Donald Jr, dan Eric Trump.
Pada 30 November lalu, Trump kembali menyatakan rencananya untuk "berhenti total" dari bisnis dan berfokus di Gedung Putih. "Dokumen hukum disiapkan untuk membawa saya keluar dari operasional bisnis. Menjadi presiden tugas yang jauh lebih penting!" kata Trump seraya mengatakan bahwa dia akan mengumumkan detailnya pada 15 Desember.
Namun publik Amerika belum puas. Terlebih setelah mereka melihat Ivanka, 35 tahun, yang digadang sebagai pemimpin kerajaan bisnis Trump, masuk tim transisi. Padahal tim yang dipimpin wakil Trump, Mike Pence, itu bertugas menyusun kabinet. Ivanka juga kedapatan ikut dalam pertemuan Trump dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Trump Tower bulan lalu. "Tidak jelas kenapa Ivanka ada di sana," begitu menurut CNN.
Belakangan, Ivanka, bekas model fashion, diketahui tengah merampungkan kesepakatan dengan Sanei International. The New York Times melaporkan bahwa saat Ivanka ikut dalam perbincangan Trump-Abe, ada pertemuan lain di Tokyo. "Terjadi kesepakatan tentang perjanjian lisensi dengan Sanei," begitu menurut harian tersebut.
Kohei Yamada, juru bicara TSI Holdings, induk usaha Sanei International, membenarkan kabar tersebut. "Perusahaan pakaian Ivanka Trump menjajaki kerja sama dengan Sanei sejak dua tahun lalu," ujarnya. Pemegang saham terbesar TSI Holdings merupakan Bank Pembangunan Jepang, yang dimiliki pemerintah Jepang.
Insiden Ivanka ini membuat publik Amerika makin percaya pada kentalnya potensi konflik kepentingan di era Trump. CNN, dalam jajak pendapat terbaru pada akhir November lalu, menyebutkan 6 dari 10 orang Amerika percaya bahwa Trump belum berbuat cukup untuk memilah urusan bisnisnya dengan tanggung jawab publik.
Norman Eisen, kepala penegakan etika di kabinet Obama, menyarankan Trump melikuidasi semua asetnya dan menempatkannya dalam mekanisme blind trust. Cara ini, menurut Richard Painter, yang menjabat posisi serupa di era George W. Bush, penting karena hukum di Amerika tidak mengatur ketat pemberian lewat jalur bisnis. "Kepentingan pribadi dalam bisnis kadang bertentangan dengan kepentingan umum," kata mereka.
MAHARDIKA SATRIA HADI (SLATE, THE INDEPENDENT, CNN, THE NEW YORK TIMES)
Gurita Bisnis Trump
Semua bisnis Donald John Trump bernaung di bawah Trump Organization. Trump membentuk induk usaha itu pada 1971, menggantikan Elizabeth Trump & Son, perusahaan real estate yang dibentuk ayahnya, Frederick C. Trump. Trump Organization bermarkas di Trump Tower di Midtown Manhattan, Kota New York.
Dari laporan keuangan 2016, Trump diketahui memiliki 144 perusahaan yang menjalin bisnis di 25 negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo