Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBELIAN satu unit bungalo mewah di kompleks The Nassim, Tanglin, itu salah satu transaksi tertinggi di Singapura tahun ini. Nilainya Sin$ 20,25 juta atau sekitar Rp 188 miliar. Perumahan elite dengan lima kamar tidur, kolam renang, dan paviliun untuk parkir tiga mobil itu letaknya tak sampai dua kilometer dari Stasiun Kereta Orchard.
Dibangun oleh CapitaLand Singapore, anak usaha CapitaLand Limited, enam unit properti di The Nassim diduga dibeli sejumlah orang kaya Indonesia sejak pertengahan tahun ini. CapitaLand adalah salah satu perusahaan real estate terbesar di Asia. Salah satu pemegang sahamnya: Temasek Holdings (Private) Limited, sebesar 39,5 persen.
Transaksi di kompleks The Nassim itu berlangsung tak lama setelah satu unit kondominium di kompleks Le Nouvel Ardmore, Newton, terjual seharga Sin$ 21 juta (setara dengan Rp 196 miliar). Sejumlah media di sana menyebutkan Trihatma Kusuma Haliman, pemilik PT Agung Podomoro Land Tbk, pembeli kondo supermewah tersebut.
Dengan luas 487 meter persegi, apartemen yang didesain Jean Nouvel itu berada di lantai 7—dari 33 lantai apartemen di sana. Wing Tai Holdings Limited, perusahaan properti ternama di sana, membangun kondominium elite itu sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Orchard.
Dua transaksi di Orchard itu, menurut Badan Perencanaan Nasional Perkotaan Singapura atau Urban Redevelopment Authority, merupakan harga pembelian tertinggi properti tahun ini. Total nilai pembelian properti oleh orang Indonesia di Orchard melonjak 15 kali lipat dari tahun lalu. "Orchard adalah hotspot bagi pembeli properti asal Indonesia," ujar Ang Kok Leong, Senior Group Division Director SLP Realty, perusahaan agen real estate Singapura, kepada Tempo pada Jumat pekan lalu.
Menurut dia, banyak orang kaya Indonesia membeli properti mewah di sekitar Orchard karena familiar dengan kawasan ini. Program pengampunan pajak, kata dia, juga memicu orang kaya Indonesia jorjoran memborong properti mewah di Singapura. Mereka membeli kondominium mewah melalui jasa konsultan keuangan. Pembayarannya, menurut Ang, biasa dilakukan tunai. Sebagian membeli unit baru di pasar primer, sisanya membeli dari tangan kedua.
Direktur The Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menduga banyak orang Indonesia membeli properti mewah di Singapura karena pertukaran informasi negara-negara maju (OECD) akan diimplementasikan pada 2018. Pertukaran informasi itu, kata Prastowo, baru menyentuh sektor keuangan dan perpajakan. Adapun pertukaran data properti sulit diwujudkan karena banyak negara tidak siap. "Dalam skema pertukaran informasi, data aset properti belum akan masuk," ujarnya.
Manajemen CapitaLand menolak memberikan penjelasan mengenai kepemilikan properti mewah warga Indonesia di sana. Mereka cuma mengatakan proyek yang dikerjakan tak hanya menarik minat investor Singapura, tapi juga pembeli asing. "Proyek terakhir kami, Cairnhill Nine, di dekat Orchard Road sudah menerima pesanan dari banyak pembeli asing," ucap manajemen CapitaLand dalam surat elektroniknya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sekretaris Perusahaan Agung Podomoro, Justini Omas, mengatakan tidak mengetahui transaksi yang dilakukan oleh Trihatma Kusuma Haliman. "Kami tidak memiliki kapasitas untuk menjawab," kata Justini, Jumat pekan lalu. Apalagi, sejak rapat pemegang saham tahun lalu, Trihatma sudah tidak masuk jajaran direksi dan komisaris Agung Podomoro.
l l l
DATA Urban Redevelopment Authority periode Januari-September tahun ini mencatat, dari total transaksi pembelian 243 unit properti di kawasan Orchard, 20,6 persen dilakukan pembeli Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir, orang kaya Indonesia membeli properti di Orchard sebanyak 336 unit. Pembeli Indonesia berada di urutan ketiga setelah warga Singapura (654 unit) dan perusahaan (466 unit). Persentase pembeli Indonesia terhadap total pembelian properti di Orchard selama 20 tahun terakhir sekitar 18,1 persen.
Direktur Operasi dan Penjualan Properti Grup Far East Organization, Shaw Lay Lee, menyebutkan pembeli dan investor properti asal Indonesia itu biasanya melakukan investasi jangka panjang. "Mereka menyiapkan rumah bagi generasi penerusnya," ujarnya kepada Tempo. Far East merupakan salah satu pengembang terkemuka di Singapura.
Menurut dia, pembeli asal Indonesia tidak hanya berburu properti di kawasan Orchard. Mereka juga memburu kawasan premium lain, seperti Bukit Timah, East Coast Road, Scotts Road, dan Central Business District (CBD). Selain itu, sebagian dari mereka teridentifikasi membeli unit di kompleks Altez di CBD dan The Siena di Bukit Timah Road. "The Scott Tower, yang memiliki arsitektur unik dekat pusat belanja Orchard, juga menarik minat pembeli Indonesia," katanya.
Sejak 1995 hingga September 2016, total properti yang dibeli orang Indonesia di kawasan Bukit Timah mencapai 1.183 unit. Di kawasan premium ini, jumlah transaksi pembelian yang dilakukan orang Indonesia hanya kalah oleh Singapura (23.304 unit) dan perusahaan (3.241 unit). Pembelian itu menyumbang 3,6 persen terhadap total transaksi properti di kawasan Bukit Timah, sebanyak 33.173 unit.
Menurut Lee, properti superpremium sangat menarik minat pembeli asing karena pasokannya terbatas. Apartemen mewah Inessence milik Far East di area Orchard Road membetot minat pembeli Indonesia. Dari semua proyek Far East, pembeli asal Indonesia menyumbang 9 persen dari total penjualan. "Orang Indonesia berada di peringkat tiga besar untuk segmen pembeli asing proyek-proyek kami," ujarnya.
Bos Mayapada Group, Dato' Sri Tahir, menilai maraknya pembelian properti mewah oleh orang Indonesia di Singapura tahun ini mengundang keanehan. Pasar properti di sana, kata dia, sedang jelek dan tidak menguntungkan. "Kalau orang mau beli properti seharga Sin$ 20 juta, ini aneh karena harga lagi turun dan secara bisnis tidak masuk akal," ucapnya kepada Tempo.
Menantu Mochtar Riady ini membenarkan kabar bahwa banyak orang Indonesia membeli properti di Nassim Road, yang berjarak 2,3 kilometer dari Stasiun Orchard. Salah satunya Stephen Riady, anggota keluarga konglomerat Lippo Group yang sudah menjadi warga negara Singapura.
Berdasarkan laporan keuangan OUE Limited, perusahaan milik Stephen Riady ini telah merampungkan akuisisi Nassim Land Parcels, yang terletak di Nassim Road, pada Oktober lalu. Nassim Land merupakan kompleks bungalo eksklusif di sana.
Pertengahan tahun ini, Tahir membeli Straits Trading Building di Battery Road, yang juga merupakan lokasi premium, seharga Sin$ 560 juta (sekitar Rp 5,2 triliun). Hampir 80 persen sumber pembiayaannya berasal dari perbankan. "Ini untuk office. Saat ini baru complete deal," kata Tahir. "Mulai Januari tahun depan baru kami sewakan."
Menurut Yustinus Prastowo, maraknya pembelian properti mewah oleh orang Indonesia di Singapura juga didorong oleh niat berinvestasi. Sebab, Singapura menjanjikan kepastian hukum dan kestabilan politik. Dengan harga properti di Singapura yang sedang turun, orang kaya Indonesia memilih berinvestasi di sana. Terkait dengan program pengampunan pajak, Prastowo menduga para orang kaya ini hanya memilih untuk mendeklarasikan harta. "Toh, nantinya belum akan ada pertukaran informasi mengenai properti," ujarnya.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan wajib pajak yang membeli properti di Singapura cukup mendeklarasikan asetnya. Jika properti tersebut kelak disewakan, wajib pajak harus melaporkannya dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT). "Kami malah senang kalau banyak orang Indonesia yang kaya. Yang penting mereka bayar pajak," ucapnya.
Ken mengatakan rezim pajak saat ini tidak mengenal pembayaran pajak ganda. Saat ini Singapura memberlakukan pajak penghasilan badan 17 persen dan Indonesia 25 persen. "Berarti wajib pajak cukup membayar sisanya," kata Ken.
Atase Keuangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, Ambang Priyonggo, mengatakan harga properti di Singapura menurun setelah mencapai puncak pada 2013. Walhasil, banyak orang asing, termasuk dari Indonesia, tertarik membeli untuk investasi atau tempat tinggal.
Ken memastikan, setelah pertukaran informasi diberlakukan pada 2018, wajib pajak akan sulit menyembunyikan asetnya meski dalam bentuk properti. "Cepat atau lambat pasti akan ketahuan," ujarnya.
Menurut Ambang, wajib pajak Indonesia tidak bisa menyembunyikan aset propertinya di Singapura. Sebab, otoritas pajak semua negara akan bekerja sama mengejar pengemplang pajak. "Pemerintah sudah memberi jalan penyelesaian yang bagus melalui program pengampunan pajak," katanya.
Seorang pengusaha muda Indonesia yang berbisnis di Singapura mengatakan pajak pembelian properti di Negeri Singa tidak murah. Untuk membeli satu unit rumah atau kondominium mewah di atas harga Sin$ 5 juta, pembeli harus membayar pajak stamp duty 18 persen atau setara dengan Sin$ 900 ribu (sekitar Rp 8,4 miliar). "Apabila rumah itu dijual kembali sebelum lima tahun, akan kena pajak cukup besar," ujarnya. Bila hunian dijual dalam satu tahun, misalnya, pajak yang dikenakan 16 persen.
Ia menilai pemerintah Singapura sangat menjaga kerahasiaan data. Itu sebabnya pemerintah Indonesia harus memiliki kerja sama khusus dengan Otoritas Administrasi Perpajakan Singapura (IRAS) untuk memperoleh akses data pembeli properti di sana. ABDUL MALIK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo