Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terjebak di Simpang Lama

Pemerintahan baru Irak terjepit beban ganda yang bisa mengundang kembali pertumpahan darah: menenangkan anak-negeri Irak atau menyenangkan Amerika. Berikut ini laporan wartawan TEMPO Rommy Fibri dari Bagdad.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyaris tak berkedip, Adnan Masoud menatap ke televisi selama bermenit-menit. Matanya terpaku pada wajah Saddam Hussein yang tengah ditayangkan stasiun televisi Al-Jazeera. "Kasihan! Saddam seharusnya bebas dan Bush yang dipenjara," ujarnya kepada TEMPO dengan terbata-bata. Adnan, 47 tahun, adalah seorang penjaga toko di kawasan Al-Wathiq, Bagdad. Pada masa Saddam berkuasa, Adnan dibekap tiga tahun di bui gara-gara menganut Syiah. Tapi gambar di layar televisi hari ini telah membikin "darah Arab"-nya bergemuruh, dan melupakan masa silam: "Tak sepantasnya Amerika dan Allawi (Perdana Menteri Irak Iyad Allawi—Red.) memperlakukan Saddam sebagai pesakitan," dia melanjutkan.

"Jatuh kasihan kepada Saddam" adalah fenomena yang dengan mudah direkam di berbagai sudut Bagdad ketika TEMPO mengunjungi kembali negeri itu pada dua pekan silam. Kebijakan Perdana Menteri Irak, Iyad Allawi, yang menghadirkan Saddam di pengadilan, justru menjadi bumerang bagi pemerintahan transisinya. Kalangan pro-Saddam seakan menemukan momentum kebangkitan. Dan mereka yang tadinya anti-Saddam, eh, jatuh iba pada bekas diktator itu.

Semula kabinet Allawi mengharapkan langkah menaikkan Saddam ke pengadilan bisa mendatangkan dua keuntungan sekaligus: meraup simpati publik bagi pemerintahan baru dan memacu semangat persatuan rakyat Irak. Dengan demikian, terciptalah kestabilan sosial-politik. Apa lacur, baru sepekan Saddam dibawa ke muka umum, reaksi publik justru di luar dugaan. "Justru sejak penayangan (Saddam di televisi—Red.), pengeboman meningkat setiap hari," kata Shamel Khalef, pebisnis yang tinggal di Bagdad. Shamel bahkan sampai pada kesimpulan: langkah politik Allawi itu keliru besar.

Allawi sendiri, sejatinya, tidak punya banyak pilihan—dia seperti terjebak di persimpangan lama: menenangkan warga Irak atau menyenangkan hati Amerika. Pada akhir Juni lalu, Amerika telah "membebaskan". Maka wajar bila budi baik itu dikenang. Di Irak sendiri ramai terjadi perdebatan bahwa pengadilan Saddam tak lepas dari campur tangan "saudara tua" di Washington sana. Sumber TEMPO di lingkaran kabinet Allawi membisikkan: kebijakan menayangkan prapengadilan Saddam adalah di luar kuasa Allawi.

Begini ceriteranya.

Sehari setelah pergantian kekuasaan pada 28 Juni, Allawi menggelar sebuah jumpa pers yang juga dihadiri TEMPO. Di situ dia menyampaikan, pada 30 Juni akan dilaksanakan transfer tahanan kakap Saddam dan para kroninya dari pihak AS ke pemerintah Irak yang baru. "Saya hanya menjawab soal transfer tahanan, tidak yang lain-lain," Allawi menepis banjir pertanyaan wartawan. Perdana Menteri Irak itu juga menekankan, transfer ini hanya menyangkut berkas dan dokumen. Eksekusi penahanan masih tetap di bawah komando pasukan koalisi. Lalu rencana persidangan Saddam? Menurut Allawi, akan direncanakan kemudian. "Waktunya mungkin masih jauh," dia menjelaskan.

Tapi apa yang terjadi pada 30 Juni petang? Transfer tahanan memang terjadi. Tapi Brigadir Jenderal Mark Kimmitt, juru bicara pasukan koalisi, mengatur sebuah "acara lanjutan". Mengumpulkan para wartawan yang meliput transfer Saddam, Mark Kimmit meminta jurnalis-jurnalis itu merundingkan siapa yang bakal mewakili mereka ke media pool—semacam kelompok perwakilan. Lho, ada liputan istimewa apa? Rupanya, petang itu juga Saddam masuk ke ruang sidang praperadilan—sesuatu yang sama sekali tak muncul dalam penjelasan Allawi. Jenderal Kimmit bahkan memberi anggota media pool akses selama 30 menit untuk memotret ataupun merekam gambar sidang prapengadilan Saddam.

Berlokasi di sebuah ruang di bekas istana Saddam, kawasan Al-Faw, bagian barat Bagdad, persidangan Saddam dimulai setelah upacara pergantian komandan pasukan koalisi. Tongkat komando berpindah dari Letnan Jenderal Ricardo Sanchez ke Letnan Jenderal George Casey. Tugas kedua jenderal itu tidak jauh berbeda. Seluruh operasi militer di Irak praktis masih berada di garis komando pasukan koalisi.

Allawi yang sudah menggenggam kekuasaan pun "meminta" serdadu koalisi tetap bertahan, sampai tentara Irak benar-benar siap. Ketika menyampaikan nota diplomatik, Duta Besar Amerika untuk Irak, John Negropote, tetap menggarisbawahi tugasnya—yang tak jauh berbeda dari pekerjaan rumah pendahulunya, L. Paul Bremer. Jauh sebelum kedatangannya ke Bagdad, banyak media memang sudah menyindir bahwa kalaupun serah-terima telah terjadi, Negropote tetap akan menjadi "pemimpin Irak yang lebih berkuasa ketimbang Allawi".

Situasi transisional yang masih jauh dari sempurna ini makin runyam oleh sikap anarkis yang kini melanda sebagian rakyat Irak—situasi ini amat berbeda dari apa yang dialami TEMPO sebelum kejatuhan Saddam. Misalnya, orang kebanyakan yang tadinya amat tak peduli tentang mujahidin pro-Saddam, kini malah terkesan "tahu sama tahu" dengan mereka.

Berikut sebuah contoh kecil. Awal dua pekan lalu, di sebuah rumah makan, sekitar 80 kilometer menjelang perbatasan Irak-Yordania dari arah Bagdad. TEMPO masuk ke kedai tersebut sembari menebar salam. Alih-alih menjawab, empat pria muda yang duduk di satu meja melotot, seperti ingin menelan mentah-mentah si pemberi salam.

Sembari menantikan pesanan, wartawan mingguan ini beranjak ke kamar kecil. Kembali ke meja, bukannya kabab lezat yang menanti, tapi tarikan tangan sopir mobil sewaan yang mendesak TEMPO agar segera berlari ke mobil. Sembari tancap gas, si sopir menjelaskan sikapnya dalam bahasa Inggris yang patah-patah, "Kalau tidak cepat-cepat kutarik, kamu sudah disandera mujahidin pro-Saddam."

Masih dengan napas panjang-pendek karena tegang, dia melanjutkan, "Ketika kamu di kamar kecil, mereka sudah berunding untuk menodongkan senjata begitu kamu duduk." TEMPO bertanya, "Bukankah saya muslim dari Indonesia, negara Islam terbesar di dunia?" Sembari terkekeh Ahmad—nama sopir itu—berkomentar lirih, "Mereka cuma mau tebusan uang. Mau Muslim, Cina, Kristen, bahkan ateis, tetap saja mereka culik."

Penculikan, pengeboman, dan kontak senjata, memang kental mewarnai kehidupan penduduk Irak saat ini. Kemiskinan yang mendera membuat mereka mudah gelap mata. Ketika TEMPO bertanya kepada Ahmad, kenapa mau bersusah payah membantu, jawabannya sungguh membikin giris: "Kalau kamu ditawan, mereka yang untung, sementara saya tidak kebagian kutipan uang sewa mobil," begitu katanya.

Sikap anarkis semacam itu tak hanya diperlihatkan kepada warga asing. Perdana Menteri Iyad Allawi pun tak luput dari sengsara itu. Pertengahan pekan lalu, kompleks perumahannya di Zeitoun, Bagdad, dihujani empat rudal dari kelompok tak dikenal. Ledakan itu melukai enam penduduk sipil, termasuk seorang ibu dan anak perempuannya, serta menghancurkan tiga mobil. "Itu tindakan kriminal dan pengecut yang menghambat kemajuan demokrasi di Irak," kata Allawi.

Tim Allawi pun bertindak gesit. Pertengahan pekan lalu, Perdana Menteri dan Presiden Irak sudah meneken status "negara dalam keadaan darurat". Artinya, Allawi dan Presiden berhak menetapkan satu daerah menjadi darurat militer, serta melaksanakan operasi militer. Ini ironis karena pada hari pelantikannya Allawi mengatakan, antara lain: tak akan ada status negara darurat.

Celaka bertambah karena, begitu keadaan negara ditetapkan dalam status darurat, muncul rekaman video gerombolan manusia bertutup kepala. Mengaku sebagai pencinta kedamaian Irak, mereka mengancam bakal menghabisi Musab al-Zarqawi dan semua pendukungnya. Gerombolan Musab inilah yang diduga menebar teror melalui peledakan bom mobil. "Kami akan membunuh kalian sebagai hadiah bagi rakyat Irak," mereka mengancam dalam video tersebut.

Pada saat bersamaan, polisi Irak berhasil menggagalkan misi sebuah bom mobil yang memuat 750 kilogram bahan peledak. Mobil itu diparkir di dekat Masjid Al-Iman, di kawasan Karrada, pusat Kota Bagdad. Kementerian Hak Asasi Manusia Irak juga mengumumkan penahanan keponakan Saddam, Mohammed Barzan al-Tikriti, di wilayah perbatasan dengan Yordania. Dia terjaring bersama 21 pejuang asing dari Arab, dalam operasi yang digelar selama sebulan penuh.

Usia pemerintahan baru Irak belum lagi seumur jagung. Tapi pertikaian berdarah tampaknya telah mengintip dari berbagai kisi-kisi Bagdad. Alhasil, bukan main sulitnya pekerjaan rumah yang mesti dihadapi Iyad Allawi dan kabinetnya hingga awal tahun depan: apa pun yang terjadi, mereka harus melempangkan jalan bagi pemilu Irak pada akhir Januari 2005.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus