Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Hassan-Hussein sampai Ainul Mardhiah

Dari masa ke masa, musik dan syair Aceh penuh pujian terhadap pengorbanan dan kepahlawanan.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hassan ngoen Hussein cucoe di Nabi
Aneuk bak Siti Fatimah Zuhra
Syahid di Hussein teuma dalam prang
Syahid di Hassan inoeng bri tuba


(Hassan dan Hussein cucu Nabi Muhammad
Anak dari Siti Fatimah Zahroh
Hussein mati syahid dalam perang
Hassan mati syahid karena diracun perempuan)

Kisah dua cucu Nabi Muhammad dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah itu mengalir dari mulut Rafly. Penyanyi tradisional Aceh ini melanggamkan kematian mereka dalam lagu Hassan-Hussein pada album berjudul sama. Irama dan nadanya seperti penembang dike (zikir) yang diberi tekanan khusus pada bagian tertentu. Memang ini bukan dike yang mengguncang jiwa, tapi cukup untuk membuat penikmatnya merenung sejenak. Kematian Hassan dan Hussein bukan kematian biasa, melainkan tragedi kemanusiaan yang terus dikenang hingga sekarang.

Lagu tersebut bukan satu-satunya tembang tradisional Aceh tentang tragedi 10 Muharam 61 Hijriah di Padang Karbala. Di tempat inilah Hussein bin Ali bin Abi Thalib gugur sebagai syahid saat melawan tentara Muawiyah pimpinan Yazid. Hussein bukan sekadar mati ditebas pedang, tapi kepalanya ikut tanggal di tangan lawan, lalu dimasukkan ke karung dan diserahkan kepada Muawiyah, penguasa dan pendiri dinasti Umayah. Begitu pula kematian Hassan, si kakak, yang terpaksa menelan racun karena tipu daya perempuan suruhan.

Kisah dua anak manusia ini, terutama tragedi pemenggalan kepala Hussein, menjadi ikon ritual kaum Syiah. Peristiwa itu ditulis dalam ribuan puisi, ritual doa, sampai lirik lagu. Tak terkecuali di Aceh, yang banyak melahirkan syair dan lagu lewat tradisi tutur yang kuat. Cerita Hassan dan Hussein diceritakan dalam berbagai bentuk. Ada yang sekadar menuturkan asal-usul keduanya seperti dalam lagu Hassan-Hussein itu. Namun, tak sedikit pula yang secara gamblang melukiskan proses kematiannya seperti dalam lagu Hussein Syahid.

Lagu dalam album Syiar & Syair milik Rafly itu memotret kekejaman Yazid yang di luar batas kemanusiaan. Memang tak ada kata darah muncrat yang membasahi bumi atau kepala yang terpenggal. Namun, lirik lagu yang ditulis Pak Rep dan Madya Hus ini mampu menggugah batin. Terutama sikap heroik yang ditunjukkan Hassan menghadapi tentara Muawiyah. "Lirik lagu Aceh biasanya menampilkan sisi heroik perjuangan seseorang," kata Nurdin Daud, seniman Aceh yang banyak menulis lirik lagu tradisional yang juga pengajar tari Aceh.

Sikap heroik yang dibungkus semangat keagamaan ini memang banyak ditemukan dalam lagu tradisional Aceh, baik yang diwariskan secara turun-temurun lewat lisan maupun tembang anyar yang dibuat belakangan. "Contoh yang digunakan biasanya perjuangan Hassan di Padang Karbala," kata Jauhari Samalanga, seniman Aceh dan pendiri komunitas Nyawoung. Namun, tak semua lagu tentang Hassan selalu berkisah perang seperti dalam Hassan-Hussein.

Lagu yang dijadikan judul album ini lebih menekankan pada sosok Hussein yang sebenarnya. Penulisnya kerap menampilkan aspek keturunan atawa silsilah keluarga. Jangan heran jika dalam lagu seperti ini akan disertakan Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, dan Siti Fatimah putri Nabi. Bisa jadi tujuannya memang memberi tekanan kenapa Hussein dihormati begitu rupa. "Pola ini memang menggambarkan kedekatan orang Aceh dengan tradisi Syiah," kata Jauhari. Cara penuturan yang berurut dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, dan Siti Fatimah yang melompat ke Hassan dan Hussein merupakan pola penuturan yang banyak ditemukan pada doa-doa versi Syiah. Sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman jarang disebut.

Selain menampilkan pola penyebutan, lagu Aceh punya idiom khas untuk menyebut mereka. Kata "zuhro" biasa disematkan pada Siti Fatimah, istilah yang diambil dari kata az-zahroh (artinya bunga), sebutan dari Nabi Muhammad. Sedangkan Hassan dan Hussein selalu disertai kata syahid. "Pola penyebutan dan idiom khas ini pengaruh dari paham Syiah yang pernah berkembang di Aceh," kata maestro tari tradisional Aceh ini.

Pengorbanan memang diagungkan melalui pelbagai cara. Dalam Hikayat Prang Sabi, karya sastrawan klasik Melayu, Teungku Cik Pantekulu menyebut Ainul Mardhiah, ratu bidadari di surga, sosok yang bakal menyambut mereka yang mati syahid. Alkisah, demikian dalam Hikayat Prang Sabi, seorang pemuda yang hendak ambil bagian dalam perang tersentak dari tidurnya, lalu larut dalam sedu-sedan. Ia bermimpi bertemu ratu bidadari di surga. Tapi itulah pertemuan yang membuat ia merana: sang ratu menampik cintanya. Ia mendengar ratu itu mengucap bahwa yang berhak atas dirinya hanya pemuda yang syahid di medan tempur. Pemuda itu akhirnya mati di medan perang dan langsung disambut Ainul Mardhiah di surga.

Hikayat Prang Sabi menggambarkan Ainul Mardhiah sebagai bidadari yang istimewa di surga. Tafsir yang—di mata sebagian orang—terlampau profan. Kelompok Nyawoung, dalam lagu Prang Sabil dan Panglima Prang, misalnya, menghindari penggambaran seperti itu. Perjuangan Sultan Aceh pada abad ke-16 dalam dua lagu tersebut dianggap suatu perang suci untuk mendapatkan perkenan ilahi (Dudo Tuhan Bri Ainul Mardhiah).

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus