Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asap hitam tebal membubung dari Shejaiya di wilayah timur laut Kota Gaza. Tim paramedis dengan sigap menggotong mayat dan korban luka-luka dari balik reruntuhan bangunan ke dalam ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Siaran televisi tak henti-hentinya menampilkan gambar memilukan, anak-anak dan orang tua yang tewas berlumuran darah.
Di pintu Rumah Sakit Shifa, mobil-mobil unit darurat mengalami kemacetan. "Rumah sakit benar-benar kelebihan pasien. Ini pemandangan terburuk bagi sebagian dari kami, bukan hanya karena banyaknya pasien, melainkan juga karena rasa sakit dan penderitaannya," kata Mads Gilbert, dokter Norwegia yang bertugas di unit gawat darurat rumah sakit, seperti dilansir BBC, Ahad dua pekan lalu.
Situasi mencekam yang dirasakan warga Gaza bermula dari penculikan tiga pelajar Israel yang disangkakan pelakunya adalah kelompok militan Hamas. Delapan belas hari setelah penculikan, pada 30 Juni lalu, tentara Israel menemukan mayat ketiga pelajar itu di wilayah barat laut Hebron, Tepi Barat. Dua hari setelahnya, seorang pelajar Palestina, Abu Khudeir, juga ditemukan tewas di Yerusalem, dan dianggap sebagai aksi balas dendam penculikan tiga remaja Israel sebelumnya.
Sejak 8 Juli lalu, di bawah payung Operasi Perisai Perlindungan, Israel menggempur Gaza dengan serangan udara, yang dibalas dengan serangan roket oleh Hamas. Setelah 10 hari serangan itu gagal menghentikan serangan roket, Israel melancarkan serbuan darat dengan dukungan udara dan angkatan laut, mulai Jumat dua pekan lalu. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan tujuan serangan itu adalah menghancurkan terowongan dari Gaza ke Israel yang biasa dipakai Hamas.
Netanyahu mengaku keputusan melakukan serangan darat ke Gaza diambil pada Kamis pagi dan disetujui semua elemen politik Israel. Selanjutnya pasukan pertahanan Israel memulai posisi untuk serangan darat yang akan dilakukan dari beberapa arah.
Namun serangan darat yang hingga pekan lalu menewaskan 500-an warga Palestina itu tak sepenuhnya mendapat persetujuan anggota parlemen, Knesset. Sepekan sebelum Netanyahu memutuskan serangan darat, anggota parlemen dari Partai Balad, Jamal Zahalka, menuding polisi dan pasukan militer Israel sebagai kelompok pembunuh.
"Saya tidak ingin mendengar dari orang yang tangannya telah berlumuran darah seperti Anda," teriak Zahalka, saat Inspektur Jenderal Polisi Yohanon Danino memberikan penjelasan di hadapan komite dalam negeri Knesset sehubungan dengan tindakan polisi terhadap pengunjuk rasa keturunan Arab Israel. Zahalka lantas diseret petugas keamanan ke luar gedung parlemen.
Seusai kejadian itu, pada Jumat dua pekan lalu, tiga partai sayap kiri yang beroposisi, yaitu Partai Meretz, United Arab List Ta'al, dan Balad, melontarkan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mosi ini diajukan di tengah meningkatnya ketegangan atas Operasi Perisai Perlindungan yang dijalankan Netanyahu terhadap kelompok Hamas di Gaza.
"Sekarang merupakan saat yang sangat penting bagi parlemen kita untuk berjuang dan menggandeng oposisi dalam sistem demokrasi. Kami tidak percaya pada pemerintah, yang memimpin kita pada kematian dan pembekuan diplomatik, juga meningkatkan ketegangan militer yang serius," kata Nitzan Horowitz dari Partai Meretz.
Partai Meretz menolak keras serangan militer ke Gaza dan minta dilakukan pembaruan negosiasi diplomatik dengan Otoritas Palestina sesegera mungkin. Tujuannya mencapai solusi nyata yang dapat membawa negara pada keamanan dan stabilitas. "Gaza harus menjadi bagian dari solusi dua negara," katanya.
Namun ketua koalisi sayap kanan di parlemen, Ze'ev Elkin dari Partai Likud, menekankan partai koalisi akan memboikot pemungutan suara atas mosi tidak percaya itu. Dia khawatir oposisi dapat menggulingkan pemerintah Netanyahu hanya dengan mengantongi 61 suara dalam mendukung mosi tidak percaya.
Wakil Menteri Pertahanan Israel Ofir Akunis justru menanggapi mosi itu dengan sebuah ejekan. "Dengan saya berdiri di sini, Hamas dan organisasi teroris lain sedang melaksanakan semua yang bisa mereka lakukan untuk membunuh warga sipil, baik pria, wanita, maupun anak-anak. Ini memalukan bahwa saya harus berdiri di sini dan menjawab mosi tidak percaya ketika saya seharusnya berada di lapangan dengan warga, untuk melindungi mereka," kata Akunis.
Di balik itu semua, serangan ke Gaza menjadi pertarungan penting bagi karier politik Netanyahu. Menurut seorang sumber, jika Netanyahu berhasil mengakhiri serangan roket Hamas dengan kemenangan, dia akan dianggap berhasil menghancurkan teroris dalam masa kepemimpinannya dan tentu ikut membawa nama baik Partai Likud yang mengusungnya.
"Dalam skenario itu, saat pemilihan umum mendatang, Netanyahu bisa mengalahkan para pesaing beratnya, Moshe Feiglin dan Menteri Dalam Negeri Gideon Sa'ar atau mantan Menteri Kesejahteraan Moshe Kahlon," kata sumber itu.
Rosalina (Jerusalem Post, BBC, Haaretz, Middle East Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo