SETELAH melalui persiapan yang berbelit-belit, akhirnya Pangeran Norodom Sihanouk bertemu juga dengan PM Republik Rakyat Kamboja, Hun Sen. Adalah Sihanouk yang kabarnya menetapkan dua syarat utama: pertama, pertemuan mesti berlangsung di Fere-en-Tardenois, timur laut Paris kedua, untuk itu Hun Sen harus mengajukan surat permohonan kepadanya, dengan pesan bahwa permohonan dibuat tidak di atas blangko resmi Republik Rakyat Kamboja. Rezim Phnom Penh rupanya tidak keberatan. Dalam telegramnya, Hun Sen, yang jauh lebih muda, 37 tahun, membahasakan Sihanouk, 65 tahun, dengan sebutan samdech, artinya "yang mulia". Ketika bertemu sikap PM Kamboja itu juga tampak sangat menghormati samdech, kendatipun ia tidak membungkuk. Dalam suasana seperti itulah diusahakan terobosan baru menembus kemelut politik dan militer yang merongrong Kamboja sejak sembilan tahun silam. Perundingan tiga hari Sihanouk-Hun Sen di sebuah hotel mewah di Fere-en-Tardenois berhasil melahirkan persetujuan empat pasal. Isinya tak istimewa, tapi para pengamat sependapat bahwa itu merupakan babak baru yang membawa harapan bagi Kamboja. Dokumen empat pasal itu menyetujui "konflik Kamboja harus diselesaikan lewat jalan politik". Bahwa konflik harus diselesaikan dengan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa". Pasal ketiga menyatakan, apabila suatu persetujuan telah dicapai, suatu "pertemuan internasional diadakan untuk menjamin kemerdekaan Kamboja dan stabilitas di Asia Tenggara". Akhirnya, Hun Sen dan Sihanouk setuju untuk bertemu kembali di Pyongyang April tahun depan, lalu sesudahnya dilanjutkan pertemuan ketiga di Fere-en-Tardenois. Dalam cocktail party kecil, seusai pertemuan, sambil mengangkat gelas Sihanouk berkata, "Apabila tak mencapai persetujuan pada tahun 1988, kita akan berjumpa lagi pada 1989 di Phnom Penh." Semangat Sihanouk begitu menggebu, tapi tak urung ia bicara tentang penolakannya terhadap tawaran Phnom Penh. "Saya lebih baik mati di Beijing atau Pyongyang ketimbang jadi presiden boneka di Phnom Penh. Saya tak sudi jadi antek Hanoi." Sebaliknya, ia bersedia menjadi kepala negara Kamboja yang baru, dengan pemerintah yang didukung bersama: oleh gabungan unsur-unsur Pemerintah Demokratik Kamboja (CGDK) dan pemerintah Hun Sen. Sihanouk mengharap terlalu jauh? Mungkin juga tidak, konon karena RRC sendiri tidak keberatan jika sekutunya, Khmer Merah, ikut ambil bagian dan ikut diperhitungkan. Sementara itu, KPNLF, unsur yang dipimpin Son Sann, kabarnya sudah menyatakan dukungan pada Sihanouk. Tinggal lagi soal tentara Vietnam yang, kata Sihanouk, harus ditarik seluruhnya dari Kamboja, begitu rujuk Kamboja tercapai. Soalnya kini, apakah rujuk itu punya peluang besar. Uni Soviet dan Vietnam tentu menyambut hangat pernyataan bersama Sihanouk-Hun Sen. Soviet, juga berkepentingan adanya penyelesaian dengan cepat. Setiap hari Moskow mesti mengeluarkan US$ 1 juta untuk menopang pemerintah Hanoi, termasuk membiayai 140.000 tentara Vietnam di Kamboja. Sejauh yang menyangkut Vietnam, suatu Kamboja yang damai akan memberi peluang kepadanya untuk lebih memusatkan diri pada pembangunan ekonomi dalam negeri. Namun, bukan tidak mungkin Hanoi cuma mengulang permainan lama: berunding sekadar mengulur waktu, seraya memanfaatkan situasi. Beijing sejauh ini masih menahan diri. Kantor berita Xinhua, misalnya, hanya memberitakan pertemuan Sihanouk-Hun Sen tanpa merinci persetujuan empat pasal itu. Menlu Indonesia Mochtar Kusumaatmadja dan Menlu Malaysia Datuk Abu Hassan Omar memuji peristiwa tersebut sebagai langkah positif. "Itu menandakan kedua pihak punya itikad baik mencari penyelesaian atas konflik Kamboja," komentar Mochtar. Buat ASEAN, pertemuan Paris itu paling tidak merupakan langkah ke arah terlaksananya cocktail party, yang katanya akan berlangsung di Jakarta, Januari 1988. Yang mungkin agak sumbang adalah "suara lain" yang datang dari Bangkok. Meskipun Muangthai terikat dengan ASEAN, tak urung ada syak wasangka terhadap niat Sihanouk pulang ke Kamboja. Dikhawatirkan, Sihanouk kelak hanya berperan tak lebih dari boneka Vietnam saja (lihat Mimpi Buruk tentang Sihanouk). A. Dahana, laporan Yudhi Soerjoatmodjo (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini