Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tetap Berarti tanpa Partai

Dengan mengandalkan kandidat independen, Ikhwanul Muslimin meraih dukungan besar dalam dua putaran pemilu parlemen. Dominasi partai pemerintah terancam.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alexandria, kota yang nyaman di tepi Laut Mediterania, tiba-tiba dilanda amarah. Kumpulan manusia berwajah garang mengacungkan tongkat, pisau, senjata api, sembari berkeliaran di jalanan kota. Halaman depan koran Al-Masri Al-Yaum memuat foto besar seorang lelaki dan sejumlah remaja yang menyandang pedang serta satu calon anggota parlemen yang menggenggam pistol. Kerusuhan pecah di 18 provinsi Mesir pada pemilu legislatif putaran kedua, Ahad 20 November hingga akhir pekan lalu. Seorang sopir kandidat independen dianiaya hingga tewas.

Rusuh di jalanan ini menjalar ke meja parlemen—walau bentuknya tentu lebih ”terhormat”: saling hujat dan tuding, tak sampai main pedang. Hawa Mesir yang mendidih ini adalah ekses dari sukses Ikhwanul Muslimin dalam pemilu legislatif putaran kedua. Organisasi persaudaraan Islam ini meraup 34 kursi dari 180 kursi yang diperebutkan pada putaran pertama pemilu, 9 November lalu.

Perolehan itu masih di bawah Partai Nasional Demokratik (NDP), yang memetik 70 kursi. Toh, ciut juga hati pemerintah—NDP adalah partai pendukung Presiden Hosni Mubarak—karena pada pemilu legislatif terdahulu Ikhwanul hanya mendapat 15 kursi. ”Sukses Ikhwan pada putaran pertama menimbulkan ketakutan rezim,” kata Mohammed Habib, Wakil Ketua Ikhwanul Muslimin.

Kerusuhan pun pecah, disusul saling tuding satu sama lain. Kelompok oposisi mengatakan para perusuh adalah preman bayaran Partai Nasional Demokratik (NDP) yang mengacau di berbagai tempat pemungutan suara. ”Mereka memakai kekerasan dan preman bayaran untuk menghadapi kami,” ujar Mohammed Habib. Sebaliknya, Kementerian Dalam Negeri Mesir menuduh Ikhwan sebagai dalang keributan pascapemilu. ”Mereka membayar preman untuk mengintimidasi pemilih dan membuat kerusuhan,” demikian pernyataan resmi pemerintah.

Laporan pemantau independen mementahkan pernyataan pemerintah. Menurut tim pemantau, warga NDP bertindak curang dengan cara membeli suara, menyuap petugas, mengerahkan preman, melakukan pendaftaran kolektif, serta mengangkut pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS) ke luar wilayah mereka. Semua itu berlangsung di depan hidung panitia pemilu dan polisi. ”Ya, kami menyuap pemilih. Jika kamu ingin memotret saya, silakan,” ujar seorang pendukung NDP kepada wartawan kantor berita BBC. Gara-gara laporan itu, tim pemantau langsung ditendang dari semua TPS selama penghitungan suara.

Pada putaran kedua pemilu legislatif pekan lalu, Ikhwan mengklaim perolehan 37 kursi. Diperkirakan, organisasi tanpa partai ini akan mengumpulkan total 100 kursi pada putaran ketiga, 1 Desember nanti. ”Pemerintah ingin tetap mengontrol (parlemen). Jika kehilangan kontrol, mereka menjadi gila,” kata Saadeddin Ibrahim, Direktur Pusat Hak Asasi Ibnu Khaldum. Ada 454 kursi di parlemen yang diperebutkan dalam tiga putaran pemilu.

Baru kali ini Ikhwanul Muslimin memainkan peran politik secara intensif dan terbuka sejak dibredel pemerintah pada 1954. Setelah lebih dari 50 tahun diburu, ditangkap, dan disiksa, para anggota Ikhwan kini boleh ikut pemilu secara terbuka, meski tidak dalam bentuk partai. Slogan mereka, ”Islam adalah solusi”.

Mereka menyodorkan kandidat independen yang mendapat simpati luas, macam Makarem El-Deery dari Kota Nasr. Seorang perempuan nekat menerobos barikade pendukung NDP yang menghalanginya masuk ke tempat pencoblosan agar bisa memilih El-Deery. ”Dia (El-Deery) dekat dengan kami, mengerti kami, dan akan membuat perubahan,” kata perempuan itu.

Menurut Mohammed Habib, faktor keberhasilan utama yang mendorong rakyat memberi suara adalah kerja sosial Ikhwan serta upaya mereka menampilkan sosok Islam moderat. ”Keberhasilan kami tak perlu membikin kelompok sekuler atau Kristen waswas,” ujar Habib.

Yang lebih waswas barangkali Pak Mubarak dan para punggawanya di Kairo.

Raihul Fadjri (Al-Ahram, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus