Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu panggung di tengah hamparan pulau pasir di Sand Island, Hotel Hard Rock; satunya lagi di belakang Kafe Hard Rock—dua titik yang memang tidak didesain untuk menampung banyak penonton. Tapi inilah Bali Jazz Festival, Pantai Kuta, yang bergulat menyingkirkan trauma bom Bali II.
Sedianya, jazz itu digelar lebih dekat dengan deburan pantai dan gratis. Tapi panitia kemudian memutuskan buat menonorsatukan keamanan, meski itu berarti festival itu cuma dinikmati kalangan terbatas. Bahkan bukan oleh penikmat jazz sesungguhnya. Peminat di luar Hard Rock diawasi ketat dari tiga pintu dan satu pintu bagi tamu hotel. Pesta dan trauma sulit dipisah.
Budidarma, asisten sales marketing hotel di Denpasar, menyebut Bali bukan daerah jazz. ”Kalau yang manggung itu rock atau metal, baru ramai,” katanya. Acara hampir tak bergaung, spanduk promosinya bisa dihitung dengan jari. Tapi jazz harus dimulai, dan malam itu pianis belia Zefa Hartani Putera, 11 tahun, atau duo kakak-beradik saksofonis Gadis V 13 tahun dan Bass G, 11 tahun, generasi baru jazz, menyodorkan jazz bercita rasa pop. Nu jazz, fusion; klasik yang penuh improvisasi, dan sarat interpretasi seperti dibawakan The PIG (Pra, Indra, dan Gilang Ramadhan), atau musisi sekelas Bubi Chen, juga muncul di acara dengan segelintir penonton itu.
Bahkan, pada dataran world music, ada Soulmate dengan bintang tamu pemain harpa Maya Hassan. Grup bentukan tahun ini menggabungkan berbagai unsur bunyi dari alat musik, di antaranya gitar, keyboard, sitar, tabla, bas akustik, perkusi, dan harpa. Alat musik yang menerjemahkan lagu-lagu dari berbagai ekspresi multikultural. ”Cinta dan perdamaian,” ujar Dwiki Dharmawan dari Krakatau yang juga dikenal dengan fusion dan world music-nya.
Lalu Rio Sidik dari Saharadja Band bersama istrinya, Sally Jo (violis) asal Australia. Mereka memadukan acid jazz, fusion, dan world music. Musik melampaui batas geografis—Asia, India, Eropa, Irlandia, Skotlandia, Amerika Latin, dan Afrika. Juga batas zamannya—petikan Bach yang dibawakan Sally dalam lagu kedua.
Dibandingkan dengan Java Jazz, banyak yang harus dibenahi dalam penyelenggaraannya, termasuk penanganan musisi, mulai dari soal deal, kelengkapan alat, dan waktu cek suara. Padahal, ”Yang mengurusi artis dan musisi harusnya punya latar belakang pengalaman, seperti Paul Dankmeyer,” katanya menyebut direktur penyelenggara Java Jazz di Jakarta, Maret lalu.
Musisi asing di sana memang hanya kelas kedua. Menurut Arief Budiman, ketua Bali Jazz Festival, mereka kandidat ”lion” atau calon bintang. ”Sebuah festival tidak bisa menggabung seluruh musisi yang ada,” kata Arief. Gita Wiryawan, bankir dan pianis yang merupakan penyandang dana, mengakui, ”Nama besar terkait finansial, sponsor, dan waktu.”
Pria yang mendukung lahirnya grup Bali Lounge—sukses 16 ribu keping CD—dan Cherokee itu punya target sederhana, komunitas jazz internasional bisa identifikasi terhadap pesta jazz di Bali. ”Kami tidak muluk menargetkan musisi kondang datang. Yang penting kembali menggerakkan turisme dan ekonomi Bali,” kata lulusan Harvard Kennedy, School of Government itu.
Pantai Kuta, Bali, kembali menyedot tamu. Travel warning memang berhasil membuat 30 ribu turis membatalkan kunjungannya ke Bali. Tapi acara Bali Jazz Festival pekan lalu seakan mengendurkan larangan itu: jalan-jalan di Kuta kembali ”hidup” dengan wisatawan mancanegara.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo