Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi keamanan oleh polisi dan tentara Timor Leste berujung pada baku tembak. Lawan mereka di Fatulia, Distrik Baucau, pada Ahad, 9 Agustus lalu, itu adalah mantan pemimpin gerilya kemerdekaan Timor Leste, Paulino Gama alias Mauk Moruk, yang akhirnya tewas.
Pemerintah Timor Leste mengklaim telah berusaha menghindari korban tewas dalam operasi yang berjarak 88 kilometer di timur Dili itu. "Sayangnya, operasi tak bisa menghindari konfrontasi yang menghasilkan baku tembak," demikian pernyataan pemerintah, seperti dilansir Reuters. Moruk diburu karena dia dan anak buahnya menguasai dua kantor polisi di Distrik Laga dan Baucau sejak awal tahun ini.
Moruk adalah kawan sebaya yang berubah jadi lawan presiden pertama Timor Leste, Xanana Gusmao. Pada 2013, mengkritik Xanana, dia menyebut pemerintah gagal mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Perselisihan mereka berakar jauh ketika mereka masih sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste dan menjadi anggota Komite Sentral Fretilin. Pada awal 1980-an, hampir semua anggota senior komite ini meninggal. Sisanya tertangkap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Menurut situs Satu Timor, sebagai senior yang tersisa, Xanana mereformasi gerakan perjuangan Fretilin, dari sebelumnya cenderung bergerilya dan radikal menjadi bergabung dengan semua elemen pro-kemerdekaan dalam payung Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional (CRRN), yang dipimpin Xanana. Pada 1983, Fretilin bahkan berpartisipasi dalam gencatan senjata dan beberapa negosiasi dengan militer Indonesia. Padahal Fretilin tadinya menolak segala bentuk negosiasi. Perubahan lebih drastis terjadi pada 1984: Fretilin menanggalkan ideologi Marxis-Leninis yang diusungnya sejak 1977.
Moruk, yang termasuk kelompok garis keras, menentang perubahan itu. Dia membentuk gerakan sendiri bersama Kilik Wae Gae, Kepala Staf Falintil, sayap militer Fretilin. Mereka mencoba mempengaruhi anggota Fretilin lainnya. Xanana menyadari pembangkangan ini dari vakumnya wilayah penjagaan Moruk dan Kilik di Timor bagian tengah. Padahal, di wilayah lain, ABRI diklaim takut terhadap Falintil. "Saya mengetahui kemudian bahwa mereka menyebut saya pengkhianat revolusi… karena pembicaraan saya dengan mereka tentang pluralisme selama gencatan senjata," kata Xanana dalam wawancara dengan Sarah Niner di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, Juli 1999, seperti ditulis Satu Timor, Maret 2014.
Pada 4 September 1984, Moruk, Kilik, dan tiga orang lainnya dikeluarkan dari Komite Sentral Fretilin. Xanana membentuk peleton gabungan untuk melucuti pemberontak. Kilik belakangan tewas dalam pertempuran, sedangkan Moruk melarikan diri dan menyerah kepada tentara Indonesia. "Ia tidak punya pendukung… dan berhasil melarikan diri dengan empat pucuk senjata dan akhirnya menyerah kepada Indonesia," ujar Antonio Campos, yang tergabung dalam peleton bentukan Xanana.
Dalam buku East Timor at the Crossroads: The Forging of a Nation terbitan 1995 yang disunting Peter Carey dan G. Bentley, Moruk mengatakan, setelah perselisihan internal, dia bergabung dengan orang-orang di daerah yang dikontrol Indonesia. Dia lalu dideportasi ke Jakarta pada 2 Februari 1985 dan ditahan di ruang isolasi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat sampai 9 September 1989. "Saya kemudian diurus oleh beberapa organisasi kemanusiaan dan hak asasi nasional dan internasional, antara lain ICRC dan JRS, sebelum tiba di Lisabon (Portugal) pada 1 Oktober 1990," katanya. Moruk kemudian menetap di Amsterdam, Belanda.
Sekembali ke Indonesia pada Oktober 2013, dia membentuk Dewan Revolusi Maubere (KRM). Dua bulan kemudian, ketika berbicara dalam sebuah seminar di Universitas Nasional Timor Leste di Dili, Moruk menyerukan revolusi anti-kemiskinan dan menurunkan Xanana. "Dia (Xanana) belajar perang dan revolusi dari saya," ujar Moruk, seperti dilansir Satu Timor. Moruk menuntut Timor Leste kembali ke Konstitusi 1975, ketika negara itu lepas dari Portugis dengan deklarasi kemerdekaan Fretilin.
Dia menantang Xanana berdebat yang dijadwalkan 11 November 2013. Tapi dia sendiri tak hadir dengan alasan tidak setuju dengan moderator debat—yaitu Presiden Timor Leste saat ini, Taur Matak Ruak. Menurut laporan ABC, beberapa pekan lalu Presiden Ruak meminta mantan presiden José Ramos-Horta membujuk Moruk menyerah, tapi Moruk menolak.
Kini salah satu anak Moruk, Betty Gama, menyesalkan kepergian ayahnya. Melalui akun di Facebook, dia menulis ungkapan kesedihan yang kemudian diterjemahkan wartawan Indonesia yang tinggal di Belanda, Aboeprijadi Santoso, dan dilansir Satu Timor, Kamis dua pekan lalu: "Mengapa kau mati dengan cara begitu. Mati dengan cara begitu itu tidak layak bagimu. Orang-orang yang memperlakukanmu begitu tak layak hidup."
Atmi Pertiwi (Reuters, ABC, Satu Timor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo