Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datang dari beragam lembaga, peserta rapat di lantai empat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu tak mudah mencapai kata sepakat. Semula tak kurang dari 20 isu hukum yang mereka usulkan untuk menjadi garapan bersama. Baru setelah berdebat panjang, mereka akhirnya setuju berfokus pada satu hal: mempersoalkan kewenangan polisi menerbitkan surat izin mengemudi (SIM) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK). "Wewenang polisi dalam kedua urusan itu terlalu absolut," kata pengurus YLBHI, Julius Ibrani, ketika menceritakan pertemuan pada akhir Desember 2014 itu, Selasa pekan lalu.
Bersama 19 orang perwakilan lembaga pegiat antikorupsi dan penegakan hak asasi, Julius mengajukan permohonan uji materi wewenang polisi itu ke Mahkamah Konstitusi pada 1 Juli lalu. Mereka menggugat 14 pasal dalam Undang-Undang Kepolisian serta Undang-Undang Transportasi dan Angkutan Jalan. Menurut mereka, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan konstitusi, kepolisian merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Nah, menurut pemohon uji materi, wewenang polisi menerbitkan SIM dan STNK berlebihan serta membuat korps baju cokelat itu tak fokus mengerjakan tugas utamanya.
Julius dan kawan-kawan menilai kewenangan polisi menerbitkan SIM dan STNK rawan penyelewengan. Meski tidak massif, keluhan tentang pengurusan SIM dan STNK yang masuk ke Ombudsman Republik Indonesia tak pernah menurun. "Konsisten, pengaduannya dari pungutan liar hingga formulir yang terlalu mahal," ujar Komisioner Ombudsman Budi Santoso, Rabu pekan lalu.
Untuk skala korupsi yang lebih besar, Julius juga mencontohkan kasus pengadaan simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI pada tahun anggaran 2011. Perkara yang menyeret bekas Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo ke penjara ini merugikan negara sekitar Rp 144 miliar.
Di banyak negara, menurut Julius dkk, polisi umumnya bertugas menindak pelanggaran lalu lintas di jalan raya. Adapun penerbitan SIM atau STNK merupakan wewenang lembaga lain. Di Amerika Serikat, misalnya, wewenang membuat SIM dan STNK berada di Departemen Kendaraan Bermotor, yang berkoordinasi dengan Kementerian Hukum di sana. Contoh lain yang lebih dekat, di Malaysia, SIM dan STNK dikeluarkan Departemen Angkutan Jalan, yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Di Indonesia, pada 1950-an, kewenangan menerbitkan SIM dan STNK berada di tangan kepala daerah, yang kala itu disebut kepala residen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya pun sebenarnya tak menyebutkan secara spesifik siapa yang berwenang menerbitkan SIM dan STNK. Wewenang polisi menerbitkan lisensi mengemudi dan surat kendaraan baru ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. "Penambahan wewenang itu tak jelas apa dasarnya," ujar Julius.
Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Condro Kirono tak sependapat dengan argumen pemohon uji materi. Menurut dia, Undang-Undang Kepolisian dan Lalu Lintas justru menjabarkan frasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat yang disebut pada Pasal 30 ayat 4 UUD 1945. "Dengan STNK, kami memberikan kepastian seseorang memiliki kendaraan secara sah atau tidak," ujar Condro.
Kewenangan membuat SIM dan STNK yang terpusat di kepolisian, menurut Condro, juga membantu proses penyelidikan dan penyidikan ketika terjadi kejahatan. Dengan data yang terpusat, polisi bisa cepat mengidentifikasi kendaraan di tempat kejadian. Condro memang tak membantah argumen penggugat bahwa pembuatan SIM dan STNK rawan pungutan liar. Namun dia menyatakan polisi telah melakukan banyak perbaikan. Lagi pula, Condro beralasan, kalau urusan SIM dan STNK diserahkan ke lembaga lain, tak ada jaminan bakal menjadi lebih baik.
Istman M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo