"Kekaisaran Rusia adalah penjara tempat berbagai bangsa disekap." Itulah kurang lebih agitasi Lenin sebelum Revolusi Oktober 1917. Memang, ketika kekaisaran Romanov runtuh, berbagai bangsa itu sempat mengenyam kebebasan. Tapi kemudian bangsa dan negara-negara golongan etnik minoritas itu ditempatkan kembali secara paksa di bawah Uni Soviet dan dikontrol langsung dari Moskow. Rezim Kremlin menguasai tak kurang dari 15 bangsa minoritas, membentang dari perbatasan Polandia sampai ke pantai Laut Jepang. Reformasi Gorbachev telah membangkitkan lagi nasionalisme yang telah "tidur" selama 50 tahun. Akibat langsung proses tersebut adalah timbulnya keinginan untuk melepaskan diri dari "penjara" Uni Soviet dan menghirup kembali udara kebebasan dan kemerdekaan, terutama di Lithuania, Estonia, dan Latvia. Dan yang meyusul, Georgia. Lithuania GORBACHEV pun dianggap sepi. Menyusul proklamasi kemerdekaan Lithuania pada 11 Maret lalu, sebuah pemerintahan baru segera dibentuk. Dan menjawab telegram Gorbachev agar Lithuania kembali menaati undang-undang Uni Soviet, sebuah delegasi dibentuk untuk berunding dengan Gorbachev di Moskow. Direncanakan delegasi berangkat dari Vilnius, ibu kota Lithuania, awal pekan ini, tepat di hari deadline yang diberikan oleh Moskow agar salah satu republik Baltik ini kembali ke Uni Soviet. Kesukaran yang akan dihadapi Lithuania nampaknya mulai kelihatan. Pada Ahad kemarin, tentara Soviet mulai unjuk kekuatan meski Gorbachev telah berjanji tak akan mengambil langkah kekerasan untuk meredam ambisi Lithuania. Pada hari itu juga, ratusan ribu orang -- tak salah lagi diatur oleh Partai Komunis Lithuania -- telah mengadakan demonstrasi menentang keputusan pemisahan diri dari Uni Soviet. Tapi bisakah cita-cita merdeka yang bukan baru kemarin sore adanya itu ditiadakan begitu saja? Gerakan kemerdekaan Lithuania muncul sekitar dua tahun silam, terutama datang dari Gerakan Rekonstruksi Lithuania (Lietuvos Persytvarkymo Sajudis) atau lebih dikenal dengan sebutan Sajudis saja. Munculnya Sajudis dan berbagai organisasi lain yang mendorong proses pembaruan di Lithuania memang akibat kebijaksanaan glasnost Gorbachev. Sajudis dimulai dengan berkumpulnya para intelektual dan akademisi di Akademi Ilmu Pengetahuan Lithuania pada 23 Mei 1988. Mereka berniat meresmikan pembentukan sebuah komisi yang bertugas mencari kemungkinan perubahan konstitusi Republik Soviet Sosialis Lithuania (LSSR) agar perestroika, demokratizatsiya, dan glasnost dapat diakomodasikan. Keinginan keras untuk membentuk front populer diperkuat dengan terjadinya dua peristiwa. Yakni pemilihan anggota delegasi Partai Komunis Lithuania ke Kongres ke-19 Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Utusan ke kongres partai itu dipilih menurut cara lama, yakni ditunjuk. Ini berlawanan dengan instruksi Komite Sentral PKUS dan dengan demikian memberikan pertanda bahwa Lithuania sebegitu jauh tak terpengaruh oleh semangat glasnost dan demokratisasi. Hal kedua, pada 2 Juni 1989, pemerintah Lithuania mengumumkan, Moskow secara sepihak telah menetapkan mempercepat proyek perluasan industri kimia di Jonava, Kedainiai, dan Mazeikiai. Padahal, pemerintah Republik Lithuania telah menetapkan ketiga kota tersebut, yang sudah sangat menderita lantaran pencemaran udara, tertutup bagi industri baru maupun perluasan industri lama. Dengan kata lain, sebenarnya kebijaksanaan Moskow sendirilah yang bak menyiramkan minyak ke api ketakpuasan dan sentimen nasionalisme. Keesokan harinya, 3 Juni, sekelompok ilmuwan, seniman, dan para profesional dari segala bidang berkumpul kembali di Akademi Ilmu Pengetahuan. Hasil dari serangkaian diskusi melahirkan yang dinamakan "kelompok pembangkit inisiatif", terdiri dari 36 orang sarjana dan intelektual terkemuka. Tujuannya, mengorganisasikan sebuah grup yang akan mendukung dijalankannya perestroika secara konsekuen. Lahirlah Sajudis. Setengah dari kelompok itu tak lain anggota pimpinan Partai Komunis Lithuania. Itu membuktikan, Partai itu telah pecah. Tapi pada awalnya Sajudis tidak bermaksud menyaingi penguasa tunggal di republik itu. Dalam salah satu deklarasi pertamanya, Sajudis mengatakan, organisasi itu tertutup bagi orang-orang yang berpikiran "radikal". Namun, karena sifatnya yang terbuka, tak urung Sajudis diwarnai oleh gagasan-gagasan yang datang dari para bekas tahanan politik dan pembangkang. Ide yang kemudian paling dianggap radikal adalah mendirikan Lithuania merdeka, lepas dari Uni Soviet. Dalam kongres pembentukan Sajudis pada 22-23 Oktober 1988 di Vilnius, delegasi yang hadir 1.121 orang, dipilih dari berbagai organisasi kebudayaan, politik, dan sosial -- termasuk gereja. Organisasi tersebut pada dasarnya didominasi oleh para penulis, seniman, ilmuwan, dan golongan profesional. Tak kurang dari 77% dari mereka adalah lulusan universitas. Pada Maret 1989, Profesor (ilmu musik) Vytautas Landsbergis, yang terpilih sebagai ketuanya, menyatakan anggota organisasi itu telah mencapai setengah juta. Setelah proklamasi kemerdekaan yang lalu, Landsbergis terpilih sebagai presiden. Tampaknya, Sajudis, yang semula cuma hendak memperdalam pembaruan ekonomi itu (perestroika), kemudian sulit membendung meledaknya cita-cita yang rupanya telah lama terpendam: memperoleh "kedaulatan" Lithuania dalam segala segi kehidupan. Maka, dirumuskanlah suatu "masyarakat plural" tanpa adanya suatu partai atau kelompok memonopoli kekuasaan, "hak-hak sipil" seperti di Barat, penolakan Stalinisme, dan penegakan hukum. Di bidang ekonomi Sajudis menganjurkan swapengelolaan, dan pengendalian keuangan serta sumber-sumber perekonomian oleh Lithuania sendiri, di samping mengizinkan pemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan. Ia menganjurkan hubungan ekonomi langsung dengan luar negeri. Yang benar-benar baru dalam program organisasi tersebut adalah tuntutan untuk memelihara kelestarian alam, dan meminta agar pemerintah Moskow menolong Lithuania membersihkan pencemaran. Karena kepopulerannya, Sajudis diterima sebagai organisasi legal pada 18 Maret 1989. Menarik untuk diperhatikan reaksi Gorbachev atas perkembangan di Lithuania. Ia, misalnya, menuntut kalau Lithuania ingin merdeka, republik itu harus membayar US$ 33 milyar sebagai pengganti segala macam sarana yang telah dibangun Uni Soviet di sana. Menurut Lawrence Summers, profesor ekonomi Universitas Harvard yang juga penasihat ekonomi Lithuania, dalam kolomnya di koran The New York Times, pekan lalu, tuntutan Gorbachev itu sangat absurd. Bahkan profesor ini menyebutkan tuntutan itu sama halnya dengan pemerasan. Jumlah yang disebutkan Gorby, yang sekarang senilai 50 milyar rubel itu, sungguh jumlah yang maharaksasa bagi negeri seluas 65.200 km persegi (lebih sempit daripada Jawa Barat digabung dengan Jawa Tengah) yang menampung 3,7 juta penduduk ini. Bayangkan saja, jumlah tabungan seluruh Lithuania kurang dari 15 milyar rubel, dan pendapatan tahunan nasional tak lebih dari 10 milyar. Pendapatan dari stok kapitalnya tak sampai 50 milyar. Lawrence menyimpulkan, tuntutan itu tak masuk akal. Berdasarkan perhitungan statistik, simpanan deposito rakyat Lithuania dalam 20 tahun terakhir ini, ternyata hanya separuhnya yang diinvestasikan kembali di republik itu. Sisanya ditanamkan dalam berbagai proyek di republik-republik lain. Lain daripada itu, menurut kebiasaan yang berlaku, justru penjajahlah yang harus membayar kerugian, dan bukan si terjajah. Jangan juga dilupakan, sejak memasukkan Lithuania ke dalam Uni Soviet pada 1940, Stalin mendeportasikan sepertiga dari seluruh penduduk Lithuania. Sebagian besar mereka mati di kamp konsentrasi atau di muka regu tembak Tentara Merah dan KGB. Ribuan hektare tanah milik keluarga petani Lithuania dirampas, dan manajemen kenegaraan Uni Soviet telah memiskinkan rakyat Lithuania. Padahal, sebelumnya, ketika masih menjadi negara merdeka, tingkat kehidupan rakyat Lithuania sama dengan tingkat kehidupan rakyat Finlandia. Kini standar hidup rakyat Lithuania hanya setengah dari rakyat Finlandia. Problemnya sekarang, apabila hasrat rakyat republik untuk merdeka terkabulkan, bagaimana kemungkinannya untuk hidup mandiri. Di bidang politik dan sosial, di kertas tak akan menghadapi masalah. Lithuania adalah satu-satunya negara di antara ketiga republik Baltik yang susunan penduduknya paling homogen -- 80% orang Lithuania, 9% Slav, 8% Polandia, dan 2% Rusia Putih. Jadi, bentrokan etnis seperti yang terjadi di Azerbaijan sekitar dua bulan yang silam kecil sekali kemungkinannya. Hasrat untuk merdeka sendiri sudah didukung oleh sebagian rakyatnya. Yang menjadi persoalan besar adalah masalah ekonomi. Pertama-tama, apakah rekening yang disodorkan Gorbachev itu merupakan gertak belaka atau serius, atau sesuatu yang bisa dirundingkan. Kalau Gorbachev tak bergeming dari tuntutan itu, karena tekanan dari pihak konservatif di Moskow, misalnya, itu akan merupakan pukulan bagi keinginan untuk merdeka. Tenaga kerja Lithuania terdidik dengan baik dan juga pekerja keras. Tapi boleh dibilang Lithuania adalah negeri agraris. Sektor industrinya sebagian besar cuma memproduksi benda-benda konsumsi dan elektronik yang menghasilkan televisi dan komputer model lama yang tak mungkin bersaing di pasaran dunia. Perusahaan-perusahaan trans-nasional bisa saja diajak membentuk usaha-usaha patungan. Tapi tampaknya mereka lebih suka melihat ke kawasan Eropa Timur lain yang memiliki pasar lebih luas dan prasarana ekonomi yang lebih baik. Amerika pun, dengan ekonominya yang sedang tak begitu baik, tak banyak bisa diharapkan. Dewasa ini Lithuania masih sangat bergantung pada Uni Soviet -- pada bahan mentah dan minyak yang harganya relatif murah, sekitar US$ 6 per barel. Kalau Uni Soviet menghentikan pasok minyak ini, Lithuania harus membeli minyak di pasaran internasional yang harganya empat kali lipat dari harga Uni Soviet. Untuk sementara, Gorbachev memang ada dalam posisi di atas angin. A. Dahana dan Yusril Djalinus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini