Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gorbachev dan lem perekat yang ... deadline buat lithuania

Mikhail gorbachev terpilih sebagai presiden uni soviet dengan kekuasaan lebih besar. menghadapi banyak tantangan: profil republik-republik yang ingin melepaskan diri dari uni soviet.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELAH lahirkah seorang tsar modern? Itulah yang dikhawatirkan oleh beberapa politikus dan cendekiawan Soviet radikal. Yakni, menyusul disahkannya sistem kepresidenan yang baru, yang lebih punya banyak wewenang -- disebut presiden eksekutif -- Mikhail Gorbachev, 59 tahun kini, terpilih menduduki kursi eksekutif tertinggi itu. Itu berlangsung di hari sidang terakhir Kongres Wakil Rakyat -- MPR-nya Uni Soviet -- Kamis pekan lalu. Kekhawatiran itu tampaknya tak terhapuskan oleh kenyataan bahwa sesungguhnya kemenangan Gorbachev hanya tipis. Ia cuma meraih 1.329 suara, atau 200 di atas suara yang dibutuhkan untuk menjadi presiden eksekutif pertama di Soviet. Jauh dari ramalan banyak pengamat bahwa ia akan meraih kemenangan mayoritas. Coba saja lihat, sehari setelah terpilih, Gorbachev segera mengirimkan telegram ke Vilnius, ibu kota Republik (Soviet) Lithuania. Ia memperingatkan agar para pemimpin Lithuania segera kembali ke jalan undang-undang Soviet yang sah. Gorby memberi waktu tiga hari. Tapi benarkah, dengan kekuasaannya yang besar itu -- ia punya hak veto terhadap rancangan undang-undang, membubarkan parlemen, dan mengeluarkan dekrit untuk mengatasi keadaan darurat -- ia akan mencopot jas dan mantelnya dan menggantikannya dengan jubah kediktatoran? Belum tentu. Simak saja isi telegram itu. Di dalamnya tak ada ancaman. Setelah tiga hari, apa yang hendak dilakukan Gorby pada Lithuania, tak jelas. Tindak kekerasan tampaknya kecil kemungkinannya dilakukan, sebab kelompok konservatif dalam Kongres Wakil Rakyat pun tak setuju pengiriman tentara ke salah satu negeri yang makmur hasil bumi itu. Lebih dari itu, pada hari yang sama, dalam sebuah konperensi pers, Gorbachev mengatakan Lithuania boleh-boleh saja memisahkan diri dari Uni Soviet. Tapi itu perlu diputuskan lewat pemungutan suara seluruh rakyat Lithuania. Tampaknya, penilaian penulis senior majalah Time, Lance Morrow, tak keliru. Yakni, Gorbachev adalah "sejenis Zen yang jenius dalam berupaya untuk survive, seorang penari yang lincah yang bisa melakukan gerakan-gerakan sampingan, seorang yang suka nampang, dan manipulator realita." Dalam kalimat singkat, "seorang penakluk serigala yang cermat menyembunyikan maksud-maksud sesungguhnya." Belum dua tahun ia sesumbar akan mempertahankan kekuasaan Partai Komunis. Tapi ia mengusulkan dihapuskannya monopoli Partai Komunis Uni Soviet. Gorbachev adalah sesuatu yang tak tertebak, dan bila ia dianggap tetap berpendirian dalam perubahan sikapnya, karena itu semua demi kesejahteraan bangsa dan negara. Tapi, apa pun penilaian orang, kenyataannya Gorbachev telah menjadi pemimpin Soviet paling kuat. Mungkin hanya diktator Stalin yang punya kekuasaan sebesar Gorbachev. Kebiasaan sejumlah penulis Rusia untuk menuliskan presiden dengan "z" -- prezident -- bukan lalu hanya sekadar perbedaan bahasa. Tapi, terasa kata itu tak sekadar berarti "presiden" -- ada mengandung makna lain. Coba bandingkan dengan Nikita Khrushchev, misalnya. Pemimpin yang semula dipuja-puja itu, ketika sejumlah anggota komite sentral Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) menganggap ia tak bisa lagi disetir, lalu dengan mudah menggulingkannya. Sebaliknya Gorbachev. Bukannya ia terguling, tapi malah mendapatkan kekuasaan lebih. Dan seandainya pun ia dipecat sebagai sekretaris jenderal dalam Kongres PKUS Juli mendatang, toh sebagai presiden ia tetap punya peranan terbesar. Konstitusi baru Soviet, yang disahkan pekan lalu, menetapkan bahwa presiden diangkat dan diberhentikan oleh rakyat. Bahkan Gorbachev semakin kuat lagi. Pekan lalu, Anatoly Lukyanov, sobat lama Gorbachev sejak mahasiswa, 35 tahun lalu, berhasil meraih kursi ketua Kongres Wakil Rakyat. Sebaliknya, Yigor Ligachev, tokoh konservatif di politbiro dan parlemen, diserang oleh kaum pembaru agar segera mengundurkan diri dari panggung politik. Jadi, tak aneh bila posisi Gorbachev sebagai pemimpin paling populer tetap tak tergusur. Padahal, hasil setiap poll atau survei menunjukkan, mayoritas rakyat merasakan bahwa tekanan ekonomi kian berat. Harga terus melejit, dan barang-barang kebutuhan kerap menghilang dari pasar. Sebuah poll yang disebarkan oleh Moscow News akhir tahun lalu mendapatkan bahwa lebih dari 80% responden yakin bahwa dalam 3 sampai 4 tahun mendatang ekonomi Soviet akan makin memburuk. Poll itu setidaknya memang mencerminkan sulitnya ekonomi negeri yang sedang bergerak mengubah diri itu. Jumat pekan lalu terbetik kabar dari para bankir dan pengusaha Jerman Barat, perusahaan-perusahaan Soviet minta penundaan pembayaran utang yang telah jatuh tempo. Jumlahnya diperkirakan antara US$ 50 juta dan US$ 100 juta. Akibatnya, sejumlah perusahaan Jerman Barat memutuskan untuk menunda pengiriman barang ke Soviet atau membatalkan kontrak penjualan yang telah ditandatangani. Ternyata tak cuma gara-gara Soviet kekurangan uang. Tapi juga lantaran perestroika, yang menciptakan dualisme dalam perdagangan luar negeri, membuat banyak manajer melakukan mogok membayar cicilan utang kepada rekanan di luar negeri. Mereka menghendaki agar dualisme itu dihilangkan. Adapun dualisme itu adalah, di satu pihak perusahaan nasional diizinkan melakukan kontrak bisnis dengan perusahaan asing. Tapi semua pembayaran utang atau penagihan piutang tetap diserahkan kepada Bank Untuk Hubungan Ekonomi Luar Negeri (BUHELN). Hal ini tentu bertentangan dengan kondisi kancah bisnis internasional yang harus serba cepat. Tapi, bisa jadi, dualisme itu sekadar alasan kosong. Persoalan sesungguhnya adalah, banyak perusahaan yang kelewat bergairah memburu utang agar bisa cepat mengatrol kualitas produk, memperluas pasar, dan sebagainya. Jadinya, ya "lebih besar pasak ketimbang tiang." Maklum, dulu mereka cuma dituntut untuk memenuhi rencana yang disusun oleh pusat. Bila kemerosotan ekonomi itu tak kunjung reda, Gorbachev tentu harus lebih banyak berkompromi dengan oposisi. Apalagi bila oposisi terus mempertajam serangan. Sebab, masalah ekonomi punya kaitan teramat erat dengan politik. Mudahnya, pada titik tertentu, kelaparan bisa memudahkan rakyat disulut untuk mencari pemimpin baru. Para tokoh kaum oposisi dalam PKUS tentu paham betul pada situasi itu. Karena itu, sejak beberapa pekan belakangan, mereka giat memperberat tuntutan. Salah satu isu politik yang muncul, Gorbachev hanya dibutuhkan pada tahap awal pembaruan. Kini dia sudah dianggap ketinggalan zaman. Sebab, perubahan dalam masyarakat berjalan jauh lebih cepat ketimbang program-program Gorbachev. Bahkan, pekan lalu, dalam sidang khusus PKUS, mereka mengusulkan pembentukan partai baru sebagai pengganti. Persis seperti telah dilakukan oleh partai-partai komunis di Hungaria dan Polandia. Memang, citra partai komunis sudah ambruk. Terbukti dengan kekalahan memalukan yang diderita dalam berbagai pemilihan umum di Eropa Timur, dan di Soviet sendiri. Di Lithuania, kandidat dari Sajudis -- koalisi kaum oposisi -- malah berhasil merebut kursi presiden. Nama-nama baru yang diusulkan antara lain Partai Sosial Demokrat dan Sosialis. Tapi kata Gorbachev, "Saya percaya, usul itu tak akan diterima." Dengan alasan, bila diterima, perubahan itu akan membuat banyak anggota atau simpatisan partai komunis frustrasi. Sedangkan perubahan yang dikehendaki Gorbachev terbatas pada demokratisasi dalam pengangkatan pimpinan partai. Salah satunya, menggantikan politbiro dengan sebuah presidium, yang memasukkan pemimpin partai tingkat republik sebagai anggota. Sementara itu, partai komunis didorong lebih keras membuka diri kepada partai-partai politik lain yang berideologi apa pun. Itulah tampaknya arti sebenarnya dihapuskannya monopoli PKUS. Sistem multipartai yang diberlakukan bukanlah benar-benar bahwa semua partai berdiri pada level yang sama. Tapi menebak gerak langkah Gorbachev memang tak mudah. Bisa jadi, itu sekadar "konsep" yang disodorkannya agar perubahan Pasal 6 dan 7 dalam Konstitusi Soviet -- pasal yang menjamin monopoli PKUS -- disetujui oleh Sidang Komite Sentral PKUS beberapa lama lalu, dan Kongres Wakil Rakyat pekan lalu. Namun, apa pun "definisi" perubahan-perubahan itu, yang menarik sesungguhnya menunggu tindakan Gorbachev. Yakni sehubungan dengan proklamasi berdirinya Republik Lithuania, 11 Maret lalu. Dengan kekuasaan yang demikian besar, apa yang hendak dilakukan Presiden Gorbachev guna mempertahankan keutuhan "Imperium" Uni Soviet? Atau si "jenius Zen" ini akan membiarkan republik-republiknya menambah jumlah negeri berdaulat dalam peta dunia? Lithuania memang hanya sebuah republik. Tapi keberhasilan perjuangannya bisa dipastikan akan menular bagaikan kebakaran tertiup angin. Dua negeri Baltik yang lain, Estonia dan Latvia, sudah ancang-ancang untuk juga melompat merdeka. Sementara itu, dari Republik Soviet Georgia pun sudah muncul seruan bahwa sebenarnya wilayah ini bukan bagian dari Uni Soviet. Untuk sementara ini, yang sudah jelas muncul adalah komentar terhadap kekuasaan presiden eksekutif dan berbagai kebijaksanaan Gorbachev. Jumat pekan lalu, terdengar suara pemimpin kelompok konservatif Yigor Ligachev. Terangan-terangan ia menuding, pembaruan Gorbachev telah membawa Soviet ke dalam situasi kritis. "Sudah saatnya mengambil langkah pasti untuk membalas dendam terhadap kekuatan-kekuatan antisosialis," gertaknya. Penyebab utama situasi itu, menurut Ligachev, adalah melemahnya aspek ideologi dan organisasi PKUS. Hal ini tak boleh terjadi berlarut-larut, karena "PKUS adalah sejarah. Itu satu-satunya organisasi yang menyatukan semua suku bangsa dan kekuatan masyarakat yang membentuk Uni Soviet." Masalah yang dihadapi Uni Soviet sekarang tak akan terpecahkan dengan pemberian wewenang eksekutif kepada presiden. Ligachev memang menyatakan mendukung perestroika. Tapi bila pembaruan ekonomi itu ternyata tak jalan, itu berarti konsep itu dijalankan dengan salah. "Kenaikan gaji dan pemberian otonomi pada berbagai perusahaan," menurut tokoh konservatif ini, adalah kesalahan besar. Adapun tentang pernyataan berdirinya Republik Lithuania, kata Ligachev, "Tak terbayangkan sebuah republik Soviet memisahkan diri, sebab ekonomi republik-republik itu saling bergantung." Terbayangkan atau tidak, presiden Lithuania terpilih, Vytautas Landsbergis, sudah menjawab. Setelah menerima telegram Gorbachev untuk kembali menaati undang-undang Uni Soviet yang masih berlaku di seluruh wilayah, termasuk di Lithuania, dengan mantap kata Landsbergis, "Republik Lithuania tak berniat mencabut kembali proklamasi kemerdekaannya." Bahkan ia pun mengumumkan akan mendirikan 37 pos penjagaan di perbatasan Lithuania. Kembali, di awal pekan ini, batas terakhir buat Lithuania untuk membatalkan proklamasinya, Mikhail Gorbachev mengeluarkan pernyataan. Dan sebagaimana pernyataan-pernyataannya, tanggapannya kepada Landsbergis lewat televisi Moskow ini pun tak tegas. Ia hanya mengatakan bahwa Pemerintah Uni Soviet harus mengambil tindakan terhadap Lithuania. Tapi apa tindakan itu sendiri, tak dijelaskan. Sementara itu, pemilu di sejumlah republik Ahad kemarin menunjukkan tanda-tanda bahwa Partai Komunis memang sudah surut. Itu tentu akan menambah pusing Gorby -- atau justru tidak? Yang sudah bisa dipastikan kekalahan Partai Komunis adalah di Estonia dan Latvia. Bahkan di dua republik Slavia, di Ukraina dan Byelorussia, sampai awal pekan ini reformis ternyata mendapat suara meyakinkan. Ini termasuk di kota-kota besar yang selama ini diduga tokoh-tokoh Partai Komunis menguasai keadaan -- Moskow, Kiev, dan Leningrad. Tapi pertarungan seru antara kelompok komunis ortodoks dan Rusia demokratik yang reformis sulit diramalkan hasil akhirnya. Di dua republik Slavia itu sampai awal pekan ini belum bisa dipastikan benar hasilnya. Kemungkinan besar wakil-wakil PKUS masih akan memenangkan pemilu ini. Bagi Gorbachev sendiri, menurut sejumlah pengamat, siapa pun yang menang tetap menimbulkan masalah yang tidak enteng. Bila reformis yang menang, ia bisa berharap bahwa glasnost dan perestroika-nya bakal dilaksanakan dengan baik. Tapi ini sekaligus menimbulkan persoalan munculnya keinginan berdaulat penuh sejumlah republik. Sebaliknya, bila wakil-wakil PKUS yang mendapat suara, hambatan bagi pembaruan politik dan ekonomi Soviet pun tak akan berubah. Mungkinkah dengan kekuasaannya sekarang Gorbachev mampu menemukan jalan keluar yang lain? Namun, bila ditimbang-timbang, tampaknya kemungkinan terbaik bagi Gorbachev adalah menangnya kaum reformis. Ini memudahkannya mengatur perekonomian yang tak kunjung membaik. Suatu hal yang membuat popularitasnya menurun di mata rakyat Soviet. Soal Lithuania dan lain-lain? Intimidasi militer bisa jadi akan lakukannya. Akhir pekan lalu terlihat manuver tentara ke arah Lithuania. Bahkan dilaporkan pesawat-pesawat tempur terbang rendah di Vilnius dan Kaunas, dua kota terbesar di Lithuania. Sejumlah besar satuan tentara dan tank-tank terlihat menyebar di wilayah selatan republik yang baru saja memproklamasikan diri itu. Konon, gerakan militer ini sudah diberitahukan kepada Presiden Landsbergis (dan mungkin juga) kepada Sekjen Partai Komunis Lithuania Algirdas Brazauskas oleh para komandannya sebelumnya. Tapi pemberitahuan ini tak diberitakan keluar. Yang dinyatakan juru bicara Departemen Luar Negeri, Gennady Gerasimov, lewat konperensi pers di Moskow awal pekan ini, bahwa gerakan-gerakan itu sekadar "latihan tentara biasa". Ini mencemaskan. Bila benar bahwa pihak militer sudah memberi tahu Landsbergis sebelumnya, itu berarti Lithuania sudah siap menerima segala risiko. Apa yang diharapkan Lithuania memenangkan tarik urat ini? Dukungan internasional? Bisa jadi. Presiden AS George Bush, begitu Kongres Wakil Rakyat sepakat memilih Gorbachev sebagai presiden eksekutif, langsung mengirim ucapan selamat. Dan katanya, "Mereka memberikan kekuasaan besar kepada presiden baru. Saya tak melihatnya sebagai ancaman." Boleh jadi, Bush salah tafsir. Ketika penentuan diubahnya kekuasaan presiden, yang menjadi masalah adalah kritik dari kelompok radikal, yang mencemaskan lahirnya seorang diktator. Mungkin memang Gorbachev bukan tipe seorang diktator. Tapi tak mustahil ia menjadi seorang totaliter. Dan menyangkut soal Lithuania, tak adakah kemungkinan Gorbachev memakai kekuatan militer? Ketika pertikaian etnis Azerbaijan dan Armenia tak terkendalikan, tentara pun diturunkan dan korban pun berjatuhan. Sesudah itu, tak lagi terdengar kedua etnis itu meneruskan permusuhannya. Praginanto & Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus