ENTAH apa alasan Pemerintah Indonesia memilih Buru. Mungkin karena tanahnya subur, mungkin juga ada alasan lain. Yang jelas, daerah itu memberikan berkah tersendiri bagi tahanan G30S-PKI. Pulau Buru nampaknya bukan semata-mata hukuman bagi mantan pengkhianat. Setelah tahun-tahun berlalu, permukiman yang dulu rimba dan rawa itu kini berubah jadi kawasan pertanian subur dengan penduduk yang cukup sandang-pangan. Patut dicatat, jauh sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda pun telah menaruh perhatian pada pulau di sebelah barat Ambon itu. T.J. Willer, seorang peneliti zaman Belanda, menerbitkan Het Eiland Boeroe, zijne Exploitatie en Halfoersche Instellingen (Pulau Buru, Pendayagunaannya dan Perlakuan Tepat bagi Orang-Orang Alfuru) pada 1858. Menurut Willer, wilayah di pedalaman Maluku itu berpotensi besar kalau dikelola dengan tepat. Jika bertahun-tahun daerah yang kaya rempah-rempah itu telantar, Willer melemparkan kritiknya pada sistem kerja Oost Indische Compagnie (OIC) yang semrawut, penuh korupsi, salah manajemen, dan tindak sewenang-wenang terhadap orang Alfuru, penduduk asli di sana. "OIC bahkan merusak tanaman rempah-rempah di pulau tersebut ketika perang melawan Kerajaan Ternate," demikian Willer mengutuk. Padahal, pada penelitiannya, selain bisa ditanami rempah-rempah, Buru bisa ditanami tembakau, kopi, merica, cokelat, dan sagu. Semuanya merupakan komoditi ekspor unggul di pasaran Eropa waktu itu. Tetapi bagaimana cara mengelolanya? Buru terlalu sedikit penduduknya. Sedangkan proyek perkebunan membutuhkan tenaga banyak. Pemerintah Hindia Belanda menunjuk budak, tenaga sewa, orang hukuman, dan para sukarelawan sebagai alternatif. Namun, Willer tak sependapat. Menurut dia, tenaga seperti itu terlampau mahal. Risikonya juga besar. Sebut misalnya, minggat alias buron. Ada sebuah laporan yang ditulis Dr. Bleeker, Indische Tijds. Arsip yang berisi laporan kunjungan Bleeker pada 1657 itu mengajukan kemungkinan Javaansche volksplanting -- memindahkan penduduk Jawa ke Buru. Namun, Willer menentangnya. Ia memberikan alasan bahwa Pulau Jawa juga membutuhkan banyak tenaga untuk pertahanan dan pertanian. "Kemungkinan Jawa akan kelaparan kalau ratusan ribu penduduknya dipindahkan," ujar Willer. Willer rupanya menganut aliran Politik Etik -- politik balas budi. Willer menyarankan agar orang-orang Alfuru diajari ilmu bertani seperti layaknya petani Jawa. "Pendekatan terhadap orang Alfuru harus dilakukan dengan lebih manusiawi. Janganlah mereka dikejar-kejar dan ditangkap untuk kemudian disuruh kerja paksa," tulisnya. Tapi dia juga tidak cukup konsisten terhadap pemindahan penduduk Jawa. Asal, "harus dilakukan atas kemauan mereka sendiri. Dan harus ada asimilasi dengan orang-orang Alfuru." Di akhir tulisannya, Willer menarik kesimpulan dan menegaskan bahwa kalau dilaksanakan program pendayagunaan yang tepat dari segi sosial, politik, dan ekonomi, "saya yakin Buru akan lebih subur dari Pulau Jawa." Adakah tulisan Willer itu yang mempengaruhi keputusan Pemerintah Indonesia untuk membuka Pulau Buru. Apakah pikiran Bleeker yang mendorong pemerintah mengirim para tapol G30S-PKI ke sana? Pertanyaan ini tidak akan kita usut. Yang penting, Buru telah jadi proyek inrehab, dan belakangan menjadi kawasan transmigrasi yang subur. Luas Pulau Buru seluruhnya 9.599 kilometer persegi. Tetapi yang pernah dijadikan permukiman tahanan politik (tapol) G30S-PKI hanyalah kawasan di dataran rendah Sungai Waiapu. Di zaman Belanda wilayah seluas 100 ha itu berada di bawah kekuasaan seorang regent. Baru setelah kemerdekaan menjadi dua desa: Kayeli dan Lilialy. Masing-masing dikuasai oleh kepala persekutuan hukum. Pada 1964, kepala persekutuan hukum menyerahkannya kepada pemerintah. Lima tahun kemudian, 1969, saat Nusakambangan tak lagi mampu menampung tahanan politik, Pulau Buru pun jadi sasaran. Maka, 30.000 ha rimba belantara dan rawa di dua desa itu disulap jadi kawasan inrehab. Hingga pertengahan 1969 saja, tercatat 2.500 tapol G30S-PKI golongan B dikapalkan dari Nusakambangan ke sana. Setelah berlabuh di Namlea, mereka segera diangkut dengan perahu motor menyusuri Sungai Waiapu. Mereka bisa menyaksikan buaya yang bersarang di sela-sela hutan bakau atau hilir mudik berenang di sungai. Rombongan pertama boleh disebut pionir. Mereka berhadapan dengan alam perawan yang belum pasti menjanjikan harapan. Tapi ternyata dataran rendah yang semula berupa hutan rimba dan rawa-rawa itu kemudian berubah jadi kawasan pertanian. Pemerintah pun mengambil langkah-langkah pengembangan. Tak lama setelah tiba di lokasi, disusunlah rancangan kerjanya. Mula-mula mereka dibagi dalam unit-unit yang tersebar. Jalan setapak menghubungkan setiap unit. Kemudian, dibangun pula barak-barak di setiap unit. Sementara itu, petak-petak sawah dibagi sedemikian rupa, agar semuanya kebagian. Setiap unit memiliki seorang kepala unit yang dipilih lewat pemilihan -- biasanya warga inrehab yang berpendidikan tinggi atau berwibawa. Mereka diawasi langsung oleh dan (komandan). Kepala unit dibantu oleh 9 staf untuk mengurus masalah-masalah administrasi, kesejahteraan, ketenagaan, pertanian, pekerjaan umum, irigasi, pendidikan, dan urusan gudang pangan. Sedang unit biasanya dipecah jadi 10 barak. Masing-masing dihuni sekitar 50 orang yang dipimpin kepala barak. Lima tahun kemudian, lahirlah desa-desa mapan. Rombongan demi rombongan berikutnya terus mengalir. Warga pun bertambah. Pembagian kerja senantiasa dikembangkan dan disesuaikan dengan jumlah dan bakat warga. Padahal, pada tahun-tahun pertama seluruh warga cuma punya satu pilihan: harus jadi petani -- tanpa pandang usia, pendidikan, ataupun profesi. Tak dinyana, bekas hutan rimba itu subur. Panen melimpah-ruah. Kemakmuran tercermin dari wajah penghuninya. "Wah, kita orang mudah mendapat telur, ayam, beras," cerita Nyonya Kim Hong yang sudah tiga turunan tinggal di Buru. Bahkan dia bilang ayahnya dioperasi usus buntu oleh dokter inrehab tanpa dipungut bayaran. Adalah Desa Savanajaya yang masuk bilangan Unit IV. Inilah desa percontohan yang dibangga-banggakan penghuninya. Selain panen melimpah, di sana terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, gereja Katolik, dan Protestan. "Saya masih ingat kami dulu ngebut bikin gereja," ujar Djoko Sutardjo, mantan kepala desa definitif Savanajaya. Siang-malam terus dikerjakan supaya bisa diresmikan oleh Jenderal M. Panggabean yang bakal berkunjung. Kelar tepat pada hari kedatangan Jenderal Panggabean. "Subuh kami baru selesai memasang dindingnya," kata Arip Sugianto, warga asal Surabaya. Di sana sekarang masih terpancang gambar Yesus Kristus. Sebagai desa percontohan, Savanajaya juga dilengkapi balai pertemuan umum yang mampu memuat 1.000 warga. Hingga kini balai berdinding papan dan beratap seng itu tetap berfungsi. Panggung dan bangku terbuat dari kayu. Gambar Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang di dinding balai merupakan saksi bisu yang mencatat segala peristiwa selama dua puluh tahun. Sekitar 300 meter dari balai berdiri sebuah gedung tingkat bercat putih. Menurut warga, di situlah dulu para pembesar Jakarta menginap. Antara lain Ali Said, Ketua Mahkamah Agung, dan Sudomo, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kendati cukup sandang pangan, tahun-tahun pertama di Pulau Buru adalah penderitaan batin bagi tapol. Hari-hari berlangsung sunyi tanpa keluarga. Anak, istri, atau suami jauh di Jawa. Dan pemerintah mengerti perkara itu. Maka, pada 1972, ketika tahap pelaksanaan pemasyarakatan sudah dianggap beres, pemerintah membolehkan keluarga mereka menyusul. Tahun itu juga 142 istri dan 342 anak-anak memasuki Buru. Kemudian mengalir rombongan-rombongan berikutnya. Pada 1977 Markas Komando (Mako) mencatat populasi gabungan eks tapol dan sanak kadangnya mencapai 11.642. Rupanya, mereka telanjur terpincut pada Buru. Ketika mereka dibebaskan, 190 eks tapol menyatakan akan tetap tinggal dan ingin jadi transmigran. Ditambah dengan bekas karyawan inrehab, jumlah yang tinggal menjadi 377 kepala keluarga (kk) atau 1.392 jiwa. Mereka kemudian disebut transmigran spontan, digabungkan dengan transmigran lain. Bahkan mereka memperoleh perlakuan istimewa. Misalnya, boleh memilih lahan persawahan dan ladang (2 ha) lebih dulu. Sementara itu, transmigran yang datang berikutnya harus melalui undian. Ketika kawasan itu diserahkan ke tangan Direktorat Jenderal Transmigrasi pada 1978, Savanajaya dan unit-unit lain sudah mempunyai sawah siap cangkul dan tanam. Irigasi yang rapi dan sebuah bendungan yang masih kukuh dan tetap berfungsi hingga kini. Bahkan bendungan yang terbuat dari ijuk, bambu, dan pasir itu justru lebih berfungsi ketimbang bendungan yang dibuat Departemen Transmigrasi di kemudian hari. Kawasan inrehab pun dibagi dua. Satuan Pemukiman Transmigrasi-A (SPT-A) -- di utara sungai Waiapu -- dan SPT-B di seberang lainnya. Pada awal penempatan jumlah transmigran SPT-A sebayak 2.119 kk atau 13.530 jiwa. Sedang di SPT-B 2.000 kk atau 8.483 jiwa. Nama-nama unit pun dikembalikan ke nama semula. Misalnya Indrapura balik ke Waitele, Indrakarya ke Waikasar, Adhipura jadi Parbulu. Sedangkan Wanakerta dan Wanawangi jadi Waigeren. Tapi Savanajaya dan Mako masih tetap. Mungkin karena di dua tempat inilah 121 warga eks inrehab dan eks karyawan tinggal. Ternyata proyek transmigrasi di Buru cepat mandiri. Kesalahan memilih lahan, misalnya, tak terjadi di sini. Panen pun melimpah. Boleh jadi, karena sebelumnya tempat ini sudah digarap, juga lantaran ketekunan pemilik lahan. Dalam periode 1985-86 kawasan itu diserahkan kepada pemerintah daerah. Statusnya diubah dari desa definitif menjadi desa berstatus penuh. Bahkan seluruh unit dinyatakan sebagai desa berswasembada pangan, karena masing-masing bisa panen dua kali setahun. Misalnya unit C Savanajaya, pada panen musim tanam pertama 1985, menghasilkan 2,5 ton per ha. Musim tanam berikutnya meningkat jadi 3 ton per ha. Alhasil, panen kacang-kacangan dan padi mengalami surplus rata-rata 399 ton per tahun. Itu kalau melihat angka patokannya yang 165 ton. Prestasi lainnya. Semua unit di Buru sudah memiliki Koperasi Unit Desa (KUD). Lagi-lagi, Savanajaya mengungguli rekan-rekannya di desa lain. Desa ini telah mencapai klasifikasi tingkat A dengan jumlah modal Rp 16 juta saat diserahkan kepada pemda. *** Sukses transmigran eks tapol itu tidak dialami transmigran umum atau APPDT. Keluhan mereka sama dengan warga di tempat terpencil lainnya: angkutan yang sulit dan mahal. Di Buru lebih-lebih lagi. Jika cuaca buruk, ombak bergolak dahsyat, dan kapal tak bisa merapat. Praktis arus keluar-masuk barang terganggu. Acap kali kapal terpaksa balik kemudi bila laut menggila. Kalau sudah begitu, harga tiba-tiba melambung, sementara hasil panen yang akan "diekspor" membusuk di pelabuhan. Di hati kecil para transmigran non-eks tapol terbit sebercak kecurigaan yang tak gampang luntur. Apa mau dikata "cap eks tapol" tetap melekat. Apalagi banyak di antara mereka yang berhasil secara ekonomis. Bahkan mungkin lebih berhasil ketimbang mereka yang meninggalkan Buru satu dasawarsa lalu. Tetapi bukan berarti para transmigran umum tidak ada yang berhasil. Di antara mereka pada 1983 ada yang diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai Transmigran Teladan. Misalnya Yayat. Petani asal Garut berusia 37 tahun itu beruntung bisa bertemu dengan Presiden Soeharto di Istana. Ia sempat duduk gagah dengan dasi dan jasnya di gedung MPR/DPR. Pekarangan rumahnya di Buru ditumbuhi lebat pohon jeruk dan cokelat. Lapangan badminton terhampar, persis di muka rumah. Sedang mobil Colt nongkrong di serambi. Tapi bentuk rumahnya tetap sederhana, sesederhana penampilannya. Ade Tarmini, istrinya yang berusia 30 tahun, juga sederhana. Perempuan ini biasa pulang menjelang magrib. Di Garut Yayat sebenarnya memiliki 1 ha lahan. Bahkan, selain bertani, dia juga seorang pedagang buah dan sayur-mayur yang cukup berhasil. Tapi Yayat memilih daerah baru. "Saya melihat banyak petani yang hidup kekurangan. Saya jadi tergugah," dalihnya. Dia memotivasi penduduk desanya agar memperbaiki hidup lewat transmigrasi. "Nasib harus diubah dari penggarap jadi pemilik tanah," ujar Yayat, yang mengaku pernah mengantarkan ratusan transmigran ke Kalimantan dan Sulawesi. "Waktu itu kan disediakan fasilitas untuk pengantar," katanya mengenang. Minat Yayat sendiri untuk bertransmigrasi muncul tatkala dia mengantarkan rombongan ke Pulau Buru. Entah malaikat mana yang membisikinya sampai tiba-tiba ia berkata, "Hayooo..., saya ikut juga." Jadilah Yayat penghuni Buru. Meski cuma tamat sekolah dasar, Yayat punya filsafat hidup luhur. "Liren ngadamel, liren tuang." Kalau berhenti kerja, berarti berhenti makan. Falsafah itu segera diterapkan untuk memenangkan hidup di daerah baru. Tahun pertama ia menanam jenis tanaman jangka pendek seperti kedele dan padi. Berhasil. Tahun-tahun berikutnya ia menyebar benih jeruk dan cokelat, jenis tanaman jangka panjang yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Sekarang Yayat tinggal memetik hasil. "Kerasan saya di sini," ujar Yayat sambil tertawa lebar. "Mau oncom? tingal bikin. Ikan emas...? Ambil di balong. Mau apa lagi...?" Yayat memang makmur. Empat kali dia mudik ke Garut "naik jeruk" -- keuntungan yang dia petik dari tanaman jangka panjang. Tapi ada kalanya Yayat mengeluh. Perkaranya tak jauh dari sekitar urusan administrasi: sertifikat tanah tak cocok nomornya dengan lahan garapannya. "Nanti kita bisa ribut, Pak," protesnya pada Charles Lesilolo, Koordinator Transmigrasi Wilayah Buru. Lesilolo tentu saja menyuruhnya lapor ke kantor agraria. "Itu tanggung jawab mereka," kata Lesi. Cerita Sri Ayuni lain lagi. Ibu berusia 40 tahun yang tamat SMP ini pada 1980 bersama suaminya, Kamsono, 42 tahun, bertransmigrasi ke Pulau Buru. Awalnya tak jauh dari soal penghasilan yang minus. Pada 1974 suaminya cari kerja di Jakarta. Tetapi, karena pekerjaan Kamsono tak menentu, hasilnya pun tak menentu. Akhirnya, setelah melihat Jawa tak memberi harapan, pasangan dari Pati ini mengambil keputusan. Dengan modal cuma Rp 7.000 (tujuh ribu rupiah) mereka menjejakkan kaki di Buru. "Dari desa kami, hanya kami inilah yang boyong," kata Bu Sri -- begitu biasanya dia dipanggil para tetangga. Kebetulan Bu Sri pintar masak. Dasar rezeki, kebetulan pula di sana sedang dibuka sejumlah proyek. Bu Sri membuka warung kecil-kecilan. Sedikit demi sedikit keuntungan menumpuk, sampai akhirnya ia berhasil membangun warung yang lebih besar. Belakangan, rumah pemberian Departemen Transmigrasi itu disulap jadi warung. Dapurnya pun diperluas. Sementara itu, tanah kosong di serambi kanan sudah didirikan gedung kukuh berkamar tiga. Keluarga Bu Sri tinggal persis di tepi Jalan Flamboyant -- nama yang diambil karena ada pohon flamboyant di situ. Di seberang jalan membentang sawah luas dengan latar belakang gunung-gunung biru. Sungguh, sebuah pemandangan yang amat langka di Jawa. Warung Bu Sri sekarang jadi pos persinggahan. Siapa saja boleh mampir, makan, atau salat di musala mungil tak jauh dari situ. Kalau mau mereka bisa menumpang mandi. Bahkan terbuka kesempatan untuk menginap di rumah baru tiga kamar yang memang disewakan itu. Uang mengalir lancar. Kesibukan nyaris tak pernah putus. Sampai-sampai mereka belum pernah mudik ke Jawa. "Repot terus," dalih Bu Sri. Padahal, ayahnya masih hidup di Pati, dan setiap mengirim surat selalu menganjurkan agar mereka menengok kampung halaman. Surat terakhir bapaknya bahkan agak menuding. "Kamu sudah lupa Tanah Jawa, ya?" Bu Sri cuma bisa tersenyum haru. Urusan orang makan memang tak ada habisnya. Setiap hari berbondong-bondong. Apalagi terbuka kemungkinan bagi mereka yang ngutang. Dan Bu Sri senantiasa bergairah melayani. Tegasnya, keluarga Bu Sri jelas tak kekurangan. Empat anaknya mampu menikmati bangku sekolah dengan tenang. Dua di antaranya telah lulus SMA. Nasib baik Yayat dan Bu Sri adalah contoh sukses para transmigran. Daerah baru yang oleh penduduk Jawa masih antah-berantah dan mengerikan. Malahan tidak sedikit yang beranggapan bahwa menjadi transmigran sama halnya dengan kuli kontrak di zaman lampau. Hina-dina. Apalagi transmigrasi ke Buru, bekas tempat tahanan PKI. Memang sinar terang-benderang yang memancar di Pulau Buru belum terlihat oleh banyak orang. Sinar itu muncul dari bendungan seharga Rp 3,6 milyar yang sedang dijajaki pembangunannya. Rencananya akan terletak di Desa Waikasar. Dan nantinya bakal mengairi 360 ha sawah. Realisasinya tinggal menunggu hasil penyelidikan Aero Consultant dan cairnya dana World Bank. Kalau itu jadi kenyataan, ramalan Willer mungkin akan terbukti. Pbs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini