KEMENANGAN kembali Fraser di Canberra, dan Somare di Port
Moresby, telah memperkuat garis prolndonesia di kedua negeri
Persemakmuran itu. Australia, begitu koalisi Liberal Country
Party terpilih kembali, mengumumkan pengakuan formil terhadap
integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Beberapa waktu
sebelumnya "menlu republik demokrasi Timor Timur," Ramos Horta,
ditolak izin masuknya ke Australia. Juga pengejaran terhadap
pemancar gelap yang pro-Fretilin di Darwin, Australia Utara,
makin dipergencar.
Di Port Moresby, ibukota Papua Niugini yang baru merdeka
September 1976, terjadi perkembangan yang hampir serupa.
Berpenduduk cuma 2 « juta, kaum simpatisan OPM di sana yang
dianggap merupakan"duri-dalam daging" bagi kemesraan hubungan
RI-PNG.
Sebelum Pemilu 1977 yang menempatkan koalisi Pangu Party di
bawah pimpinan Michael Somare dan beberapa partai kecil lainnya
kembali ke tampuk pemerintahan, suara pro-OPM dalam parlemen
masih dipertimbangkan oleh Somare. Mungkin itu sebabnya,
pemerintah PNG, dianggap agak lambat memulangkan pelarian Irian
Jaya ketika terjadi pergolakan di lembah Baliem, pertengahan
tahun lalu.
Jalur Logistik
Kini, urusan OPM dan khususnya keamanan di tapal batas Irian
Jaya-PNG itu tampaknya sepenuhnya diserahkan kepada polisi dan
angkatan bersenjata PNG. Agaknya, urusan keamanan di perbatasan
itu justru mengobarkan pertentangan antara angkatan darat dan
polisi PNG. Juga antara pihak militer yang ditokohi Pangab PNG,
Brigjen Ted Diro -- yang tak puas dengan "pendekatan lunak"
terhadap OPM yang sering menggunakan wilayah PNG sebagai tempat
persembunyian maupun jalur logistiknya -- dengan politisi sipil.
Agustus tahun lalu misalnya, Ted Diro masih mengadakan pertemuan
dengan Rumkorem - yang di Irian Jaya kabarnya sudah disingkirkan
oleh rivalnya, Jakob Prai di markas AD di Wewak, Sepik Barat.
Konon dalam pertemuan itu Diro memberikan peringatan serius
kepada Rumkorem dan ke-30 sisa anakbuahnya agar tak
menyeret-nyeret PNG dalam pertikaian antara OPM dengan penguasa
sah RI. Namun berabenya, Brigjen Ted Diro justru mendapat
peringatan dari PM Somare yang mengingatkatnya, bahwa menurut
UUD PNG "tentara harus tunduk kepada pemerintahan sipil."
Menteri Polisi, Patterson Lowa, juga menerangkan waktu itu bahwa
"patroli di perbatasan PNG-Irian Jaya seharusnya dilakukan oleh
polisi, bukan oleh tentara." Dia menolak suatu saran Komisi
Pembaharuan Hukum supaya patroli perbatasan dilakukan oleh
satuan gabungan polisi-tentara. Malang bagi Lowa, kawan separtai
dengan Somare, pernyataan persnya itu berkelanjutan dengan
pencopotannya oleh Mahkamah Agung.
Tak berarti bahwa sikap Somare mengendor. Penahanan dan
pemulangan para penyeberang dari wilayah Irian Jaya tetap
diteruskan. Oktober lalu, 7 orang pemuda Irian Jaya diserahkan
kepada yang berwenang di Jayapura. Sebelumnya, 4 di antaranya
ditahan di penjara Vanuno, dan tiga lainnya di kamp karantina
Yako. Dalam kejadian lain, 10 orang Irian Jaya dan seorang dari
Sulawesi Selatan yang dikabarkan bersimpati dengan Rumkorem
ditahan dan diinterogasi di Yako. "Mereka," begitu menurut
buletin resmi pemerintah Nort Moresby, PNG Newsletter
"menyeberang ke Sepik Barat, tetangga Kabupaten Jayapura itu
untuk mencari obat-obatan." Maka garis keras Somare itu sering
diprotes oleh partai oposisi di parlemen. Namun argumentasi
Somare cukup difahami oleh pihak oposisi: "jangan membangunkan
macan tidur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini