Muhammad Ja'far
*) Penulis adalah pengamat politik Timur Tengah
Pembunuhan Ketua Hamas Syekh Ahmad Yassin sebulan silam, yang didalangi oleh Israel, merupakan indikasi kuat peningkatan intensitas represi terhadap Palestina. Hampir semua pihak dapat mencium aroma gelagat ke arah itu. Tapi bahwa Ariel Sharon melakukan hal itu dengan cara yang ekstrem dan dalam tempo secepat lesatan peluru kendali yang merenggut nyawa Abdul Aziz ar-Rantissi (Ketua Hamas baru, pengganti Yassin) mungkin tidak ada kalangan yang (sempat) memperkirakannya. Kematian Rantissi memang mengejutkan.
Tampaknya, Sharon benar-benar memiliki cara sendiri untuk menghadapi segala bentuk radikalisme yang melanda negerinya dan telah membuat paranoid rakyatnya, terutama yang dilancarkan Hamas. Sharon agaknya tak ingin mengulangi kesalahan fatal para pendahulunya: terpelanting sendiri mengambil sikap "lunak". Dalam kamus politik Sharon, radikalisme harus dihadapi dan ditumpas dengan senjata radikalisme jua. Jika tidak, diri Israel sendiri yang akan menjadi tumbal dan korban.
Atas semua yang terjadi di Palestina akhir-akhir ini, ke arah manakah sejarah negeri tersebut gerangan akan bergulir dalam jangka waktu pendek? Dan bagaimana pula prospek peta politik perdamaian antara kedua negara itu? Walaupun banyak kalangan, dengan ragam bentuk argumentasi, menganalisis sekaligus berapologi bahwa apa yang terjadi pada Hamas justru kian menegaskan eksistensi organisasi ini dan memicu lahirnya bentuk radikalisme baru.
Namun, satu hal yang pasti, apa yang ditempuh oleh Sharon adalah cara yang amat efektif sekaligus menjadi jalan pintas untuk menggembosi kekuatan organisasi tersebut. "Kejutan-kejutan" dari Sharon terhadap Hamas khususnya, dan kelompok radikal Palestina umumnya, amat mungkin akan terus berlanjut. Ini berati, Sharon berhasil merobohkan satu kekuatan ekstrem-radikal yang selama bertahun-tahun selalu menjadi kerikil tajam tertundanya obsesi Israel atas sebagian wilayah di Palestina.
Bagaimanapun, gerakan radikalisme—di kubu ekstrem Palestina maupun Israel—merupakan faktor vital yang selalu membubarkan berbagai kesepakatan damai yang dicapai petinggi kedua negara. Pembunuhan terhadap salah satu perdana menteri Israel dahulu kala adalah contoh konkret bahwa fenomena serupa menunjukkan indikasinya di kubu Israel.
Kini, ketika kekuatan potensial gerakan radikalisme Palestina berada di bawah tekanan dan bayang-bayang kepadaman, proses damai tampaknya akan berubaha "warna". Dalam arti, besar kemungkinan Sharon akan menempatkan dirinya di atas angin. Represi yang telah dia lakukan akan dijadikan modal berharga untuk mematok harga setinggi mungkin sebagai bekal menuju perundingan.
Itu pun dengan catatan jika Sharon berminat dengan tawaran untuk duduk bersama di satu meja perundingan. Sikap politiknya selama ini mencerminkan bahwa Sharon tak percaya pada arti penting dan strategis perundingan dalam menyelesaikan masalah negerinya. Sokongan penuh dari pemerintah Amerika Serikat kian memberikan ruang gerak leluasa bagi Sharon. Di sisi lain, kecaman politik yang dilancarkan berbagai negara tampaknya tak akan mendapat gubrisan Sharon. Kecuali jika kecaman tersebut disertai dengan langkah politik nyata.
Hal ini logis, karena selama ini kecaman dan kutukan hanya sebatas itu. Tidak berdampak negatif serius pada politik luar negeri Israel sendiri. Lalu, bagaimana dengan kubu Palestina yang sedang terluka dan berkabung? Dalam kondisi seperti ini, sorotan akan mengarah tajam pada Yasser Arafat dan PLO (Palestinian Liberation Organization). Sikap dan langkah politik pemimpin Palestina itu akan benar-benar diamati. Seperti biasa, selalu ada transformasi kemarahan dan kekesalan: yang sebelumnya mengarah ke pemerintah Israel, beralih kepada Arafat. Kemarahan terhadap Israel yang tidak menemukan ruang akan ditumpahkan pada Arafat yang dianggap selalu bersikap lunak dan lembek.
Tapi, mengingat konstelasi politik dalam negeri Palestina yang sedemikian panas, tidak mustahil Arafat akan bersikap lebih berani dan tegas dari apa yang telah dia perlihatkan dalam "tradisi" politiknya selama ini. Ada dua kemungkinan yang membuat Arafat bisa menempuh langkah ini: pertama, ada desakan politik dalam negeri yang amat kuat agar Arafat bersikap "jantan". Kedua, tekanan politik dunia terhadap Israel mengeras, sehingga memberikan peluang serta motivasi pada pemerintah Palestina (Arafat) untuk lebih menunjukkan taring politiknya.
Kemungkinan Arafat akan menggantungkan sikap politiknya pada dua hal tersebut. Jika benar langkah ini yang ditempuh Arafat, upaya mencapai perdamaian bakal semakin terjal dan alot. Sebab, kedua kubu akan sama-sama merasa berada pada posisi di atas angin.
Tapi, jika dua prasyarat tersebut tidak terpenuhi, tampaknya Arafat tak akan mengubah sikap. Lebih dari itu, momen ini mungkin akan dimanfaatkan Arafat untuk merealisasi "politik moderat" yang telah dia gulirkan. Sebab selama ini, sebagai ekses dari perbedaan garis perjuangan, Hamas merupakan salah satu pengganjal langkah politik damai Arafat. Belum lagi jika Israel benar-benar melakukan tekanan politik beruntun terhadap Palestina. Dapat dipastikan Arafat akan semakin tersudut (atau menyudutkan diri).
Jika ini terjadi, Palestina akan memiliki daya tawar amat rendah secara politis. Dalam kondisi seperti itu, barulah Sharon akan bergegas ke meja "pesta" perundingan. Tapi, saat itu pula tak ada lagi yang tersisa dari Palestina, selain sebuah cerita sejarah berikut ini: "Dahulu, Nak, ... negeri Palestina tak sesempit sekarang ini".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini