DALAM tempo dua bulan sudah tiga kepala negara terjungkal di Burma. Mereka: U San Yu, U Sein Lwin, dan U Maung Maung. Kepala negara terakhir, Maung Maung, digulingkan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Sau Maung dalam sebuah kudeta militer Minggu pagi pekan ini. Menurut Radio Rangoon, tak lama setelah tentara beraksi, pengambilalihan kekuasaan oleh Sau Maung, yang menjabat menteri pertahanan dalam Kabinet Presiden Sein Lwin dan Maung Maung, "Untuk menghentikan keadaan yang makin memburuk serta menyelamatkan kepentingan rakyat." Tak banyak yang terkejut ketika Radio Rangoon menyiarkan gebrakan Sau Maung. Langkah militer itu satu-satunya kekuatan yang terorganisasi rapi, dan punya senjata lagi -- sudah diperkirakan banyak orang jauh sebelumnya. Sejumlah pengamat politik di Rangoon bahkan mempersoalkan kelambanan tentara mengambil alih kekuasaan. Yang tak mereka duga bahwa penguasa militer baru bakal memberlakukan jam malam, memberangus surat-surat kabar milik swasta, dan melarang anggota masyarakat berkumpul lebih dari lima orang. Tak hanya itu gebrakan Sau Maung. Ia juga membubarkan semua lembaga pemerintah, yang sebagian besar memang sudah lumpuh akibat aksi mogok maupun dikuasai rakyat. Untuk menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari, Sau Maung membentuk Komite Pemulihan Perdamaian. Badan yang beranggotakan 19 perwira ini dipimpin langsung oleh Sau Maung dengan dibantu Wakil Pangab Letjen. Than Shwe. "Badan ini akan mengendalikan keadaan sampai pemerintahan sah terpilih," kata Sau Maung. Pemerintahan terpilih itu, menurut Sau Maung, akan dibentuk lewal pemilihan umum dengan sistem multipartai. Tapi ia tak menyebutkan kapan pemilihan umum itu akan diselenggarakan. Sebelumnya, sejak pemerintahan sipil Perdana Menteri U Nu digulingkan Jenderal Ne Win lebih dari seperempat abad lalu, pemilihan umum di Burma dilakukan dengan sistem partai tunggal di bawah Partai Program Sosialisme Burma (PPSB). Tampilnya Sau Maung sebagai orang kuat baru Burma ternyata tak membuat situasi di Negeri Seribu Pagoda itu reda dari guncangan pengunjuk rasa. Selang beberapa jam setelah militer mengambil alih kekuasaan, ratusan ribu pengunjuk rasa, yang diimbau mahasiswa agar membawa "perlengkapan perang" mereka, bahkan sudah memenuhi jalan-jalan di Rangoon. Malamnya, menurut sumber-sumber diplomatik di Rangoon, para demonstran yang bersenjatakan pedang, linggis, rantai sepeda, dan katapel, terlibat pertarungan satu lawan satu dengan petugas keamanan di beberapa tempat. Tak diketahui angka pasti korban yang jatuh. Tapi, menurut seorang diplomat, sedikitnya 30 orang terbunuh di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, tempat yang sering digunakan demonstran melakukan aksi protes. Sumber lain menyebutkan di kawasan timur laut Rangoon, ditemukan 40 penduduk dan 17 tentara terkapar tak bernyawa di jalan selepas bentrokan. "Rangoon sekarang dalam keadaan anarki total," tutur seorang diplomat Barat di Bangkok. Ia mendapat laporan rinci mengenai situasi di ibu kota Burma itu lewat saluran komunikasi khusus dari petugas kedutaan yang masih bertahan di Rangoon. Dugaan tentang memburuknya situasi di Rangoon diperkuat dengan adanya permintaan Palang Merah Burma kepada kedutaan-kedutaan asing agar memberi mereka obat-obatan Palang Merah Burma, menurut sebuah sumber diplomatik, praktis tak memiliki cadangan obat dan keperluan medis lainnya. Tindak kekerasan yang dilakukan penguasa militer baru untuk meredam protes masyarakat mengingatkan orang pada aksi pembantaian yang dilakukan rezim Sein Lwin selama 17 hari berkuasa. Waktu itu, menurut sebuah sumber independen, tak kurang dari 3.000 (menurut siaran resmi pemerintah, 1l2) demonstran terbunuh akibat tembakan tentara. Mengapa massa masih saja bergerak menentang penguasa? Pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan Sau Maung, di mata mereka, tak lebih dari sebuah "sandiwara". Tentara pura-pura menjatuhkan pemerintahan PPSB dengan tujuan mengamankan sistem sosialis yang diperkenalkan Ne Win. Banyak yang menduga, "bekas" orang kuat Burma itu, yang mundur sebagai ketua PPSB Juli lalu, masih tetap mengendalikan pucuk pimpinan partai dan militer dari balik layar. Kuat dugaan, dialah arsitek kudeta militer yang dilakukan Sau Maung. Soalnya, sekalipun Ne Win secara resmi tak lagi memegang kendali partai maupun pemerintahan, pimpinan PPSB dan militer selalu terlihat di Jalan Ady, tempat kediaman Ne Win yang dijaga ketat, sebelum mereka mengambil langkah politik penting. Minggu pagi lalu, sebelum tentara melakukan kudeta, Sau Maung tampak berkunjung ke rumah Ne Win. Anggota Kongres Amerika Serikat, Stephen Solarz, sekembali dari Rangoon pekan lalu, menyimpulkan, "Tak ada keputusan yang diambil selama ini tanpa mendapat restu Ne Win." Sekalipun mayoritas pimpinan angkatan bersenjata tetap setia pada Ne Win, tak berarti tak ada anggota militer yang membelot dan bergabung dengan demonstran. Diperkirakan, ada sekitar 2.000 prajurit berseragam lengkap, sebagian besar anggota angkatan udara, angkatan laut, dan polisi belakangan ini terlihat menyertai demonstran dalam aksi protes. Maka, sehari setelah kudeta, Sau Maung mengimbau pihak oposisi agar tidak mengusik persatuan di lingkungan angkatan bersenjata, baik dengan "kata-kata maupun aksi". Ia mengancam akan menembak di tempat mereka yang mengedarkan selebaran-selebaran yang menyebut para perwira senior militer telah bergabung dengan pihak oposisi. SEJAK dua batalyon prajurit angkatan bersenjata bergabung dengan para pengunjuk rasa, lalu ditambah pula dengan pembentukan pemerintahan tandingan oleh bekas Perdana Menteri U Nu, perkembangan politik di Burma dalam dua pekan terakhir berjalan sangat cepat. Pemerintahan Presiden Maung Maung, yang praktis sudah lumpuh, secara bertahap "menyerah" pada tuntutan demonstran. Bahkan dia, sehari setelah U Nu mengumumkan pemerintahan tandingan, langsung mengumumkan penghapusan sistem partai tunggal. Esoknya, Senin pekan lalu, keputusan Maung Maung itu langsung dibicarakan dalam sidang khusus Hlutaw (parlemen) dan disetujui oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Parlemen juga menyetujui penyelenggaraan pemlhhan umum dalam tempo tiga bulan. Keputusan yang diambil Maung Maung itu ternyata tak meredakan aksi pengunjuk rasa. Mereka masih saja terus mendesak agar dibentuk pemerintahan sementara. Selain itu, kelompok oposisi, yang diwakili oleh bekas Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Tin Oo, juga mendesak agar perwira-perwira militer mengundurkan diri dari keanggotaan PPSB. Tanpa itu, mereka meragukan pemerintahan sementara akan mampu menyelenggarakan pemilihan umum dengan bersih. Tuntutan itu dikabulkan pemerintahan Presiden Maung Maung setelah dua anggota PPSB mengundurkan diri dari keanggotaan partai. Dua hari sebelum Sau Maung melakukan kudeta, Maung-Maung membebaskan semua pegawai pemerintah dan anggota militer dari keanggotaan PPSB. Tindakan drastis Maung Maung itu, yang semula diharapkannya bisa meredakan ketegangan, ternyata malah dicemooh kelompok oposisi, yang sudah telanjur tak percaya pada penguasa. Tin Oo bahkan menyebut manuver pemerintahan Maung Maung itu sebagai "isyarat kosong". Ia mengimbau para demonstran agar terus melancarkan aksi damai, "sampai pemerintahan sementara kita miliki." Imbauan Tin Oo itu disambut sekitar setengah juta pengunjuk rasa dengan tumplek ke jalan-jalan di Ibu Kota Rangoon. Aksi itu terus berlanjut dengan kekerasan. Petugas keamanan, yang selama pemerintahan sipil Maung Maung tak tampak beringas, mulai kehilangan kontrol. Bedil mereka langsung menyalak. Akibatnya, tiga mahasiswa yang unjuk rasa pada akhir pekan itu mengalami cedera berat. Kekuatan kelompok oposisi makin berantakan setelah tiga serangkai Tin Oo-Aung Gyi -- Nyonya Aung San Suu Kyi, yang mendapat dukungan mayoritas demonstran, menyatakan tak setuju dengan langkah-langkah U Nu. Tindakan U Nu memproklamasikan pemerintahan tandingan mereka nilai sebagai langkah terburubum dan akan merugikan perjuangan pihak oposisi. Sebagai tanda protes, Tin Oo, yang dikenal dekat dengan pihak militer, mengundurkan diri dari pemerintahan tandingan. Tanpa dukungan trio Tin Oo-Aung Gyi-Aung San Kuu Kyi, kekuatan U Nu menjadi tak berarti. Maka, U Nu seakan tenggelam dalam perkembangan terakhir. Triumvirat baru kaum oposisi itu, yang resmi bergabung Rabu pekan lalu, kemudian mengeluarkan pernyataan bersama dan menyatakan bahwa mereka "siap membentuk pemerintahan baru Burma". Inilah kali pertama ketiga tokoh oposisi yang sedang naik daun itu mengeluarkan pernyataan bersama seperti tersebut. Sebelumnya, ketiga tokoh pujaan demonstran itu masing-masing mengeluarkan sikap sendiri-sendiri. Mereka kemudian mengimbau mahasiswa agar bersabar, "untuk memberi kesempatan pemerintah mundur dengan terhormat." Harapan trio itu tak terwujud. Militer keburu bertindak. Untuk menggoyahkan mereka cukup sullt. Angkatan bersenjata Burma, yang berkekuatan 180.000 prajurit, terkenal sebagai tentara yang ulet, teguh, dan setia kepada pimpinan. Di samping itu, menurut seorang pengamat militer, tentara Burma telah berpengalaman menghadapi gerakan separatis, yang telah merongrong pemerintah selama 40 tahun lebih. Maka, sekalipun Sau Maung, 59 tahun, hanya berpendidikan sekolah menengah atas dan dikenal kurang intelek, tak berarti prajurit-prajurit melecehkannya. Ia bahkan sangat dihormati anak buahnya. Sau Maung, yang diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata Juli silam, dikenal sebagai orang dekat Ne Win dan merupakan tangan kanan Sein Lwin. Sekalipun Sau Maung merupakan pembantu utama Sein Lwin, yang pernah meredam aksi protes mahasiswa dengan perintah tembak di tempat, tak berarti orang kuat baru itu juga berperangai kejam sebagai bekas atasannya. Yang disebut-sebut beringas justru Than Shwee, orang Nomor 2 dalam rezim baru militer Burma. Maka, menurut seorang diplomat di Bangkok, masih sulit ditebak gaya kepemimpinan yang bakal dijalankan Sau Maung. Tapi ia diduga tak akan membebek kepada 'kemauan' Ne Win niplomat itu yakin Sau Maung tak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang diperbuat pendahulunya. Itu tak berarti demonstran tak bakal mengguncang kedudukannya. Farida Sendajaja dan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini