Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tinggal Apa Lagi ?

Pemogokan para pekerja minyak Iran membuat keadaan kerajaan parsi di bawah Shah Reza Pahlevi semakin guncang. Karena itu Shah terpaksa minta kesediaan oposisi untuk berunding. (ln)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHAH Iran, yang disebut "Maharaja" itu, kini mungkin pemimpin yang paling tcrpukul di dunia. Ia dikabarkan nampak seperti orang yang gundah. Ia enggan menghadapi para penasihat sipil dan militernya. Tapi ia enggan pula melibatkan diri jauh ke dalam pengambilan keputusan penting. Iran agaknya tengah kehilangan kepemimpinan. Dalam situasi seperti sekarang, meskipun Presiden AS Carter menyatakan dukungannya kepadanya, Shah yang lagi guncang seperti itu mungkin tak membantu keadaan. Tapi keadaan memang kian sulit untuk ditolong. Pekan lalu pukulan terhebat dari kerusuhan anti-Shah datang: para pekerja minyak mogok. Perdana Menteri Sharif-Emami yang diakhir pekan silam mengundurkan diri -- mengecam pemogokan itu sebagai "pengkhianatan." Beberapa hari sebelum mengundurkan diri, di depan parlemen yang baru saja memberinya mosi kepercayaan, ia menyatakan bisa memahami oposisi kepada pemerintah, "tapi kenapa kini negara dilukai?" Kata Sharif pula: " Cobalah fikir sejenak, apa yang akan terjadi pada negeri ini bila produksi minyak kita terhenti?" Jatuhnya Urat Nadi Itu artinya Iran kehilangan 60 juta dolar sehari. Iran yang mengekspor rata-rata 5 juta barrel minyak per harinya menggantungkan 80% pemasukannya dari ladang-ladang minyak itu. Maka tidak sulit untuk membayangkan bahwa berhentinya produksi minyak di Iran tidak bisa lain kecuali berarti berakhirnya kerajaan Parsi itu sebagai negara. Yang masih sulit dibayangkan adalah akibat berhentinya produksi minyak Iran itu bagi negara-negara industri, Jepang dan Eropa Barat. Yang langsung terancam adalah Israel dan Afrika Selatan. Hampir seluruh minyak bumi yang dipakai di kedua negara terakhir itu berasal dari Iran. Pemogokan itu memang tidak menghentikan seluruh produksi. Buruh yang tetap berada di kilang minyak dan penyulingan masih memungkinkan mengalirnya 2 juta barrel per hari. Tapi apa yang terjadi secara meluas dari Gachsaran (Abadan) sampai dengan Maroun, Agha Jari, Ahavas dan Masjid Sulaiman serta terminal ekspor di P. Kharg itu menunjukkan suatu hal yang pasti: urat nadi Iran sudah berada di tangan musuh pemerintah. Para buruh minyak itu memang mogok untuk tuntutan politik, selain karena juga mengharap tambahan penghasilan. Tuntutan mereka penghentian keadaan darurat di 12 kota, pembebasan para tahanan politik, pemulangan 500 orang tenaga ahli Barat yang bekerja di kilang-kilang minyak, dan pengadilan segera para koruptor. Tuntutan yang berat seperti ini sudah tentu tidak bisa dirundingkan dengan Housang Anshary, Direktur Perusahaan Minyak Iran (NIOC). Tawaran Anshary untuk memenuhi tuntutan kenaikan upah buruh ternyata tidak mendapat sambutan hangat dari para pemogok. Ketika masalah buruh minyak belum lagi terselesaikan, muncul pula berita pemogokan lain. Seluruh pekerja yang menangani Iranair, penerbangan milik pemerintah, ikut pula mogok. Maka penerbangan domestik maupun internasional mendadak terhenti di Iran pekan silam. Kecuali beberapa pesawat asing yang hinggap di lapangan terbang Teheran, Mehrabad, negeri itu nyaris sepi dari penerbangan sipil. Dan para pekerja Iranair itu pun cuma mengulangi tuntutan rekan mereka yang buruh minyak. Keadaan di Iran menjadi makin rawan karena demonstrasi kekerasan terus melanda hampir semua bagian negeri tersebut. Di kota Teheran sendiri sejumlah mahasiswa tertembak -- beberapa tewas, sejumlah besar luka-luka ketika mereka melancarkan demonstrasi dari kampus. Akibat tembakan itu, para mahasiswa menjadi kalap dan melakukan pengrusakan di berbagai penjuru kota. Bank, toko-toko dan beberapa kantor pemerintah diobrak-abrik, sejumlah kendaraan umum dibakar. Di kota Babol, 300 kilometer dari Teheran, para demonstran melakukan pembakaran di hampir seluruh kota. Polisi melepaskan tembakan. Seorang terbunuh, beberapa luka-luka. Bahaya Api Kantor berita Iran akhir pekan silam melaporkan pula berhentinya semua hakim di wilayah barat. Disebutkan bahwa alasan bagi pengunduran itu adalah terjadinya aksi berdarah yang dilakukan oleh suku-suku pegunungan yang mendukung Shah. Orang-orang berkuda itu menggunakan senjata api dan menembaki para demonstran anti-Shah. Korban yang jatuh di pihak demonstran 65 orang, sedang alat keamanan negara tidak mengambil tindakan yang cepat. Keadaan yang makin ruwet ini makin jadi rumit ketika gempa bumi melanda beberapa bagian Iran. Bclum bisa diketahui korban yang jatuh, sebab jaringan komunikasi terputus. Sebuah sumber di ibukota Iran menyebut sebuah kota sebagai "telah hancur dan ditinggalkan oleh semua penghuninya." Goncangan politik, ekonomi dan gempa bumi itu rupanya telah menempatkan Shah dalam suatu posisi untuk tidak bisa lain kecuali bertemu dengan pemimpin pihak oposisi. Dari Teheran awal pekan ini diberitakan bahwa Shah bersedia untuk berunding dengan Karim Sanjabi, ketua Front Nasional yang mengkoordinasi semua perlawanan politik terhadap Shah. Putusan Shah seperti ini dianggap sangat luar biasa, sebab tidak pernah sebelumnya ia bersedia uertemu muka dengan lawan-lawan politiknya. Karim Sanjabi sendiri masih berada di Paris ntuk berkonsultasi dengan Ayatullah Rohullah Khomeini -- pemimpin kaum Shiah yang telah mengungsi selama 16 tahun -- mengenai langkah politik mereka selanjutnya. Ketika usaha politik sedang dicoba untuk mengatasi keadaan gawat itu, sejumlah kecil tenaga ahli Iran bekerja keras di berbagai instalasi minyak yang serba rumit. "Untuk menghindarkan insiden atau bahaya api," kata seorang juru bicara. Di luar instalasi-instalasi itu, sejumlah tentara berjaga-jaga guna menghindari sabotase. Sampai sejauh mana mereka akan bisa bertahan, masih jadi tandatanya besar -- juga setelah kerja buruh yang mogok itu digantikan tentara. Dan melihat pentingnya minyak bagi Iran, seperti halnya pentingnya minyak Iran bagi dunia Barat, yang cemas bertanya-tanya bukan cuma mereka yang di Teheran. Tapi juga di Washington, yang pekan lalu dikabarkan menuduh Uni Soviet ikut memperkeruh keadaan di Iran. Mungkinkah tak lama lagi Iran akan jadi sebuah negara yang dikuasai komunis dengan deking Uni Soviet, seperti Afghanistan baru-baru ini? Bagaimana dengan ekspor minyaknya kelak? Ataukah ia akan jadi negeri Islam menurut versi tokoh agama seperti Ayatullah Shariat-Maderi, yang mempunyai banyak pengikut dalam oposisinya kini? (lihat box). Atau Iran akan jadi sebuah negeri yang lebih demokratis? Proses ke arah demokratisasi sebetulnya sudah nampak -- setidaknya selama masa gelombang oposisi kini. Ketua badan rahasia Iran yang sangat ditakuti, Savak, oleh pemerintah sendiri dinyatakan akan diadili. Dengan tuduhan: menyalahgunakan kedudukan resmi. Pers Iran yang mulai makin berani dua pekan lalu memberitakan pula bagaimana Savak menyiksa para tahanan politik. Suasana menuju kebebasan itu memang kini dibiarkan oleh pemerintah Iran. Itu salah satu sebabnya Presiden AS Carter menyokongnya dengan suara gigih -- entah sampai kapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus