PARA mahasiswa yang berdemonstrasi di Teheran membawa
gambarnya. Pemimpin Front Nasional yang beroposisi kepada Shah,
Karim Sanjabi, pekan lalu berembug dengannya. Apakah sebenarnya
yang dikehendaki orang tua berumur 78 ini? Jawab Ayatullah
Ruhollah Khomeini, tokoh Islam Shi'ah yang kini berada di Paris
seraya nampaknya mengendalikan gerakan anti-Shah dari jauh: Shah
Iran harus dimakzulkan.
Tiba di Paris awal Oktober yang lalu, pemimpin agama yang selama
16 tahun hidup dalam pembuangan di Iraq itu mengisyaratkan,
bahwa gerakan anti-Shah akan bisa menjadi gerakan bersenjata.
"Kami tak bisa terus menerus membiarkan dada kami terbuka untuk
senjata Shah," katanya kepala harian sayap-kanan Le Figaro.
"Sampai kini, saya belum mengubah netunjuk bahwa kami membantu
perlawanan damai. Tapi mungkin saya harus bertindak lain."
Cara apapun yang dipakainya, yang menarik tentu pendapatnya
tentang cita-citanya untuk Iran. Setelah kerajaan ditumbangkan,
kata Khomeini, Iran akan diganti jadi "Republik Islam." Ia
tegaskan dalam republik itu akan ada kebebasan bersama dan
"kemerdekaan total." Tapi ia mengritik pengendoran aturan sosial
dan agama yang terjadi di bawah pemerintahan Shah. Bagaimana
dengan pengaruh kiri? Khomeini menolak bahwa itu terdapat dalam
gerakannya. "Alasannya sederhana saja: kaum ultra-kiri dan grup
komunis praktis sudah habis." Maksudnya, tentu, karena golongan
kiri itu sudah dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintahan
Shah.
Sejauh mana Khomeini dapat menebak kekuatan kiri di negara yang
selain berbatasan dengan Uni Soviet juga menyolok perbedaan
sosialnya itu, tentu baru bisa dilihat di masa depan. Sampai
hari ini setidaknya gelombang kaum Muslim Shi'ah saja yang
nampak. Itu pun dengan gagasan yang berbedabeda tentang apa
jadinya Iran nanti.
Di kota Qum yang salih, misalnya seorang Ayahtullah lain
mencita-citakan sebuah bentuk kerajaan parlementer. Ayahtullah
Shariat-Maderi itu, 70 tahun lebih, menyatakan kepada wartawan
Joseph Kraft dari International Herald Tribune, bahwa gerakan
oposisi yang dipimpinnya menghendaki kembalinya UUD 1906.
Parlemen boleh membuat undang-undang, tapi hasilnya harus bisa
ditinjau kembali oleh lima pemimpin agama yang menjadi anggota
suatu majelis. Jika majelis itu tak berhasil mufakat, keputusan
terakhir di tangan pemimpin agama tertinggi di Iran. Bagi
Shariat-Maderi nampaknya itu berarti dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini