Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Titik Balik Pangeran Abdullah

Pangeran Abdullah menawarkan inisiatif damai bagi konflik Israel-Palestina. Bukan penyelesaian yang mudah.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Ariel Sharon, tanah Palestina mungkin seperti tempat main perang-perangan untuk kanak-kanak. Hampir saban hari, tak bosan-bosannya Perdana Menteri Israel itu memuntahkan mainan mautnya ke tanah seberang. Dari udara, pesawat F-16 dan helikopter Apache Israel menghujani kantor polisi Palestina di Tepi Barat dengan rudal-rudal cerdas. Dari laut, kapal perang Israel meluncurkan peluru kendali ke kawasan pantai di Jalur Gaza. Dan dari darat, Sharon mengirimkan pasukan tank. Mereka merangsek jauh ke barak-barak pengungsi, mengobrak-abrik setiap rumah dan menciduk tokoh-tokoh militan. Hingga akhir pekan lalu, diperkirakan 80 nyawa warga palestina telah melayang. Seperti tak puas dengan sasaran kelas teri, Sharon menggertak target kakap. Dengan sepasukan tank, ia mengepung Yasser Arafat di kantornya di Ramallah, justru pada saat pemimpin Palestina itu bertemu utusan khusus PBB untuk Timur Tengah. Kepungan tank ini membuat Arafat tak bisa berkutik, tak bisa keluar kantor. Tentu saja aksi gebuk Sharon mendidihkan darah para pejabat Otoritas Palestina (PA). Buru-buru mereka menangkap tiga orang tersangka yang diduga terlibat dalam pembunuhan seorang anggota kabinet Israel, Oktober lalu. Mereka ditangkap, kabarnya, sebagai prasyarat pembebasan Arafat. Pekan lalu, Arafat memang sudah dibebaskan dari kantornya. Tapi pemimpin Palestina itu tetap tak bisa meninggalkan Ramallah. Arafat dijadikan semacam sandera kota. "Israel telah memerangi perdamaian, rakyat, juga pemimpin Palestina," kata Nabil Abu Rdeneh, penasihat Arafat. Kemarahan Sharon kali ini agaknya tidak main-main. Selain karena ia kehilangan seorang menteri, serangan bunuh diri kelompok militan Palestina yang menewaskan lebih dari 30 warga Israel telah membuat Sharon mata gelap. Di tengah badai dendam seperti itu, Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud menerobos arena konflik Israel-Palestina membawa usulan perdamaian. Dalam wawancara dengan The New York Times, putra mahkota Arab Saudi ini menawarkan pengakuan penuh semua negara Arab terhadap Israel dengan imbalan Israel menarik diri dari semua wilayah Arab yang didudukinya sejak perang 1967. Itu berarti Israel harus enyah dari Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Rincian proposal sang Pangeran memang belum jelas. Semuanya akan disampaikan dalam pertemuan puncak Liga Arab di Beirut, akhir Maret mendatang. Tapi, dari wawancara itu, Abdullah menyebut kedaulatan Israel terhadap Tembok Barat Yerusalem Timur yang merupakan tempat suci Yahudi, tukar guling antarbeberapa wilayah Tepi Barat sebagai ganti rugi penyerahan Israel, dan pembatalan atau penundaan hak pengungsi Palestina kembali ke tanah yang dikuasai Israel. Segera saja proposal itu memancing pelbagai reaksi. Yasser Arafat dikabarkan menerima inisiatif Abdullah ini "tanpa syarat". Para pe-jabat Otoritas Palestina bahkan meminta agar para pemimpin negara-negara Arab menerima usulan perdamaian ini, asal Arafat dibebaskan dari Ramallah untuk menghadiri pertemuan Beirut. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara Arab moderat memang mendukung. "Ini perkembangan sangat positif," kata Presiden Bush. Bahkan Suriah, yang berperang melawan Israel, mendukung usulan Abdullah. Sementara itu, negara Arab garis keras seperti Irak dan Libia mencerca inisiatif damai ter-sebut. "Itu tawar-menawar murahan," kata Muammar Qadhafi, pemimpin Libia. Inisiatif Abdullah agaknya memang bakal mengundang masalah dengan Israel. Apalagi Sharon sudah menyatakan niatnya akan menghajar pemerintah Otoritas Palestina habis-habisan sampai menjerit minta ampun. Kalaupun perundingan terjadi, kebijakan garis keras Partai Likud yang dipimpin Sharon mengharamkan penarikan Israel dari posisi setelah perang 1967 karena akan menggusur banyak wilayah permukiman Yahudi di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Golan. Mustahil pula Sharon mengalah soal Yerusalem Timur. Tak mengherankan jika Sharon cenderung menolak proposal sang Pangeran. "Tak ada prasarat perundingan damai," katanya, seperti memberi kata putus, "Soal perbatasan harus dibicarakan pada perundingan tersendiri." Tampaknya hanya ada satu peluang agar proposal Abdullah bisa berjalan: tekanan AS terhadap Israel. Tapi, sejarah mengajarkan, ini bukan tekanan yang gampang. Raihul Fadjri (The Jerusalem Post, The New York Times, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus