Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mugabe di Hadapan Ancaman Para Rekan

Zimbabwe diancam akan ditendang dari Persemakmuran jika pemilihan umum berjalan curang. Namun, persekutuan ini tak punya taring berarti.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan orang antre di Harare, ibu kota Zimbabwe. Tiba-tiba saja terjadi keributan saat karung jagung dibagikan, Jumat pekan lalu. Mereka harus gesit bila tak ingin keluarga di rumah kelaparan. Stephen Bongozozo, seorang buruh, ikut dalam keriuhan ini. Menurut Bongozozo, sulitnya ekonomi menyebabkan kekerasan terjadi di negaranya. Namun, ketika ditanya tentang pemilihan presiden yang akan digelar keesokan hari- nya, ia memilih bungkam. "Saya tidak bisa bicara banyak. Saya bisa kena celaka," kata Bongozozo. Sebagian besar rakyat Zimbabwe rata-rata bersikap hati-hati seperti Bongozozo. Mereka punya alasan kuat. Menurut Human Rights Forum, dalam dua tahun terakhir 150 orang telah terbunuh, ribuan disiksa, dan 70 ribu orang lainnya kehilangan rumah. Kemalangan ini bersumber dari cap pembangkang yang diberikan oleh pemerintah. Robert Mugabe, 78 tahun, kepala negara dan pahlawan kemerdekaan Zimbabwe, kini memang telah berganti baju. Ketika ia bersama Joshua Nkono berhasil memerdekakan negaranya pada 1980, Mugabe adalah pujaan sekaligus inspirasi perjuangan bagi rakyat di kawasan Afrika Tengah itu. Namun, seperti "tradisi" kekuasaan di mana-mana, ia jadi lapuk dan berkarat. Mugabe tak becus mengurus negaranya. Contoh paling telak, 500 ribu rakyat terancam kelaparan. Sudah begitu, ia malah kepingin memperpanjang jabatannya. Serangkaian teror yang dilakukan pendukungnya adalah upaya mengintimidasi pendukung Morgan Tsvangirai, lawan Mugabe, dalam pemilihan presiden. Tentu saja sudah banyak pihak yang ber-upaya menghentikan upaya Mugabe itu. Negara donor terbesar, Inggris dan Amerika, sudah mengancam akan menghentikan bantuannya jika pemilihan berlangsung tidak jujur dan adil. Alih-alih melunak, Mugabe malah menantang: "Kini saatnya memberi pelajaran kepada Inggris. Ini masalah kedaulatan, dan kami tak akan mundur." Sikap garang Mugabe telah membuat pemimpin 54 negara Persemakmuran yang sedang berkumpul dalam konferensi tingkat tinggi di Australia, awal pekan lalu itu, terbelah. Perdana Menteri Kanada Jean Chretien mengajukan usulan agar Zimbabwe diskors dari Persemakmuran. Usul ini mendapat dukungan penuh dari Australia, Selandia Baru, dan Inggris. Namun, usul ini ditentang oleh sebagian pemimpin negara Afrika. Mereka menyebut gagasan menendang Zimbabwe dilandasi prasangka rasial. Soalnya, kampanye Mugabe kali ini memang punya kaitan besar dengan warga kulit putih di negaranya. Mugabe menjanjikan akan membagikan lahan milik tuan tanah kulit putih kepada warga kulit hitam. Sampai konferensi bubar, belum ada keputusan definitif tentang status keanggotaan Zimbabwe. Kegagalan anggota persekutuan eks koloni Inggris menjatuhkan hukuman buat Mugabe itu menunjukkan bahwa secara politik per-sekutuan ini memang tak bermakna. Ketiadaan taring Persemakmuran bersumber dari beberapa hal. Dalam aturan organisasi, pemimpin negara yang boleh dihukum adalah mereka yang naik takhta lewat kudeta. Dengan menggelar pemilihan, apa pun kualitasnya, Mugabe tak bisa disebut melakukan pelanggaran. Mantra "kebinekaan adalah kekuatan", yang jadi hafalan pemimpin Persemakmuran, sering kali berbalik arah. Kebinekaan, dengan embel-embel prasangka rasial, malah berkali-kali jadi landasan ketidaksetujuan. Tak urung, pemimpin oposisi di Zimbabwe masygul dengan kegagalan persekutuan itu menekan Mugabe. Para pendukung hak asasi juga mengecam penundaan hukuman terhadap Mugabe. Mereka menilai Persemakmuran telah gagal melihat hal yang paling esensial di negara tersebut. Sekretaris Jenderal Persemakmuran, Don McKinnon, sejak awal sudah membela diri. Ia menganggap bahwa harapan agar Persemakmuran bisa menekan Mugabe adalah harapan yang keliru. Mungkin McKinnon benar. Walau punya anggota 54 negara berpenduduk total 1,7 miliar jiwa, ternyata dana Persemakmuran cuma 30 juta poundsterling (Rp 420 miliar) setahun. Persemakmuran baru bisa punya pengaruh besar bila dananya juga sepadan. Dengan uang sekecil itu, konferensi dua tahun sekali para pemimpinnya tak lebih sebagai pesta temu kangen belaka. Dan ingat, itu cuma seperti reuni para pemimpin saja, bukan pesta rakyat. Yusi Avianto Pareanom (AP, Reuters, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus