Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Habis Gelap di Mangelsen

Gerilyawan komunis saling bantai dengan pemerintahan Kathmandu. Ujian bagi demokrasi Nepal.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN muda sudah lama lingsir dari langit. Larut malam membekap Mangelsen, bagian barat Nepal. Tiba-tiba, seperti angin yang kalap, ratusan orang menghambur dari perbukitan ke tengah kota. Paras mereka berbalur jelaga, mata hatinya berbalut dendam. Dengan tangan mencengkam granat, bedil, atau pisau, mereka menyergap markas-markas polisi dan tentara. Malam itu, pertengahan Februari lalu, Nepal kembali dibangunkan mimpi buruk. Lebih dari 150 orang, bukan hanya polisi dan tentara tapi juga warga sipil, tewas dibantai gerilyawan komunis. Bank dibakar, uangnya dijarah. Gedung-gedung diledakkan. Ini merupakan kekejian paling brutal sejak penganut ajaran Mao Zedong itu mengangkat senjata melawan pemerintahan Kathmandu, enam tahun silam. Pembantaian Mangelsen bukan cuma mendidihkan Nepal, negeri sejuk di kaki Himalaya. Lebih dari itu, penjagalan massal ini bakal memperpanjang pelaksanaan Undang-Undang Darurat Nasional, yang telah diterapkan sejak akhir November lalu. Hal ini bisa menjadi dalih bagi Raja Gyanendra—ia menggantikan Birendra, yang terbunuh Juni lalu—untuk memobilisasi tentara guna melawan gerilyawan komunis. Langkah Gyanendra yang dikenal keras kepala itu, selain menyulitkan penyelesaian damai, bakal memojokkan posisi para pendukung demokrasi. Percumbuan Nepal dengan demokrasi memang telah melalui jalan yang sulit dan penuh kenangan getir. Sejak diperkenalkan Raja Birendra sebelas tahun silam, demokrasi telah melahirkan sembilan kali pemerintahan koalisi yang saling menjatuhkan. Selain itu, parlemen multipartai yang berjalan tanpa penguasa mayoritas juga tak henti-hentinya gontok-gontokan. Para pendukung demokrasi sudah lama mencurigai Gyanendra—juga dikenal sebagai pengusaha top Nepal—akan menggiring sistem demokrasi yang "tak efisien" itu masuk kembali ke tangan istana. Ini bisa dilakukan dengan memberi peran yang lebih dominan kepada militer, yang 100 persen mendukungnya. Gelagat dominasi militer itu mulai tampak ketika Kathmandu seperti menuntut balas penjagalan Mangelsen. Dengan dalih darurat nasional, ribuan tentara dikirim ke barat untuk menyapu "gerombolan pemberontak". Dalam tiga pekan terakhir, 500 gerilyawan komunis dikabarkan terbunuh. Ini menambah jumlah korban gesekan komunis versus pemerintah yang meletup sejak 1996 menjadi 6.000 orang. Seperti tak puas dengan operasi di barat, tentara juga menggasak kantong-kantong komunis di wilayah timur. "Tak ada kompromi bagi pemberontakan," kata Menteri Pertahanan P.K. Acharya. Langkah keras Kathmandu kali ini tak bisa lagi dibendung parlemen. Padahal, persis se-tahun lalu para wakil rakyat telah menolak niat pemerintah "melayani" kekerasan komunis. Ketika itu, Perdana Menteri Girija Prasad Koirala berniat melatih dan mempersejantai 15 ribu milisi sukarela untuk melawan "kegilaan" gerilyawan komunis. Tapi parlemen khawatir mobilisasi masa ini justru akan menyulut perang saudara. Dibandingkan dengan penduduk yang berjumlah hampir 25 juta orang, jumlah pejuang komunisme tidaklah besar. Para pejabat di Kathmandu menaksir, jumlah penganut ajaran Mao ini tak sampai 10 ribu orang. Mereka hanya menguasai enam dari 75 distrik, terutama di desa-desa di pegunungan yang jauh dari kontrol ibu kota. Namun, di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang carut-marut, bibit komunisme tumbuh subur. Nepal, negeri yang hidupnya bergantung pada industri wisata dan bantuan luar negeri, belakangan ini juga terjangkit penyakit dunia ketiga: angka kejahatan memuncak, korupsi merajalela, perdagangan macet, dan kemelaratan (terutama di kalangan perempuan) membengkak. Sekitar 40 persen penduduk bertahan hidup hanya dengan pendapatan kurang dari US$ 1 (Rp 10 ribu) sehari. Tak mengherankan jika perlawanan gerilyawan komunis kian terang-terangan. Di Kathmandu, mereka tak segan-segan mengebom rumah pejabat, polisi, atau jaksa. Mereka juga memeras para pengusaha dengan semacam pajak rakyat sebagai "ongkos keamanan." Di desa-desa mereka menggertak pejabat dan memaksa politisi lokal terbirit-birit masuk kota. Tuntutan kaum Mao ini jelas: mengganti pemerintahan monarki-parlementer dengan sistem republik-komunis. Jika melihat akar masalahnya, pemerintahan Kathmandu akan sulit melawan gerakan komunisme dengan gaya koboi. Anggaran ekstra US$ 40 juta (Rp 400 miliar) untuk peralatan militer yang ditetapkan Februari lalu juga tak akan menolong. Jutaan kaum papa yang hidup lapar tanpa pekerjaan, tanpa listrik, tanpa pendidikan, dan tanpa harapan mustahil dibungkam dengan todongan moncong senjata. Setiyardi, dari pelbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus