Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ukraina menolak usulan gencatan senjata yang dilontarkan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Jumat. Kyiv menyebut usulan itu “manipulatif” dan “tidak masuk akal.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Luar Negeri Ukraina menyebut rencana Putin “manipulatif”, “tidak masuk akal” dan dirancang untuk “menyesatkan komunitas internasional, melemahkan upaya diplomatik yang bertujuan mencapai perdamaian yang adil, dan memecah kesatuan mayoritas dunia berdasarkan tujuan dan prinsip Piagam PBB.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mykhailo Podolyak, penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, mengatakan di media sosial bahwa tidak ada hal baru dalam usulan Putin. Pemimpin Rusia tersebut, menurut dia, “hanya menyuarakan ‘standar agresor’, yang sudah sering terdengar.”
“Tidak ada hal baru dalam hal ini, tidak ada usulan perdamaian nyata dan tidak ada keinginan untuk mengakhiri perang. Namun ada keinginan untuk tidak membayar perang ini dan melanjutkannya dalam format baru. Itu semua palsu,” tulis Podolyak di X.
Putin berjanji “segera” memerintahkan gencatan senjata di Ukraina dan memulai negosiasi, jika Kyiv mulai menarik pasukan dari empat wilayah yang dianeksasi oleh Moskow pada 2022 dan membatalkan rencana untuk bergabung dengan NATO.
Putin mengatakan bahwa jika “ibu kota Kiev dan negara-negara Barat” menolak tawarannya, “itu adalah urusan mereka, tanggung jawab politik dan moral mereka untuk melanjutkan pertumpahan darah.”
Usulannya disampaikan dalam pidatonya di Kementerian Luar Negeri Rusia dan ditujukan pada apa yang disebutnya sebagai “resolusi akhir” konflik tersebut, bukan “membekukannya”, dan menekankan bahwa Kremlin “siap untuk memulai negosiasi tanpa penundaan.”
Tuntutan perdamaian yang lebih luas yang diajukan Putin mencakup pengakuan Ukraina atas Krimea sebagai bagian dari Rusia, mempertahankan status non-nuklir negara tersebut, membatasi kekuatan militernya, dan melindungi kepentingan penduduk berbahasa Rusia.
Semua ini harus menjadi bagian dari “perjanjian internasional yang mendasar,” dan semua sanksi Barat terhadap Rusia harus dicabut, kata Putin.
“Kami mendesak untuk membalik halaman sejarah yang tragis ini dan mulai memulihkan, selangkah demi selangkah, persatuan antara Rusia dan Ukraina dan Eropa secara umum,” katanya.
Pernyataan Putin, yang disampaikan kepada sekelompok pejabat Kementerian Luar Negeri, merupakan peristiwa langka. Sebab, ia secara jelas memaparkan syarat-syaratnya untuk mengakhiri perang di Ukraina, namun tidak mencakup tuntutan baru apa pun.
Kremlin telah mengatakan sebelumnya bahwa Kyiv harus mengakui perolehan teritorialnya dan membatalkan upayanya untuk bergabung dengan NATO.
Pernyataan Putin muncul ketika Swiss bersiap menjadi tuan rumah bagi sejumlah pemimpin dunia – namun tidak termasuk Moskow – pada akhir pekan ini untuk mencoba memetakan langkah pertama menuju perdamaian di Ukraina.
Pertemuan tersebut juga bertepatan dengan pertemuan para pemimpin Kelompok Tujuh (G7) negara-negara industri terkemuka di Italia. Amerika Serikat dan Ukraina pada pekan ini juga menandatangani perjanjian keamanan 10 tahun yang dikecam oleh para pejabat Rusia, termasuk Putin, sebagai “batal demi hukum.”
Putin mengecam konferensi Swiss tersebut sebagai “sekadar taktik untuk mengalihkan perhatian semua orang, membalikkan sebab dan akibat krisis Ukraina (dan) mengarahkan diskusi ke jalur yang salah.”
Selain ingin bergabung dengan NATO, Ukraina menuntut agar Rusia menarik pasukannya dari seluruh wilayahnya. Ini termasuk Semenanjung Krimea yang dianeksasi secara ilegal pada 2014, memulihkan integritas wilayahnya, meminta pertanggungjawaban Rusia atas kejahatan perang dan membayar ganti rugi kepada Kyiv.
Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022. Setelah pasukan Ukraina menggagalkan upaya Rusia ke ibu kota, sebagian besar pertempuran terfokus di selatan dan timur – dan Rusia secara ilegal mencaplok wilayah di timur dan selatan, meskipun tidak sepenuhnya mengendalikan salah satu dari mereka.
Menteri Pertahanan Amerika Lloyd Austin mengatakan di markas besar NATO di Brussels bahwa Putin “telah secara ilegal menduduki wilayah kedaulatan Ukraina. Dia tidak dalam posisi untuk mendikte Ukraina apa yang harus mereka lakukan untuk mewujudkan perdamaian.”
Austin menambahkan bahwa Putin “memulai perang ini tanpa provokasi. Dia bisa mengakhirinya hari ini jika dia memilih untuk melakukan hal itu.”
Putin bersikeras bahwa Kyiv harus menarik diri dari keempat wilayah yang dianeksasi dan pada dasarnya menyerahkan wilayah tersebut ke Moskow dalam batas administratif mereka.
Di Zaporizhzhia di tenggara, Rusia masih belum menguasai ibu kota administratif wilayah tersebut dengan populasi sebelum perang sekitar 700.000 jiwa. Sementara di wilayah tetangga Kherson, Moskow menarik diri dari kota terbesar dan ibu kota Kherson dengan nama yang sama pada November 2022.
Sepanjang perang, Kremlin telah berulang kali menyatakan kesiapannya untuk melakukan pembicaraan damai dengan Kyiv dan menyalahkan Barat karena melemahkan upaya mereka untuk mengakhiri konflik.
Putin mengklaim bahwa pasukannya tidak pernah bermaksud menyerbu ibu kota Ukraina, Kyiv, meskipun mereka mendekati kota tersebut.
“Intinya, itu tidak lain adalah operasi untuk memaksa rezim Ukraina melakukan perdamaian. Pasukan berada di sana untuk mendorong pihak Ukraina agar bernegosiasi, mencoba dan menemukan solusi yang dapat diterima,” katanya.
Moskow menarik diri dari Kyiv pada Maret 2022 dan menggambarkannya sebagai isyarat niat baik ketika perundingan damai antara keduanya dimulai. Namun penarikan diri tersebut terjadi di tengah perlawanan sengit Ukraina yang secara signifikan memperlambat kemajuan Rusia di medan perang.
Pilihan Editor: Putin Bersedia Gencatan Senjata dengan Ukraina, Asalkan Kyiv Tarik Pasukan dari 4 Wilayah
FRANCE24 | REUTERS