MEMANG terdengar aneh, bagi orang luar. Sebuah rencana
perdamaian ditawarkan. Sebuah pengakuan kepada Israel
disiratkan. Tapi negeri itu seolah menghadapi suatu krisis.
Enam anggota Knesset, parlemen Israel, yang terdiri dari partai
oposisi (Partai Buruh) dan-partai pemerintah (Likud), dengan
cepat terbang ke Washington. Mereka mencoba meyakinkan, agar
pemerintah AS tak terbujuk untuk menyokong Rencana Fahd. Di
antara pasang surut hubungan antara kedua negeri itu, Israel toh
tahu: tanpa dukungan AS, Israel akan terpojok secara
diplomatik--meskipun secara militer negeri itu masih bisa
mengalahkan kekuatan Arab yang mana pun.
Dan sejak A.S memutuskan untuk menjual pesawat AWACS kepada
Saudi, Israel nampak kian belingsatan. "Saya masih cemas," kata
Chaim Herzog, anggota Knesset dari partai oposisi. Ia melihat AS
sedang cenderung pro-Saudi. Apalagi Presiden Reagan sendiri
menilai ada sesuatu yang positif pada gagasan Pangeran Fahd.
Bagi Israel, Arab Saudi bukanlah negeri "moderat" seperti yang
biasa disebut orang Barat. Scbagai penyokong PLO secara
finansial, Saudi dianggap ikut menyebarkan teror di pelbagai
tempat. Dua pekan lalu Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon
bahkan menyatakan secara terbuka bahwa Arab Saudi adalah "negara
konfrontasi".
Para pejabat di Departemen Pertahanan Israel menyebut
tanda-tandanya: Arab Saudi meningkatkan basis dan lapangan
terbang militernya di Tabuk, 200 km dari Eliat, kota terselatan
Israel di tepi Teluk Aqaba. Instalasi ini terlalu jauh dari
daerah Teluk Parsi atau pun dari tetangga Saudi yang uk
bersahabat, Yaman Selatan. Dugaan Israel: semua ditodongkan ke
dirinya.
Sebab itulah Israel kesal terhadap sikap AS. yang pernah
memintanya agar menghentikan penerbangan pengintaian ke wilayah
Saudi. AS juga menolak memberi Israel, demikian ditulis
Jerusalem Post pekan lalu, foto-foto satelit AS tentang wilayah
Arab itu.
Tak dilebih-lebihkankah kegemparan Jerusalem itu? Bagi sebagian
orang di luar, memang demikian. Seorang pejabat Departemen Luar
Negeri Inggris menyebut bahwa tiap kali ada isyarat ramah AS ke
negeri Arab, Israel pun berteriak "pembunuhan !"
Sebaliknya Israel melihat simpati Barat kepada usul Fahd
sekarang ini sebagai suatu sikap plin-plan. Chaim Herzog
misalnya menyebut bahwa Januari 1976 ada usul yang mirip,
dimajukan oleh sejumlah negara Dunia Ketiga, termasuk Guinea,
Pakistan dan Tanzania, sebagai rencanaresolusi di Dewan
Keamanan PBB. Pada perdebatan, AS memveto resolusi itu. Inggris
abstain.
Padahal, kata Herzog, "resolusi itu lebih moderat ketimbang
rencana Fahd." Yang diserukan hanya berdirinya negara Palestina,
tanpa menyebut Jelusalem sebagai ibukotanya. Jaminan bagi hak
negara-negara di wilayah tersebut untuk hidup dalam damai dan
"dalam batas yang aman serta diakui", bagi Herzog dalam resolusi
itu bahkan lebih tegas ketimbang yahg disarankan Fahd.
Maka kenapa terhadap usul Fahd Inggris kini cukup bersemangat,
dan Presiden Reagan menyebutnya sebagai "suatu tanda yang
berpengharapan"? Jawabannya mungkin karena proses perdamaian di
Timur Tengah memerlukan desakan baru. Di samping dan setelah
perjanjian Camp David antara Israel dan Mesir, langkah
selanjutnya perlu disiapkan.
Tapi memang belum pasti benar, akan bersediakah Israel
mengadakan semacam Camp David baru di luar dengan Mesir. Akibat
Camp David, ia harus mengembalikan Sinai dan Gaza--suatu wilayah
besar Mesir yang direbutnya setelah kemenangan dalam Perang
1967. Jika semula wilayah Arab yang kini dikuasainya harus
kembali, Israel akan kembali menciut. Secara ekonomis maupun
militer hal itu tak menguntungkannya.
"Batas-batas sebelum 1967," kata Mentcri Luar Negeri Yitzhak
Shamir dalam suatu wawancara dengan koresponden TEMPO, "tak
dapat untuk bertahan."
Jarak antara batas barat bagian tengah Israel (Laut Tengah)
dengan batas timurnya (wilayah Tepi Barat Sungai Jordan) cuma 12
km. Di utara, dari dataran tinggi Gholan, melintasi Danau
Galilea, sejumlah dusun Israel dengan mudah ditembaki.
Tambahan lagi sudah pasti: siapa pun di Israel tak akan mau
mengembalikan Jerusalem Timur ke kekuasaan Arab. Bagi mereka
erusalem tak bisa dipisahkan. Bagian barat kota itu, tempat
Knesset dan kantor perdana menteri, sudah scjak 1948 merupakan
wilayah mereka.
Rencana Fahd dengan demikian memang bisa dilihat sebagai
ancaman. Tapi tak berarti semua orang Israel tak melihat sesuatu
titik terang di sana. Yitzhak Berman, misalnya, menteri energi,
mengatakan usul Fahd "suatu perkembangan yang menarik." Usul itu
menyisihkan pengertian "sifat mistis dan religius" persengketaan
Arab-Israel. Dengan demikian konflik itu menjadi hanya "sengketa
tentang perbatasan". Di situ, kata Berman, "ia dapat membuka
diri ke arah penyelesaian".
Optimisme semacam itu pun suatu perkembangan yang menarik. Tapi
permusuhan Arab-Israel bisa juga ternyata suatu soal dunia yang
tak akan terpecahkan--sampai meletus perang yang lebih dahsyat
dan siapa pun merugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini