Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA anggota delegasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) baru mendarat di Karachi, Pakistan, Selasa, 28 Mei lalu. Mereka memenuhi permintaan Asisten Khusus Perdana Menteri untuk Kesehatan Nasional Zafar Mirza agar segera mengirim tim ahli ke wilayahnya yang terkena wabah virus imunodefisiensi manusia (HIV). Mirza juga meminta WHO memasok 50 ribu alat diagnosis HIV.
Tanda-tanda wabah itu muncul pertama kali di Ratodero, kawasan miskin di Dis-trik Larkana, Provinsi Sindh, Februari lalu. Beberapa orang tua membawa anak-anak mereka ke klinik dokter anak Mu-zaffar Ghangharo karena demam ber-ke-panjangan. Tapi putra-putri mereka ter-nyata tak kunjung sembuh setelah diobati.
Pada akhir April, sebagian orang tua itu mencoba mencari pendapat lain dengan membawa anak-anak ke rumah sakit di Lar-kana tempat dokter Imran Arbani ber-praktik. Arbani heran akan kasus ini dan kemudian mengirim sampel darah anak-anak itu untuk diperiksa lebih lanjut. Ha-silnya mengejutkan: salah satu anak positif terkena HIV.
HIV adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh. Fase terparahnya dikenal sebagai sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS). Tidak seperti virus lain, tubuh tak dapat membersihkan HIV sepenuhnya meskipun dengan pengobatan. Demam berkelanjutan dalam waktu lama adalah salah satu gejalanya.
Kurang dari sebulan, 14 anak dipastikan tertular HIV. Usianya antara dua bulan dan delapan tahun. “Pada 24 April, 15 anak terbukti positif, meski tak satu pun orang tua mereka diketahui membawa virus itu,” kata Arbani kepada BBC.
Wabah pun melanda kota itu. De-par-temen Kesehatan Provinsi Sindh segera mendirikan sebuah kamp khusus di Rumah Sakit Chandka Larkana, yang mem-berikan tes HIV gratis kepada penduduk. Masyarakat pun berbondong-bondong ke sana, termasuk Sanam, ibu 17 tahun dari Ratodero.
Bayi Sanam, yang baru berusia setahun, dinyatakan terjangkit HIV sehingga Sanam buru-buru ke kamp itu untuk dites juga apakah dia terinfeksi atau tidak karena dia juga sedang menyusui anaknya yang lain, bayi dua tahun. Dia kemudian mendapat se--lembar kertas hasil tes. Di situ tertulis “N”, tapi dia tak mengerti itu berarti “negatif”.
Najma, ibu lain yang datang ke rumah sakit di Larkana, mengaku telah membawa pu-trinya yang berusia lima tahun yang terus-menerus mengalami demam ke be--berapa dokter. Tetangganya kemudian me--nyebutkan putrinya mungkin terinfeksi HIV dan harus dipisahkan dari anak-anak lain. Najma memisahkan putrinya dari anak-anaknya yang lain selama sepekan sam-pai dia dapat memeriksakannya ke kamp itu. Hari itu, putrinya dites dan hasil-nya menunjukkan tak ada kandungan virus.
Menurut Kementerian Kesehatan Pa-kistan, hingga Senin, 20 Mei lalu, lebih dari 10 ribu anak-anak dan orang dewasa telah dites. Hasilnya, 607 orang tertular HIV dengan 494 di antaranya anak-anak. Kebanyakan dari orang tua anak-anak itu justru bebas dari HIV.
Angka ini terus bertambah. Hingga akhir Mei lalu, 700 orang telah dipastikan terjangkit HIV. Sebanyak 576 di antaranya ada-lah anak-anak dan sisanya orang de-wasa. Wabah itu berpusat di Larkana. Tak ada yang tahu mengapa wabah itu terjadi.
Namun ini bukan wabah HIV pertama di Larkana. Wabah serupa pecah pada 2016. Menurut Program Pengendalian AIDS Sindh (SACP), saat itu 1.521 orang ditemukan positif terkena HIV. Kebanyakan adalah laki-laki dan penyebabnya hubungan de--ngan pekerja seks yang terutama trans-gender dan 32 di antaranya ditemukan membawa virus AIDS. Temuan ini memicu penggerebekan besar-besaran terhadap peng-inapan wisatawan di Larkana, tempat para pekerja seks dapat bekerja secara relatif bebas meskipun prostitusi dilarang di Pakistan.
Fatima Mir, dokter spesialis AIDS anak di Aga Khan University Hospital, menjadi salah satu relawan di Ratodero. Dia menilai kelalaian dalam praktik medis adalah hal yang paling mungkin memicu wabah pada 2016.
“Ada tiga cara anak-anak itu terinfeksi,” tuturnya seperti dikutip BBC. “Entah me--lalui ibu menyusui yang membawa virus, transfusi darah, entah alat bedah yang terinfeksi atau jarum suntik.”
Dalam banyak kasus di Ratodero yang Mir tangani, hasil tes para ibu ditemukan negatif dan sedikit anak-anak yang pernah mendapat transfusi darah. Jadi, menurut dia, satu-satunya penjelasan adalah virus menyebar melalui penggunaan jarum suntik di klinik lokal.
Pemerintah rupanya sejalan dengan pendapat itu. Polisi menangkap Muzaffar Ghangharo, dokter yang pertama kali me--meriksa anak-anak itu, dengan dakwaan telah menyebarkan virus HIV lewat jarum suntik kepada 42 pasien di kliniknya se--bagai balas dendam.
Tapi Ghangharo mengaku tak menderita HIV. Dia punya surat keterangan hasil tes pada 2016 yang menyatakan bahwa ia bebas dari HIV/AIDS. Dia juga menolak dites HIV karena mengklaim tak punya tanda-tanda penyakit itu.
Pada Kamis, 23 Mei lalu, pengadilan mem-bebaskan Ghangharo dari tuduhan tersebut. “Kami menemukan Ghangharo tidak sengaja menyuntik pasiennya dengan HIV, tapi lebih karena dia tidak cukup mengambil langkah pencegahan agar tak menyebar,” kata Senior Superintenden Masood Ahmed Bangash. Dia masuk tim investigasi gabungan yang dibentuk Deputi Inspektur Jenderal Kepolisian Larkana Irfan Baloch.
Bangash membantah tudingan bahwa Ghangharo cuma kambing hitam dari kegagalan polisi menemukan penyebab wabah ini. “Jika harus menjebaknya atau membuatnya tampak seperti satu-satunya penjahat di sini, kami bisa saja mengklaim bahwa dia melakukan itu dengan sengaja,” ucapnya seperti dikutip stasiun televisi Samaa.
Asad Memon, pemimpin SACP di Lar-kana, menduga wabah ini terjadi karena praktik pekerja medis lokal yang tak higienis. “Saya pikir virus itu dibawa oleh ang-gota kelompok berisiko tinggi (trans-gender serta perempuan pekerja seks) dan kemudian kelalaian ‘tabib’ lokal me-nye-bab-kannya menginfeksi pasien lain,” ujarnya.
Para “tabib” yang ia maksudkan adalah orang-orang berkualifikasi rendah yang melakukan praktik medis, dari paramedis yang membuka klinik swasta dengan me--nyamar sebagai dokter hingga lulusan kedokteran yang tidak memiliki izin praktik.
Di Pakistan, terutama di perdesaan, ma-syarakat lebih sering datang ke para tabib ini daripada dokter sungguhan karena lebih murah, lebih tersedia, dan punya waktu lebih banyak bagi para pasien.
Menteri Kesehatan Provinsi Sindh Azra Fazal Pechuho memerintahkan peng-ge-rebekan terhadap klinik para tabib itu. Kementerian mengklaim telah menutup 500 klinik tak berizin di provinsi tersebut. Tapi Pechuho mengakui bahwa Rumah Sakit Chandka belum menyediakan fa-silitas medis yang memadai untuk para kor-ban wabah.
Adapun Masood Ahmed Bangash telah menggelar pertemuan dengan sejumlah orang transgender di Larkana dan mem-bujuk mereka menjalani uji HIV juga. Menurut Bangash, proses pendaftaran se-dang berjalan dan mereka dijanjikan mendapat 4.000 rupee atau sekitar Rp 380 ribu per bulan di samping latihan ke-te-rampilan agar dapat bekerja di bidang lain.
Persoalannya, sekali terkena HIV, se-seorang akan hidup selamanya dengan virus tersebut. Yang lebih buruk, ke-ba-nyakan penduduk Ratodero miskin se-hingga keberatan menanggung biaya perawatan.
“Obat-obatan untuk orang dewasa bia-sanya tersedia di Larkana. Tapi, untuk obat-obatan anak, kami harus pergi ke Karachi, yang berarti harus menghabiskan beberapa ribu rupee dalam setiap perjalanan,” tutur seorang ibu yang putrinya, 3 tahun, didiagnosis positif terjangkit HIV. “Suami saya hanya buruh harian, jadi kami tidak akan mampu membiayai lama-lama.”
IWAN KURNIAWAN (BBC, ARY NEWS, SAMAA, THE NEWS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo