Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Restu Raja untuk Junta

Raja baru Thailand berhubungan erat dengan junta militer. Memperkuat pengaruh politik.

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn memberikan pidato pertamanya sebagai raja di Suddhaisavarya Prasad Hall, Bangkok, 6 Mei 2019. Reuters/Jorge Silva

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Jenderal Preecha Chan-o-cha menggapai Senat berjalan mulus. Berkat restu dari Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, adik kandung Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha itu dan 249 kandidat lain yang ditunjuk junta militer telah menyandang jabatan baru sebagai senator.

Lebih dari sepertiga calon senator yang disodorkan junta kental dengan unsur militer. Preecha adalah satu dari 105 senator yang memiliki latar belakang perwira militer dan polisi, termasuk di dalamnya 66 jenderal Angkatan Darat. Tokoh militer lain adalah Laksamana Sitthawat Wongsuwon, adik kandung Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Prawit Wongsuwon.

Selain figur militer, sebanyak 15 orang bekas menteri kabinet Prayut melenggang ke Senat setelah mendapat persetujuan Raja Vajiralongkorn, Selasa, 14 Mei lalu. Banyak dari mereka pensiunan jenderal yang mengundurkan diri sebagai menteri sepekan sebelumnya agar bisa ditunjuk menjadi senator. Tapi ada pula kandidat senator yang dulu eksekutif perusahaan pelat merah, seperti Daonoi Suttiniphapunt, mantan Direktur Pelaksana Thailand Tobacco Monopoly.

Seperti para senator lain, tugas utama Daonoi mendukung Prayut agar terpilih kembali sebagai perdana menteri. “Sekarang Thailand masih membutuhkan kepemimpinan seorang prajurit,” katanya kepada The Straits Times. “Mungkin setelah lima tahun kami akan aman dari konflik politik.”

Bagi Prayut, restu dari Raja Vajiralongkorn sangat penting untuk membuatnya tetap berkuasa. Sebab, Senat bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih di Parlemen memainkan peran krusial dalam menentukan perdana menteri. Berdasarkan konstitusi selepas kudeta yang dirancang junta pada 2017, perdana menteri dipilih oleh mayoritas dari 250 senator ditambah 500 legislator.

Begitu Raja menyetujui semua calon senator pilihan junta, Prayut telah berhasil mengamankan lebih dari separuh suara yang diperlukannya untuk kembali menjabat perdana menteri. “Tidak dapat disangkal bahwa Senat menjadi alat untuk memperluas kekuatan junta,” tutur Piyabutr Saengkanokkul dari Partai Future Forward, yang menentang rezim militer terus berkuasa.

Politik Thailand terus bergerak mengikuti garis kekuasaan monarki. Sejak dinobatkan menjadi raja baru Thailand, 4 Mei lalu, Maha Vajiralongkorn langsung mewarnai pemerintahan. Sepuluh hari sesudah mengesahkan 250 kandidat senator yang ditunjuk junta, pria 66 tahun itu bersama istri barunya, Ratu Suthida Bajrasudhabimalalakshana, memimpin upacara pembukaan untuk anggota Parlemen baru.

Dalam pidatonya selama lima menit, putra mendiang Raja Bhumibol Adulyadej ini berpesan kepada semua wakil rakyat yang mendengarkannya dengan khidmat. “Semoga anggota Parlemen menyadari- pentingnya tanggung jawab dalam tugas mereka. Sebab, tindakan setiap anggota akan berdampak langsung pada keamanan bangsa dan kebahagiaan rakyat,” ucap Vajiralongkorn.

Ini Parlemen pertama yang terbentuk di negeri itu sejak militer pimpinan Prayut Chan-o-cha merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Yingluck Shinawatra dalam kudeta pada 2014. Rakyat Thailand kembali dapat mengikuti pesta demokrasi pada 24 Maret lalu setelah lima tahun di bawah kendali rezim militer yang represif dan beberapa kali pemilihan umum ditunda.

Vajiralongkorn mulai unjuk gigi awal Februari lalu, ketika Partai Thai Raksa Chart mengajukan kakak sulungnya, Putri Ubolratana Rajakanya, sebagai calon perdana menteri. Vajiralongkorn mengintervensi jalannya pemilu dengan memveto pencalonan sang kakak. Thai Raksa Chart berafiliasi dengan kakak Yingluck, Thaksin Shinawatra, yang menjadi rival junta militer.

Pelarangan itu merupakan langkah Vajiralongkorn yang paling kentara sejak dia naik takhta setelah kematian ayahnya pada akhir 2016. “Veto Raja atas pencalonan saudaranya untuk menjadi perdana menteri adalah isyarat penting tentang siapa yang memegang kartu utama dalam politik Thailand,” tulis South China Morning Post.

Lahir pada 28 Juli 1952, Vajiralongkorn adalah anak kedua dari empat bersaudara keturunan Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit sekaligus satu-satunya putra mereka. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Thailand, ia dididik di sekolah-sekolah swasta di Inggris dan Australia sebelum kuliah di Royal Military College, Duntroon, di Canberra, Australia. Vajiralongkorn mendapat gelar sarjana dalam studi militer dari University of New South Wales, Australia.

Menurut biografi resmi kerajaan, Vajiralongkorn tercatat sebagai pilot helikopter dan pesawat tempur yang terlatih serta pernah bertugas sebagai perwira karier di Angkatan Darat Kerajaan Thailand, tempat ia menyaksikan aksi melawan pemberontak komunis di negaranya pada 1970-an. Sebagai raja, pria bergelar Rama X dari Dinasti Chakri ini sekarang panglima tertinggi angkatan bersenjata.

Saat berusia 20 tahun, Vajiralongkorn diangkat menjadi putra mahkota oleh ayahnya. Namun dia dikenal publik sebagai “Pangeran Buaya Darat” setelah tiga pernikahannya gagal dengan beragam skandal. Dia kerap memicu kontroversi antara lain lantaran beberapa kali tertangkap kamera tengah berjalan-jalan di luar negeri, dengan badan penuh tato, dan menggendong anjing pudel.

Vajiralongkorn telah mencengkeram urusan istana sejak sebelum ayahnya wafat. Dia mencopot orang kepercayaan ayahnya, Jenderal Prem Tinsulanonda, dan menggantinya dengan anak buahnya sendiri. Dengan begitu, ia mengebiri Dewan Penasihat Kerajaan, lembaga yang dipimpin Prem dan memegang kekuatan monarki selama periode Bhumibol. Prem, 98 tahun, yang pernah menjabat kepala militer dan perdana menteri, meninggal pada 26 Mei lalu.

Keputusan Vajiralongkorn itu dianggap tidak hanya didasari ketidaksukaannya terhadap Prem, yang kerap mempertanyakan keabsahannya sebagai calon raja karena reputasinya yang negatif. Dengan mencopot Prem, dia ingin mengambil alih kekuatan luar biasa Dewan Penasihat, yang mengendalikan tentara. “Secara politis, Raja telah merebut kembali kekuasaannya,” kata Kevin Hewison, peneliti senior Thailand dari University of North Carolina, Amerika Serikat, seperti dilansir situs Forces of Renewal for Southeast Asia.

Dengan dukungan junta, Vajiralongkorn memperkukuh pengaruh politiknya segera setelah menjadi raja. Dia menolak meneken draf Konstitusi 2017 yang dirancang junta sampai ada perubahan pada ketentuan yang menyangkut otoritas raja. Negosiasinya dengan junta tersebut berbuah manis. Sesudah berhasil mengotak-atik konstitusi baru itu, Raja Vajiralongkorn, misalnya, bisa lebih mudah memerintah kerajaan dari belahan bumi yang jauh.

Pada Juli 2017, majelis legislatif yang ditunjuk junta militer mengubah undang-undang tahun 1936 untuk memberi raja kendali penuh atas Biro Properti Mahkota, yang mengelola aset kerajaan bernilai miliaran dolar dan sebelumnya berada di bawah pengawasan Kementerian Keuangan. Kekayaan Biro Properti Mahkota tak diketahui persis, tapi majalah Forbes pernah menaksir kepemilikan Biro atas aset berupa real estate dan investasi lain bernilai lebih dari US$ 30 miliar pada 2012.

Raja juga mengambil alih sejumlah gedung publik utama di Bangkok, dari Kebun Binatang Dusit hingga trek balap kuda Nang Loeng. Keduanya terletak dalam radius dekat istana kerajaan. “Vajiralongkorn telah mengkonsolidasikan kekuasaannya baik secara politik maupun finansial,” tulis -Forces of Renewal for Southeast Asia. Ini pertama kalinya sejak 1932, saat terbentuk rezim monarki konstitusional, raja baru Thailand memegang kekuasaan formal yang lebih kuat daripada para pendahulunya.

Maka, saat terjadi kudeta tidak berdarah yang dipimpin Prayut Chan-o-cha pada 2014, Vajiralongkorn, yang kala itu masih menjadi perwira militer, tidak pernah mengutuk penggulingan pemerintah terpilih Yingluck Shinawatra. Dia juga bergeming ketika junta berkali-kali menunda pemilu. Dengan perlindungan undang-undang lese-majeste, yang melarang kritik terhadap keluarga kerajaan, Vajiralongkorn dapat leluasa bermanuver untuk terus menyokong junta militer meski itu tak gratis.

MAHARDIKA SATRIA HADI (REUTERS, BANGKOK POST, ASIA TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus