RASISME tak bisa mati hanya karena pernyataan. Sekitar sebulan lalu, di Ankara, Kanselir Helmut Kohl berkata, rasisme di Jerman hampir lenyap. Tapi, Sabtu dua pekan lalu, di Solingen, sebuah rumah menyala: empat orang Turki menjadi korban asap dan api, dan seorang lagi tewas karena meloncat dari jendela. Dan ini bukan peristiwa kriminalitas biasa, karena Reha, pelakunya, sebelum membakar rumah orang Turki itu berseru, ''Heil Hitler.'' Ia memang mabuk, tapi cukup sadar untuk membakar rumah tetangganya itu. Buntut perbuatan ini panjang. Sampai pemerintah Turki sendiri minta agar Jerman melindungi imigran Turki. Dan Sabtu pekan lalu, demonstrasi marak di sejumlah kota di Jerman: Solingen, Hattingen, Frankfurt, dan lain-lain. Ribuan orang Turki dan simpatisannya minta agar pemerintah Jerman melindungi mereka. ''Imigran manusia juga, bukan binatang buruan,'' kata seorang Turki. Tak mudah memenuhi permintaan itu. Tahun lalu, misalnya, tiga partai Nazi terbesar dibubarkan. Ternyata, semangat nasionalisme sempit itu terus hidup. Kata orang, memberantas rasisme tak seperti mematikan nyala lilin: sekali tiup, padam. Dan mencegah aksi rasisme tidak mudah, karena pihak keamanan tak bisa menjaga satu per satu rumah imigran Turki di Jerman, serta imigran Asia Afrika yang lain, secara terus-menerus. Orang lalu menilai, pemerintah Jerman tak serius menangani neo- Nazi. Misalnya, pejabat tinggi Jerman jarang yang mau menengok tempat kejadian dan korban. Ada yang bilang, para ''orang tua'' itu tak mengutuk neo-Nazi dengan keras karena mereka anak-anak ''orang tua'' itu sendiri. Memang, hampir semua pelaku rasisme berusia antara 14 tahun dan 20 tahun. Dan mereka umumnya menjalin hubungan lewat banyak kegiatan, dari sekadar kumpul-kumpul sambil minum sampai menerbitkan buletin khusus. Kaset lagu dan video tentang neo-Nazi bisa ditemukan dengan mudah. Ini menjadi tali pengikat 40.000 pengikut neo-Nazi. Semangat mereka makin terpelihara karena mendapat tempat di jaringan televisi tertentu. Badan intelijen Jerman memperkirakan, sekitar 50 kelompok band di Jerman menyanyikan lagu anti-orang asing, dan mereka mendapat tempat dalam acara televisi swasta bertema ''Bersama Hitler ke Puncak Pop dan Rock''. Itulah faktor intern yang membuat semangat warisan Hitler tetap hidup. Faktor eksternnya sudah banyak dikatakan adalah kesulitan ekonomi. Jerman, yang semula sengaja mengundang para imigran Asia atau Afrika, kini mengalami kesulitan ekonomi, ditambah banyaknya penganggur, antara lain karena memang berduyunnya imigran mencari pekerjaan. Maka, tak aneh anak-anak muda Jerman berang: mereka harus berebut kesempatan kerja dengan ''orang asing''. Tapi, di samping itu semua, faktor yang tak terlihatlah, menurut sebuah analisa, tampaknya yang menjadi sumber utama tak mati-matinya nasionalisme sempit ini. Yakni kesalahpahaman penafsiran generasi muda atas nasionalisme Nazi. Soalnya, generasi tua Jerman, seperti generasi tua di Jepang, berusaha menghapus sejarah tersebut tanpa menceritakan secara detail gerakan Nazi. Faktor-faktor itu pun lalu saling berkait. Ketika generasi muda harus mencari kambing hitam pengangguran, sampailah mereka pada masalah imigran. Dan untuk menghalalkan pengganyangan terhadap imigran, kembalilah mereka pada nasionalisme sempit itu. LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini