Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Sangkuriang memburu cinta

Cerita klasik sangkuriang dipentaskan di bandung. eksperimen baru yang didominasi musik ini baru setingkat opera. tarinya belum menjanjikan harapan.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CINTA pertama buat seorang pemuda bisa membuat gelap mata. Bagi Sangkuriang, tokoh legendaris Sunda, cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi, rupanya tak lekang oleh waktu dan tempat. Maka, pemuda sakti itu terus melacak, sekaligus menguji eksistensi cintanya, malam Minggu dan Senin kemarin, di teater tertutup Taman Budaya di Bandung. Sangkuriang menembus waktu hingga tahun 2020. Apa yang didapatkannya di tengah gemuruh musik dangdut dan diskotek, yang berbaur dengan asap pabrik plus limbah industri? Ia cuma menemukan cinta palsu yang gampang dibeli. Dan itulah yang dikemas dalam pergelaran kolosal Opera Sangkuriang 2020, dimainkan oleh kelompok Saichwan Art Production. Malam itu panggung didominasi warna hitam. Di latar belakang dibentang lembaran kain putih bersegi empat melambangkan Gunung Tangkuban Perahu, yang memang identik dengan simbol legenda Sangkuriang. Tampak Sangkuriang bersetelan celana pangsi dan ikat hitam serta sandal terompah, dengan keris di pinggang. Ia menatap cakrawala, diiringi kecapi suling Sunda. Bersamaan dengan itu, di bagian lain tampak rekan Sangkuriang, siluman Guriang Tujuh. Keduanya tengah menggarap proyek yang disyaratkan oleh Dayang Sumbi bila Sangkuriang memang bermaksud memetik bunga cinta wanita yang awet muda itu: membendung Sungai Citarum dan membuat perahu dalam waktu semalam. Tapi apa mau dikata, proyek itu gagal. Dari sudut yang berlawanan, muncul Dayang Sumbi mengibarkan-ngibarkan selendang mayang putih untuk menggagalkan maksud putranya itu. Matahari terbit, dan Sangkuriang gagal. Yoseph Iskandar, penulis naskah dan sutradara, sengaja memenggal peralihan zaman dengan musik. Memasuki tahun 2020, pergelaran ditandai berbagai warna musik, rock, pop, dan dangdut, yang dimainkan oleh gabungan band dibantu barisan paduan suara. Babak berikutnya diawali dengan pukulan drum. Musik menggebrak dengan hiruk-pikuk. Sangkuriang memasuki tahun 2020. Ia berkelana mencari cinta sejati. Mulai dari pabrik tekstil, tempat para pekerja wanita, sampai ke diskotek, terminal para penyanyi dan pramuria. Di pabrik tekstil, lamarannya ditolak. Babak selanjutnya menggambarkan Sangkuriang memburu cinta di tempat-tempat hiburan. Celakanya, di sini pun sejumlah wanita di lingkungan modern itu menguliahi Sangkuriang: ''Di dunia ini tak ada cinta sejati. Cinta dapat dibeli.'' Namun, Sangkuriang tetap bermimpi tentang cinta sejatinya. Merasa dilecehkan, ia mencoba memamerkan karismanya. ''Akulah Sangkuriang, putra tunggal Dayang Sumbi. Hidupku tetap abadi, ada dalam Sasakala. Akulah Sangkuriang, pencari cinta sejati. Masih bujangan abadi. Calon istri yang kucari,'' teriaknya. Seorang penyanyi menyambutnya: ''Maaf, Sangkuriang, di sini tak ada cinta murni, cinta sejati. Yang ada cinta campuran. Asal sama-sama ngerti, ada uang ada cinta, tak ada uang pergi saja.'' Mendengar itu, Sangkuriang berang. Ditangkapnya penyanyi itu. Keduanya segera menari. Tiba-tiba, penyanyi itu terlepas dari tangannya. Sangkuriang kecewa, dan menyesal. Sementara konflik Sangkuriang dan penyanyi berkobar, tiba-tiba Yoseph Iskandar, si penulis naskah, memunculkan serombongan orang yang terdiri dari pengamen dan pengungsi yang mengenakan kostum warna-warni. Sambil beristirahat, mereka bercerita tentang Kota Bandung seraya melemparkan kritik dan sindiran. Misalnya, rumah mereka yang di perumnas dirombak menjadi mewah, tapi di tahun 2020 ini mereka tergusur karena di kawasan itu akan dibangun real estate dan lapangan golf. Opera ini diakhiri dengan adegan Sangkuriang mengajak Guriang Tujuh menenggelam-karamkan lagi pusat bumi Parahyangan. ''Sumbatlah Sanghyang Tikoro, bendunglah Sungai Citarum, letuskan kawah Kamojang,'' teriaknya. Tiba-tiba muncullah Dayang Sumbi mengenakan kain kebaya sambil melambaikan sutera mayang warna putih yang berkilatan cahaya. ''Tunggu, anakku, tahan amarah bahanamu.'' Namun, Sangkuriang menjawab, ''He, Ibunda, jangan lagi menipu. Jika tetap menolakku, sebaiknya Ibu pergi. Ibu jangan ngulur waktu, kecuali Ibu mau menerima lamaranku.'' Para penari bergerak lapis demi lapis, menarik kain putih dari dua arah, dan menggerak-gerakkannya, melukiskan air pasang bergelombang. Tangan-tangan mereka bermunculan di atas permukaan air, lalu lenyap tenggelam satu per satu. Dayang Sumbi terseret arus, dan dengan tenang ia tenggelam. Sangkuriang panik, turut tenggelam. ''Potret Sangkuriang ini tak lebih dari sosok tokoh yang mewakili tanda bencana alam. Sebagai tokoh alam, ia berhak menenggelamkan kembali Kota Bandung, sebab cintanya selalu kandas. Cintanya, yang sekaligus menggambarkan harkat kehidupan, karam di bising industri, terbakar di cerobong pabrik, tercemar limbah beracun,'' kata Yoseph, sang sutradara. Pergelaran ini sangat didominasi oleh musik. Praktis, formasi dan pola tariannya belum terlalu menjanjikan. Dengan kata lain, masih setingkat opera teater belaka. Tak mengherankan bila penampilan sekitar 90 menit itu menyisakan bekal kesal buat penonton. Beberapa penonton merasa jemu dengan adanya beberapa pengulangan lagu, sementara musiknya seperti tak mau mengalah terhadap vokal. Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus