Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Xanana Gusmao: "Timor Timur Bukan Republik Warung"

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap saat, yang ada di benak Jose Alexander "Kay Rala" Xanana Gusmao cuma satu: bagaimana membangun negara baru Timor Timur (Tim-Tim). Dengan bantuan Untaet—pemerintahan transisi di Tim-Tim yang dibentuk PBB Oktober lalu—Presiden Conselho Nacional Resistencia de Timorense (CNRT) atau Gerakan Perlawanan Nasional Rakyat Tim-Tim ini memang harus memulai dari nol. Tim-Tim belum punya perangkat hukum, administrasi pemerintahan, dan keperluan kenegaraan lainnya. Akibat kekerasan pasca-jajak pendapat Agustus 1999, infrastruktur kawasan itu luluh-lantak.

Bantuan internasional memang menyebabkan jantung kehidupan Tim-Tim berdenyut kembali. Pangan dan obat-obatan bagi para bekas pengungsi disediakan. Bangunan yang rusak diperbaiki. Di Dili, listrik, air, dan sebagian jaringan telepon sudah berfungsi. Angkutan kota dan taksi milik warga mulai berseliweran. Pasar Mercado hiruk-pikuk oleh aktivitas jual-beli dagangan dari perbatasan. Sekitar 3.000 warga Tim-Tim pun dipekerjakan sebagai staf lokal Untaet dan puluhan LSM asing.

Kehadiran PBB, betapapun pentingnya, yang terlalu lama juga tak diinginkan. "Sama saja dijajah lagi," kata Gil da Silva, 32 tahun, wartawan lokal yang pernah dipenjara rezim Orde Baru karena ikut demonstrasi menentang pembantaian Santa Cruz 1991. Cuma, kapan rakyat Tim-Tim bisa mandiri? Sekitar 80 persen dari 600 ribuan penduduk Tim-Tim masih mengandalkan uluran tangan orang lain. Lebih dari separuh warganya masih buta huruf dan tak berkeahlian. Xanana sendiri sadar akan kekurangan ini, tapi ia yakin waktu berpihak pada negerinya. "Pembangunan ini memang tak bisa sebentar," katanya kepada reporter TEMPO Wendi Ruky, yang menemuinya di markas CNRT di Dili pekan lalu, "Tapi kemerdekaan ini kan abadi."

Siang itu ia melahap makan siangnya—sepiring mi instan, tuna kaleng, dan sambal botol—sembari menjawab pertanyaan TEMPO. Dengan hanya mengenakan kaus berwarna putih bertuliskan Free Timor—kaus yang biasa dikenakan di penjara—dan jins berwarna pudar, pria 53 tahun ini bercerita mengenai rencana masa depan Tim-Tim. Berikut petikan wawancaranya.


Kehadiran Untaet dituding melahirkan "kolonialisme" gaya baru, apalagi karena ketergantungan pada mereka masih besar. Pendapat Anda?

Itu persepsi salah. Ada orang-orang yang maunya merdeka penuh sekarang. Tapi kami harus jujur. Pengalaman kami selama ini selalu sebagai provinsi, bukan sebagai negara. Wajar saja kami butuh arahan. Tak perlu ambisius dan terburu-buru. Semakin cepat Untaet pergi, semakin bagus. Tapi kapan, itu bergantung pada kemampuan kami sendiri.

Berapa lama masa transisi di bawah Untaet berlangsung?

Rencananya, dua tahun, tapi sebetulnya sulit ditentukan. Hampir semua infrastruktur dan suprastruktur harus dibangun kembali. Itu sebabnya, sampai Juni nanti, target kami hanya mendapatkan donor dan investasi. Administrasi pemerintahan mungkin sudah beres pada Desember 2000 dan itu akan memecahkan 70 persen masalah. Tahun 2001, kami mulai persiapan pemilu untuk memilih presiden. Untuk itu, pendidikan politik melalui media, diskusi terbuka, dan sekolah harus digalakkan. Masyarakat Tim-Tim harus mengerti dasar demokrasi. Pemilu akan diselenggarakan sebelum penyerahan kuasa dari Untaet dilaksanakan.

Ada anggapan demokrasi hanya bisa sukses kalau warga negaranya berpendidikan, padahal lebih dari separuh penduduk Tim-Tim buta huruf.

Demokrasi bukan sesuatu yang diajarkan di sekolah, tapi harus dipraktekkan. Kami tahu demokrasi dari pengalaman menjalani represi. Kami tahu hak asasi dari pelanggaran yang kami alami. Pertanyaannya bukan kami siap atau tidak. Yang penting ada kesempatan untuk berpartisipasi.

Bagaimana dengan rekonsiliasi nasional? Apa upaya untuk menyatukan semua golongan, termasuk kelompok pro-otonomi dan minoritas pendatang muslim yang ada di sini?

Itu tidak sulit. Dari dulu, Tim-Tim selalu multiras dan beragam komposisi. Masalahnya, masyarakat butuh penghasilan. Kemarahan masih kental karena banyak yang masih menganggur. Sekarang banyak orang buka warung karena itu jalan mudah mendapatkan uang. Tapi Tim-Tim bukan republik warung. Rekonsiliasi akan lancar kalau tersedia lapangan kerja untuk semua orang. Yang penting, harus sabar.

Kelihatannya mayoritas rakyat menginginkan Anda jadi presiden, tak peduli Anda sudah bilang tidak mau. Pendapat Anda?

Itu pemaksaan, bukan wujud demokrasi. Para prajurit saya dulu khawatir tak bisa mendekati kalau saya jadi presiden. Karena itu, saya sudah bersumpah tak bakal mau. Kalau melanggar sumpah, artinya saya menghina perjuangan mereka. Lagipula, saya ini lebih seperti pemimpin moral atau "bapak bangsa". Tim-Tim di masa depan butuh pemimpin dengan visi dan kapasitas untuk membangun negara. Saya tidak punya.

Anda punya calon?

Tidak. Biar partai-partai politik saja yang nanti mengajukan calonnya sendiri. Saya bukan politikus, jadi tak mau ikut campur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus