OLUSEGUN Obasanjo terbukti terlalu optimistis. Dua puluh tahun silam, sebagai seorang jenderal dan pemimpin junta militer, dia berkata, "Nigeria akan menjadi salah satu dari sepuluh negeri terbesar di akhir abad ini." Kini, di awal abad baru, sebagai presiden pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis, dia menyaksikan yang sebaliknya: Nigeria terancam berkeping-keping dalam konflik etnis dan agama.
Awal pekan lalu, kerusuhan meledak antara warga Islam dan Kristen di Kota Kano, Negara Bagian Kaduna, Nigeria Utara. Sumber resmi menyebut 300 orang tewas, sementara sumber tak resmi mengatakan lebih dari 1.000 nyawa melayang—sangat berdarah bahkan untuk ukuran Nigeria, negeri yang sejak kemerdekaannya pada 1960 tak sepi dari perang saudara, kudeta militer, dan pemerintahan otoriter. Masjid, gereja, dan pusat-pusat bisnis luluh terbakar. Bangkai mobil dan reruntuhan menghiasi jalanan. Sebagian besar penduduk mengungsi, menjadikan Kano seperti kota hantu.
Kaduna memang mulai tenang akhir pekan kemarin. Pengungsi mulai kembali. "Kami telah membuat kesepakatan damai dengan pemimpin Kristen," kata Ibrahim Sulaiman, pemimpin masyarakat Islam di Kaduna. Kedua pihak bertempur dalam kaitan dengan rencana penerapan Shariah—hukum Islam—di Kaduna.
Tapi ketegangan belum sirna. Dalam pidato yang disiarkan luas oleh televisi, Presiden Obasanjo—dia sendiri orang Kristen—mengungkapkan kekhawatirannya bahwa berulang dan meluasnya kerusuhan akan mengancam kebangkitan negeri itu. Nigeria adalah negeri pengekspor minyak mentah terbesar keenam di dunia. Namun, sekitar tujuh dari sepuluh warga Nigeria masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara negeri itu menjadi pengutang terbesar di Afrika—US$ 29 miliar. Kebangkrutan itu terutama dipicu oleh pemerintahan para jenderal-diktator yang korup.
Baru delapan bulan sebenarnya Nigeria mengalami musim semi demokrasi. Selama 28 dari usianya yang 40 tahun, Nigeria berada dalam cengkeraman pemerintahan militer yang melakukan tujuh kali kudeta. Obasanjo, yang belakangan menjadi pendekar antikorupsi dan sempat menjadi tahanan politik, terpilih menjadi presiden setelah memenangi 63 persen suara pada pemilihan umum Mei 1999 lalu. Inilah pemerintahan sipil pertama setelah 16 tahun kediktatoran militer yang sering berwajah brutal.
Pemerintahan tangan besi telah mewujudkan persatuan dan stabilitas semu di kalangan 120 juta penduduk—terbesar di Afrika—yang merupakan mosaik 250 etnis. Pemerintahan militeristis juga secara praktis menjadikan Nigeria—sebuah republik berbentuk federasi terdiri atas 35 negara bagian—negeri yang otoriter dan tersentral. Demokrasi dan embusan angin kebebasan ternyata membuka luka lama yang tak pernah tersembuhkan.
Sejumlah etnis besar berupaya memperoleh dan menegaskan kembali identitasnya melalui gerakan politik dan agama. Suku-suku di bagian utara yang beragama Islam—sekitar 50 persen dari total penduduk—menginginkan diberlakukannya Shariah.
Seperti di banyak negara muslim lain, termasuk Indonesia, hukum Islam sebenarnya sudah diterapkan lama di Nigeria, tapi terbatas dalam urusan sipil seperti perkawinan dan pewarisan. Kini, sejumlah politisi muslim menginginkan penerapan hukum secara lebih luas dan ketat. Mereka mengusulkan pemisahan lelaki dan perempuan di sekolah serta di angkutan umum, dan pembentukan pengadilan Shariah untuk mereka yang melanggar larangan minum alkohol atau berzina. Pengadilan itu, para pemimpin muslim menjamin, hanya berlaku untuk orang Islam.
Sekitar 18 negara bagian sedang menggodok kemungkinan itu. Zamfara, tetangga Kaduna, bahkan sudah menerapkan Shariah bulan lalu. Namun, berbeda dengan di Zamfara yang penduduknya mayoritas muslim, di Kaduna penerapan Shariah memperoleh tantangan dari 40 persen warganya yang Kristen. Meski pemimpin muslim mengatakan Shariah hanya akan mengikat kaum muslimin, orang Kristen khawatir dan marah karena usul itu akan secara praktis menjadikan Islam sebagai agama negara bagian. Protes berlangsung dan terjadilah kerusuhan berdarah itu.
Presiden Obasanjo berupaya berdiri di tengah dalam keseimbangan yang mulai goyang. Di satu sisi, dia menolak tuntutan politisi Kristen untuk melarang penerapan Shariah. "Konstitusi Nigeria memperbolehkan penerapan Shariah. Dan negara bagian punya hak sepenuhnya untuk memutuskan," katanya. Di sisi lain, dia mengingatkan politisi Islam untuk tidak menerapkan aspek-aspek Shariah yang melanggar konstitusi, seperti memotong tangan bagi pencuri atau menjatuhkan hukuman lempar batu hingga mati bagi pezina.
Sementara itu, dia juga harus waspada terhadap kemungkinan kembalinya para jenderal jika kerusuhan kian meluas. Sebuah musim semi demokrasi tengah diuji.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini