Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CAHAYA temaram. Perabot kayu serba cokelat tua. Buku-buku dan ensiklopedia terpajang rapi dalam rak-rak mahal. Lukisan Dr. Wahidin Sudirohusodosalah seorang tokoh pergerakan Indonesiamenjulang di atas dinding ruangan. Inilah sebagian elemen yang menghiasi ruang kerja yang luas milik pengusaha Setiawan Djody.
Dari ruangan itu pula, Djodyia tampil dalam setelan jas berpotongan sempurna serta sisiran rambut perlentememberikan wawancara khusus yang disiarkan langsung oleh tiga stasiun televisi swasta nasionalSCTV, TPI, IndosiarMinggu malam dua pekan silam. Dalam acara itu, yang menjadi bagian dari pentas peluncuran album grup musik Kantata Revolvere, Djody menjawab pertanyaan Eep Saefulloh Fatah dan Sobari. Keduanya memang dikenal mahir memandu acara televisi maupun moderator forum diskusi ilmiah.
Toh, yang tersaji di layar televisi malam itu bukan diskusi ilmiah atau sebuah wawancara yang cerdas. Percakapan itu ibarat "monolog" Djody kepada pemirsa tentang aneka misi Kantata Revolvere. Adapun kehadiran Sobari dan Eep, apa boleh buat, tak lebih dari sekadar "syarat wawancara" , ketimbang mencecar Djody dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas. Padahal, untuk melontarkan rangkaian pertanyaan yang "mati angin" itu, keduanya dibayar, masing-masing Rp 10 juta -- sebuah honor yang amat mahal. Namun Eep menolak membicarakannya. "Itu masalah pribadi," ujarnya singkat.
Rupanya, ini gejala baru dalam urusan tayang-menayang di televisi Indonesia: membeli jam tayang untuk keperluan pribadi. Gejala itu, setidaknya, terlihat dalam beberapa pekan terakhir. Sebelum Djody, Jenderal Wiranto juga muncul dalam serangkaian wawancara khusus. "Serial Wiranto" dibuka di RCTI pada Kamis malam dua pekan silam. Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Andi F. Noya mewawancarai Pak Jenderal selama satu jam penuh. Pekan berikutnya, Menko Polkam (non-aktif) ini tampil dua kali: dalam acara Warna-Warni RCTI dan Tokoh Pekan Ini SCTV.
Henny Lestari dari Kita Communications, biro public relation yang menangani sejumlah acara televisi Wiranto, mengatakan acara seperti itu masih akan berlanjut. "Rencananya, disiarkan serentak di tiga televisi swasta. Isinya tentang sisi-sisi human interest Wiranto, dari menjelang hingga dinonaktifkan," tuturnya.
Mengapa stasiun-stasiun televisi menyajikan acara semacam itu? Mestinya, ini cuma soal hukum pasar: televisi memasok informasi yang diperlukan masyarakat. Pertanyaannya, apa iya, masyarakat butuh berjam-jam uraian Wirantotentang keterkaitan namanya dengan kemungkinan pengadilan internasional untuk kasus Timor Timur atau soal non-aktifnya dari kabinet Gus Dur. Atau, apa perlunya pemirsa mendengarkan misi Kantata Revolvere selama dua jam di tiga stasiun televisi sekaligus?
Kualitas informasi, mau tak mau, juga menimbulkan tanda tanya. Ternyata, acara semacam itu tak ubahnya promosi yang biasa dilancarkan untuk produk-produk komersial. Ambil contoh, wawancara Setiawan Djody. Untuk tampil di tiga televisi di atas, Djody mengaku menghabiskan Rp 400 juta. Henny, yang menangani operasional acara Djody, malah menyebut angka lebih tinggi: Rp 700 juta. Sama halnya ia memerlukan Rp 100 juta untuk menyiapkan acara berdurasi 30 menit bagi Wiranto di sebuah stasiun TV swasta.
Namun, sebenarnya, ada soal lebih serius di balik angka-angka ini: sikap kritis media terhadap kualitas informasi yang sudah dibeli narasumber. Tak mengherankan, RCTI maupun SCTV, yang mendadak berpanjang-panjang dengan Jenderal Wiranto dalam beberapa wawancara khusus, mudah menggoda mulut usil. "Berapa stasiun televisi itu dibayar Wiranto?" beberapa pemirsa balik bertanya ketika dihubungi TEMPO.
Andi Noya dan Direktur Pemberitaan SCTV Karni Ilyas secara terpisah membantah adanya isu pembelian waktu tayang (blocked time) oleh pihak Wiranto (TEMPO, 21-27 Februari 2000). Stephanus Halim, Manajer Marketing Senior SCTV, juga membantah hal itu. "Wawancara Wiranto murni hasil kerja redaksi yang memenuhi unsur jurnalistik," tuturnya.
Kalaupun memang ada yang membeli waktu tayang, agaknya itu lumrah-lumrah saja. Arif Prihantono, dari Divisi Pemasaran TPI, memberi alasan. "Etika yang kami pegang lebih kepada materinya, bukan pemasangnya. Jadi, kalau mantan presiden Soeharto ingin membeli waktu tayang, TPI juga akan oke," katanya. Mungkin, akan lain soalnya bila stasiun televisi terang-terangan menginformasikan suatu acaranya sebagai semacam advertorial di media cetakyang posisinya sebagai artikel iklan jelas disebutkan.
Di sinilah, tampaknya, etika media tentang "informasi berimbang" mulai retas. Dan orang akan mudah bertanya: munculnya "serial Wiranto" di televisi, misalnya, apakah bukan menjadi iklan terselubung untuk mendongkrak citra? Atau, Setiawan Djody yang tidak menyangkal mengampanyekan "citra kecerdasan" melalui media elektronik. "Jika melalui TV saya bisa memberikan pengaruh besar, mengapa tidak dimanfaatkan?" ia ganti bertanya kepada TEMPO.
Berbicara tentang etika, Eep menyebutkan etika media adalah hal yang amat bisa diperdebatkan. Ia mencontohkan Ross Perrot, kandidat presiden Amerika Serikat dari nonpartai, yang membeli jam tayang di beberapa stasiun TV sehingga memotong acara yang sangat diminati penonton. Namun, Ade Armando, Ketua LSM Marka, yang rutin mengkaji produk dan kebijakan media, tidak sepakat.
Alasannya? Stasiun TV di Amerika bersifat lokal, sedangkan di sini sifatnya nasional. Tak seperti di sini, negeri itu juga melarang TV pool . Jadi, seorang kandidat presiden, misalnya, hanya boleh membeli air time di satu stasiun. Menurut Ade, kerugian utama dalam acara model Setiawan Djody atau Jenderal Wiranto terletak pada pembatasan hak pemirsa dari keragaman informasi.
Dengan kata lain, konsumen dipaksa menerima informasi yang sama pada saat yang sama. Celakanya, media di sini tidak memiliki aturan baku tentang hal ini, sehingga pelanggaran yang terjadi paling-paling dari segi etika dan moral. "Kampanye pribadi Djody di tiga stasiun TV itu jelas-jelas melanggar etika," ujarnya.
Sementara itu, ahli hukum pers dan komunikasi dari Universitas Hasanuddin, Andi Muis, menegaskan bahwa media elektronik yang menayangkan informasiyang dibeliuntuk kepentingan pribadi merupakan pelanggaran berat, baik dari segi hukum maupun etika. "Semua kode etik organisasi media massa di dunia melarang pembayaran wawancara oleh narasumber kepada media."
Jika hal ini terus-menerus terjadi, media elekronik bukan cuma mencerabut hak pemirsa mendapat informasi yang beragam. Mereka juga melupakan peran yang harus dijunjung dengan rasa hormat oleh media mana pun: memenuhi hak setiap manusia mendapatkan informasi yang bermanfaat, akurat, dan berimbang.
Hermien Y. Kleden, Ardi Bramantyo, Setiyardi (Jakarta), Tomi Lebang (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo