Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekecewaan meliputi wajah Xiaofeng. Puluhan hektare lahan pertanian di Meizhou, Provinsi Guangdong, rusak parah setelah diterpa badai pada Senin dua pekan lalu, termasuk tanah miliknya. Sayuran yang kiranya bisa dipanen sebulan lagi sudah tak bisa dipetik. Harapan mendapatkan uang berubah jadi ketakutan mengeluarkan anggaran yang lebih besar.
Ia tak punya uang untuk memulai pekerjaan itu lagi. Ongkos buruh melangit: perlu 138 yuan—setara dengan Rp 201 ribu—per hari untuk kebutuhan ini. Memang tidak mudah mencari orang untuk membantunya di saat Guangdong sedang mengalami krisis tenaga kerja. Pemerintah Guangdong menyatakan 100 juta petani telah beralih profesi dan hijrah ke kota besar. Kalaupun masih ada, ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayarnya. "Saya tak tahu harus bagaimana lagi," katanya.
Beberapa kursi di pabrik perakitan perusahaan elektronik yang seharusnya diisi beberapa orang di Kota Shenzhen, Provinsi Guangdong, itu kosong. Terkadang para buruh terpaksa bekerja sampai malam.
Sejumlah perusahaan menghadapi kekurangan karyawan setelah Festival Musim Semi tahun ini. Mereka bisa menanggung kerugian besar jika tak mampu memenuhi kebutuhan itu. Mereka industri yang bergerak dalam bidang telekomunikasi, manufaktur peralatan elektronik, industri komputer, serta manufaktur produk kimia dan garmen.
Sekitar 60 persen perusahaan lokal di Shenzhen berencana mempekerjakan lebih banyak orang. Mereka pun mengiming-imingkan upah 1.500 yuan (sekitar Rp 2,1 juta) dengan tambahan uang lembur 207 yuan (sekitar Rp 302 ribu). Harapannya menarik minat lebih banyak pekerja. Lowongan kerja yang paling marak ada pada manajemen teknis, manajemen operasi, penelitian dan pemasaran, produksi, dan sumber daya manusia. Sedangkan beberapa perusahaan membutuhkan manajer tingkat tinggi dan profesional.
Guangdong adalah provinsi terbesar di Cina, dengan penduduk 104 juta orang. Sepertiga dari populasi, 36 juta, adalah pekerja migran. Guangdong melakukan reformasi pasar pertama dan pembentukan zona ekonomi khusus. Negara industri seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong berinvestasi di Guangdong. Banyaknya pabrik justru mengakibatkan upah rendah pada industri manufaktur.
Tak hanya untuk posisi profesional, sejumlah perusahaan mengalami kesulitan buat mengisi posisi pegawai level bawah atau tingkat operator hingga 20 persen. Kesulitan itu menerpa bidang industri penjualan, restoran, tenaga pameran, dan operator jahit di perusahaan garmen. Sejumlah iklan lowongan pun disebar melalui media setempat. "Perusahaan-perusahaan kekurangan tenaga operator," kata Zhai Yanli, Wakil Kepala Pusat Informasi Kementerian Tenaga Kerja dan Keamanan Sosial.
Menurut Zhai, bukan hanya pekerjaan laki-laki yang meningkat. Kebutuhan untuk pekerjaan ringan yang biasa dilakukan perempuan pun melonjak. Sektor perakitan dan pengolahan mengalami kekosongan. Akibatnya, para pegawai harus melaksanakan pekerjaannya dengan lebih banyak waktu lembur. Pengusaha melakukan itu dalam upaya menutup target produksi dan permintaan pasar. "Beberapa perusahaan mengambil kebijakan meningkatkan intensitas waktu kerja," katanya.
Kementerian Tenaga Kerja dan Keamanan Sosial mencatat: Guangdong mengalami defisit tenaga kerja hingga 900 ribu orang pada tahun lalu. Mereka adalah tenaga kerja dengan keahlian akuntansi, pekerja dengan keahlian khusus, serta tenaga kerja padat karya. Perkembangan industri garmen, sepatu, manufaktur, dan mainan membuat kebutuhan akan tenaga di atas membengkak.
Padahal Badan Statistik Nasional menyatakan angka kelahiran rata-rata Guangdong hanya 1,7. Angka ini di bawah tingkat kesuburan normal 2,1 yang bisa menyeimbangkan kematian dan kelahiran. Pemerintah khawatir jumlah penduduk tua akan meningkat dalam 40 tahun ke depan. Hal ini tentu akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Guangdong, yang menjadi provinsi industri terbesar di Cina.
Pada April 2011, Komite Kependudukan Provinsi Guangdong merilis laporan yang menyatakan penduduk Guangdong berusia 65 tahun ke atas berjumlah 7,7 juta orang. Mereka memprediksi populasi usia tak produktif mencapai 22,5 juta orang atau meningkat dari 14,8 juta orang dalam 40 tahun pada 2050. Saat itu, 100 orang usia kerja harus menanggung 40 orang berusia 65 tahun ke atas dan 52 orang berusia 60 tahun ke atas. Maka pemerintah Guangdong berharap ada kelonggaran aturan soal maksimal satu anak.
Anggota parlemen Guangdong, Li Xinghao, menyeruak dalam sidang parlemen pada awal bulan ini. Ia mendesakkan kelonggaran aturan satu anak. Menurut dia, masalah ini harus dibahas dalam sidang Kongres Rakyat Nasional. Ia khawatir, aturan yang hanya mengakui satu anak bisa mempengaruhi demografi Cina, khususnya Guangdong. Apalagi populasi wanita terus meningkat. "Aturan itu sudah sangat kuno. Betapa populasi serta penuaan bergerak cepat dan bisa berdampak buruk," ujarnya.
Kebijakan satu anak ini diterapkan sejak 1979. Kebijakan ini merupakan upaya mengontrol populasi Cina yang terus berkembang. Dalam setahun, angka kelahiran bisa ditekan lebih dari separuhnya. Pemerintah sempat memberikan kelonggaran bagi daerah tertentu. Jika anak pertama perempuan, mereka diperbolehkan memiliki anak kedua. Cina memberikan sejumlah kompensasi kepada mereka yang hanya memiliki satu anak: kenaikan upah, pinjaman tanpa bunga, dana pensiun, pelayanan kesehatan, dan bantuan biaya sekolah. Bagi yang melanggar, pemerintah akan memungut denda US$ 370 atau sekitar Rp 3,3 juta. Jika denda tak dibayar, pemerintah akan menyita tanah dan rumah, bahkan pelanggar bisa kehilangan pekerjaan atau anaknya dilarang bersekolah. Intimidasi pun sering dilakukan aparat pemerintah kepada mereka yang memiliki anak lebih dari satu.
Penduduk Guangdong yang kaya memilih melahirkan anak keduanya di Hong Kong. Pemerintah Hong Kong mencatat jumlah kelahiran bayi pada 2010 mencapai 43 ribu orang dari Cina daratan, termasuk Guangdong.
Zhou Zhi, warga Shenzhen, menghabiskan lebih dari 250 ribu yuan (sekitar Rp 357 juta) tahun lalu untuk mengirim istrinya ke Hong Kong. Sang istri melahirkan putrinya di Hong Kong dengan bantuan sebuah agen di Shenzhen. Angka itu cukup fantastis. "Orang tua bersedia menghabiskan uang yang besar untuk anak, tanpa peduli hukuman akan diterima. Hong Kong bisa berarti masa depan yang lebih baik bagi anak mereka," katanya.
Li Jianmin, Wakil Ketua Asosiasi Penduduk Cina, mengingatkan pemerintah agar memperhatikan potensi risiko emigrasi ke Hong Kong, terutama dari angkatan kerja muda. Hal ini akan bisa menjadi masalah baru. Produktivitas bisa terpengaruh jika pekerja muda dan intelektual terus berpindah. Dalam jangka panjang, Guangdong harus memikul beban yang besar akibat populasi yang menua. "Bisa mempengaruhi perekonomian. Kita akan menderita kekurangan produktivitas dan vitalitas seperti Jepang dan Eropa Selatan, yang sedang mengalaminya," ujar Li.
Hingga detik ini, pemerintah pusat masih enggan berkomentar dalam menghadapi desakan pelonggaran aturan satu anak.
Eko Ari Wibowo (Chinadaily, Global Times, Shenzhen Standard, China News Center, People Daily)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo