Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ziarah Politik Sang Bapa

Setelah permohonan maaf diucapkan di Vatikan, Paus Yohanes Paulus II mengadakan perjalanan ke Palestina dan Israel. Sebuah perjalanan rekonsiliasi dan politik?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANGKUK berisi tanah itu disorongkan tiga bocah dari Nazareth. Paus Yohanes Paulus II, yang baru menjejakkan kaki di bumi Palestina, mencium gumpalan tanahnya. Mario Hadar, Walid Sitawi, dan Darna Bar Sadeh—anak-anak yang membawa mangkuk itu—bagaikan simbol persaudaraan rohani. Anak-anak itu beragama Katolik, Islam, dan Yahudi. Kesadaran akan akar yang sama tersebut mengawali ziarah Paus yang melakukan napak tilas perjalanan hidup Yesus: dari tempat kelahiran Kristus di Bethlehem, lokasi Yesus dibaptis di Wadi al-Kharar, dekat Sungai Yordan, sampai lokasi perjamuan terakhir di Kapel Cenacel, di puncak Gunung Zion. Lonceng gereja berdentang menggema ke seluruh lembah Yerusalem ketika Paus memasuki kapel tempat pertemuan Yesus sebelum disalib itu. Sebuah perjalanan spiritual sekaligus perjalanan dengan misi perdamaian.

Di Yad Vashem, monumen kekejaman holocaust di Israel, seorang perempuan Yahudi korban Nazi yang selamat berderai air matanya ketika Paus meletakkan tangan di bahunya. Yang ditunggu-tunggu segenap warga Israel tiba, yaitu pembicaraan Paus soal holocaust. Soalnya, dalam pidato permintaan maaf secara resmi (mea culpa) di perayaan Yubileum Agung, Paus sama sekali tidak menyebut kata holocaust.

Setelah Ani mammin—sebuah himne dukacita yang sering dilantunkan korban-korban Yahudi sebelum mereka dibantai massal—kembali diperdengarkan seorang solis perempuan, Paus menceritakan kenangannya di Polandia. Ia berkisah tentang teman dan tetangganya yang Yahudi yang diburu dan dihabisi. Ia menyebut tindakan itu sebagai ''a Godless ideology." Gereja Katolik merasa bersedih atas terjadinya massacre atau shoah dalam bahasa Yahudi, kata Paus. Lalu, Paus juga minta maaf atas sikap antisemitisme berupa kebencian dan tindakan persekusi yang dilakukan orang Katolik atas orang Yahudi di mana saja sampai kini.

Perdana Menteri Israel Ehud Barak, yang kakeknya tewas di kamp konsentrasi Treblinka, dalam pidatonya mengatakan saat itu bahkan surga saja bisu. Dan langkah Paus ini adalah awal sikap Gereja Katolik untuk menyembuhkan luka menganga di kalangan Yahudi. Presiden Israel Ezer Weizman meminta agar akar-akar anti-Semitik Kristiani betul-betul terhapus.

Tapi Rabi Israel—Meir Lau—kecewa karena Paus tak menyebut sama sekali Paus Pius XII dan kesalahan gereja di masa lalu. Banyak kalangan Yahudi menganggap paus ini sebagai ''Paus sang Hitler" karena ia diam seribu basa saat holocaust terjadi. Kesedihan saja tak cukup. ''Ini hanya sebuah apologi. Tapi saya menunggu kelanjutan babak kedua," kata Meir. Sekelompok kecil aktivis kiri Yahudi juga berdemonstrasi—mengkritik Paus yang memperbolehkan didirikannya salib besar di Auschwitz.

Soal siapa yang lebih menderita memang selalu ditonjolkan dalam konflik Arab-Israel. Sehari sebelumnya, sebuah kontroversi di Israel terjadi saat Paus menyatakan simpati terhadap penderitaan pengungsi dan memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Palestina. Apalagi, dalam sambutan misanya, Paus sama sekali tidak menyebut kata Negara Israel. Ini seolah menguntungkan dunia Islam. ''Penderitaan juga kami alami," kata Ben Ami, Menteri Keamanan Publik Israel.

Sejarah hubungan Katolik, Yahudi, dan Islam memang kompleks. Menurut Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardi Azra, selama ini konflik umat Kristiani dengan Yahudi sangat keras, bahkan melebihi kekerasan konflik umat Kristiani dengan Islam—meski Islam dan Katolik memiliki sejarah panjang dalam Perang Salib. Hubungan Vatikan dan Palestina makin hangat sejak 1982. Yasser Arafat kerap ke Vatikan. Sebulan lalu, misalnya, terjadi kesepakatan antara Vatikan dan Palestina tentang masa depan Yerusalem Timur. ''Bahwa proyek pengyahudian Yerusalem Timur melenceng dari resolusi PBB No. 242," demikian bunyi resolusi itu. ''Dari dulu, Vatikan selalu mendukung pemenuhan hak-hak politik Palestina," kata Azyumardi.

''Penderitaan Anda yang begitu lama diketahui semua orang di dunia," tutur Paus di Deheishe, kamp Palestina yang dihuni lebih dari 10 ribu pengungsi dengan tingkat hidup yang mengenaskan. Dan kejadian ini menandakan ruwetnya persoalan. Selepas Paus berpidato, misalnya, pecahlah keributan antara 700-an warga dan polisi Palestina sendiri. Saling lempar batu terjadi. Buntutnya, Palestina dituding tidak siap merdeka.

Negosiasi politik antara Israel dan Palestina tampak melibatkan rekan-rekan negara Arab lainnya. Pekan ini, misalnya, Clinton dijadwalkan bertemu dengan Presiden Suriah Assad untuk membicarakan status final Negara Palestina. Dan diplomasi politik kini tampaknya disokong dengan diplomasi religius ala Paus. Pengamat politik menilai perjalanan Paus tak banyak memberikan balans negosiasi secara konkret karena hanya simbol. Bagaimanapun, Paus telah menyuarakan semangat koeksistensi damai di seluruh Timur Tengah. Inilah semangat rekonsiliasi dengan jiwa yang terbuka.

Seno Joko Suyono (dari berbagai sumber), Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus