Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal siapa yang memimpin, mestinya, cuma perkara biasa. Tapi, di Antara, hal ini rupanya lebih dari sekadar "soal biasa". Desember silam, sempat terjadi ribut-ribut ketika Presiden meminta wartawan senior Kompas, Budiarto Danujaya, mengisi kursi pemimpin redaksi. Parni, ketika itu, segera menawarkan pembagian kekuasaan dengan alasan "awak Antara sulit menerima pemimpin dari luar."
Ternyata orang luar pula yang akhirnya resmi memimpin Antara. Maka, koor protesdari soal "orang luar" hingga soal kemandirian lembagakembali menggema. Tapi tak semua bersuara lantang. Muncul "kubu" di belakang Parniyang tidak sreg dengan dropping orang dari "luar"dan kelompok yang tidak keberatan Sobary masuk Antara. Toh, kedua kubu tampaknya sepakat tentang satu hal: kemandirian Antara harus lebih ditegaskan.
Posisi sebagai lembaga yang mandiri memang akan berimplikasi pada banyak soal. Itu tak hanya berpengaruh terhadap pemberitaan, tapi juga soal promosi kepemimpinansesuatu yang selama ini nyaris tak terlihat. Selama ini, pemerintah dikenal sebagai pemilik Antara. Bahkan, penunjukan pemimpin redaksi pun adalah hak prerogatif presiden sejak 1962. Tapi apa iya pemerintah adalah "pemilik sah" Antara?
Menurut pengacara Antara, Akbar Lubis, audit keuangan Antara 1968-1998 tak pernah mencantumkan kepemilikan pemerintah terhadap kantor berita itu. "Modal Antara milik Yayasan Antara. Dana yang pernah diberikan pemerintah itu bentuknya hibah. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1995 menyebutkan soal hibah itu," ujarnya.
Selama ini, pemerintah memang masih rutin menyumbang belanja Antara, tapi jumlahnya nyaris tak berarti. Untuk tahun anggaran 2000-2001, misalnya, pemerintah cuma memasok Rp 1 miliar. Padahal, kata Direktur Keuangan Antara, Saiful Hadi, selama setahun itu pengeluaran diperkirakan mencapai Rp 275 miliar.
Lalu, dari mana Antara menghidupi dirinya? Selain dari 1.100 lembaga yang menjadi pelanggannya, pemerintah sebenarnya juga punya andil. Bahwa tahun lalu Antara bisa meraup Rp 200 miliar, itu sebagian datang dari "hak monopoli" yang diberikan pemerintah. Sebut misalnya hak sebagai "agen" kantor berita asingyang bila masuk ke Indonesia harus lewat Antara. Komisi sebagai "agen" inilah yang menyumbang 60 persen total pendapatan Antara.
Karena itu, menjadi mandiri agaknya tak mudah juga bagi Antara. Toh, Sobary pun tak menafikan ide "swastanisasi" itu. Dan ia mulai bergegas menghitung kekuatan. "Kedudukan Antara sebagai kantor berita nasional sangat strategis. Jumlah sumber daya manusia yang besar (800 orang) membuat ia mampu melaporkan berita dari dalam dan luar negeri," katanya.
Apa pun pilihannyaapakah mau menjadi milik pemerintah, sebagai BUMN, atau swasta penuhmenurut Sobary, cuma ada satu cara untuk menghapus ketertinggalan: belajar dengan cepat dan tepat. Dalam hal belajar, Antara bisa becermin pada para raksasa informasi dunia yang tegak berabad-abad dengan modal kinerja dan etos, seperti Associated Press (AP), Amerika Serikat, Reuters, Inggris, atau Agence France Presse (AFP) dari Prancis.
Mau menjadi kantor berita milik pemerintah? Tak selalu sesuatu yang berasal dari pemerintah lantas menghasilkan berita-berita humas. Lihat saja AFP. Kantor berita milik pemerintah Prancis itu kabarnya memang mewajibkan perusahaan dan instansi pemerintah berlangganan AFP. Namun, kantor berita yang berdiri sejak 1835 itu bisa tumbuh sebagai salah satu dari tiga "agen informasi" terbesar di dunia. Keluasan informasinya terwujud dalam dua juta kata, 250 lembar foto, serta 80 jenis grafik berita umum, ekonomi, dan olahraga yang tak putus mengalir selama 24 jam setiap hari. AFP memang unggul dalam kecepatan, kelengkapan, dan obyektivitas berita.
Sukses semacam itu pun bukan sesuatu yang mustahil diraih kantor berita yang mandiri, yang hidup tanpa bantuan dan campur tangan pemerintah. AP membuktikannya. Lembaga ini seperti "koperasi" nirlaba, yang beranggotakan 1.500 organisasi penerbitan yang sekaligus juga pemilik AP. Kini informasi AP, yang dihasilkan 3.500 karyawan yang tersebar dalam 240 biro di seluruh dunia, digunakan oleh sekitar satu miliar orang.
Di zaman serba internetyang membuat informasi menyebar secepat angin dan bisa diperoleh dengan gratiskecepatan dan obyektivitas berita memang suatu syarat mutlak. Antara tidak bisa menghindarinya dan mesti cepat belajar mandiri dalam arti sesungguhnya. "Jika tidak, kita akan tergilas waktu," ujar Sobary. Atau tertinggal begitu saja di simpang masa.
Hermien Y. Kleden, Setiyardi, Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo