Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Agung mestinya seperti shelter, tempat orang mendapatkan perlindungan hukum. Atau bisa juga dia menjadi semacam clearing house, tempat pengadilan di bawahnya mendapatkan klarifikasi bila terjadi sengketa hukum yang tak kunjung selesai. Bukan seperti sekarang. Lembaga yang mestinya merupakan benteng terakhir para pencari keadilan itu justru menjadi lembaga tempat hukum sering berubah sesat.
Selasa pekan lalu, misalnya, seorang warga masyarakat mengadu ke Komisi Ombudsman Nasional karena menganggap mahkamah telah mengeluarkan vonis palsu. Meski laporan itu yang pertama bagi komisi, kasus vonis palsu sebetulnya bukan yang perdana bagi mahkamah. Pada 1989 juga pernah terjadi kasus yang sama.
Seandainya kasus vonis palsu yang terakhir itu benar, hasil riset yang dilakukan oleh Komisi Masyarakat untuk Penyelidikan Korupsi (Indonesian Corruption Watch/ICW) terhadap kinerja para hakim di Mahkamah Agung sepanjang 1999 makin kuat saja. Berdasarkan riset itu, disimpulkan bahwa 5 di antara 36 hakim agung bersih, sedangkan 31 sisanya dianggap tidak bersih. Hasil ini, menurut Koordinator Badan Pekerja ICW, Teten Masduki, menunjukkan betapa bobroknya kondisi mahkamah sebagai benteng terakhir para pencari keadilan. Di lembaga itu, menurut Teten, bermukim para pencoleng, bukan hakim yang steril.
Tentu saja kata-kata Teten adalah sebuah tamparan keras, tapi mungkin memang perlu bagi lembaga tinggi yang bertabiat seperti MA sekarang ini. Apalagi mayoritas peserta jajak pendapat TEMPO sepakat menilai bahwa MA belum bisa menjadi lembaga penegak supremasi hukum.
Pendapat responden mengenai lembaga hukum tertinggi itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal, terutama banyaknya kasus yang terbengkalai di laci para hakim agung. Responden juga menunjuk integritas dan kualitas hakim agung yang buruk sebagai penyebab mengapa mahkamah belum bisa menjadi penegak supremasi hukum. Ini tentu saja merupakan kesimpulan responden setelah membaca berita ’’miring” tentang mahkamah, misalnya hakim yang korup, vonis yang bisa dibeli, juga praktek percaloan dan mafia peradilan.
Jangan heran bila tugas dan kewajiban mahkamah pun rata-rata hanya dinilai biasa oleh responden. Lebih dari separuh responden bahkan beranggapan para hakim agung itu korup seperti yang dituduhkan oleh Teten Masduki.
Dari hasil ini, bisa ditafsirkan bahwa responden cukup mengikuti perkembangan seputar Mahkamah Agung—dicerminkan oleh kecilnya persentase mereka yang menjawab tidak tahu. Adapun tingginya perhatian responden menunjukkan dua hal. Pertama, publik sangat peduli terhadap mahkamah. Kedua, kinerja mahkamah sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini.
Mengingat semua kinerja MA yang begitu buruk, praktisi hukum Todung Mulya Lubis pun mengusulkan agar semua hakim agung sebaiknya dicopot lalu diganti baru. ’’Kalau kita ingin membenahi hukum di Indonesia, terutama lembaga peradilan, tidak boleh setengah-setengah,” demikian Todung beralasan.
Selain itu, perlu ada kriteria yang ketat terhadap setiap perkara yang boleh masuk sehingga hakim agung tidak akan kebanjiran perkara. Kalau perkaranya cuma sebatas jual-beli tanah, sewa-menyewa rumah, atau pemutusan kontrak, dan sebagainya, mengapa harus sampai ke MA? Toh, urusan seperti itu bisa selesai di peradilan tinggi saja. Kalau semua perkara, baik dari pengadilan negeri, agama, administrasi, militer, niaga, juga hak asasi manusia masuk ke MA, ditambah seratus orang hakim agung pun, perkara itu tidak akan tertangani.
Lantas, jika semua hakim agung itu dicopot, siapakah yang berhak mengganti? Responden menjawab, hakim agung adalah mereka yang terutama memiliki integritas tinggi, track record bagus, serta bersedia melaporkan kekayaan pribadinya. Dan Benjamin Mangkoedilaga, di mata responden, layak menduduki kursi ketua Mahkamah Agung.
Wicaksono
Menurut Anda, apakah MA telah menjadi lembaga penegak supremasi hukum? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ya | 33%Tidak | 64% | Tidak tahu | 3% | | Jika ya, apa alasan Anda? | MA merupakan lembaga hukum tertinggi | 79% | Hakim-hakimnya sudah berpengalaman | 40% | Kinerjanya memang baik | 39% | Keputusan-keputusan mereka sudah memenuhi asas keadilan | 26% | | Jika tidak, apa alasan Anda? | Banyak kasus yang masih terbengkalai | 88% | MA belum menjadi lembaga yang independen | 47% | Integritas hakim MA meragukan | 25% | Kualitas hakim MA belum memadai | 19% | Banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme | 3% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah Anda setuju terhadap pernyataan Teten Masduki bahwa sebagian besar hakim agung korup? | Ya | 64% | Tidak | 27% | Tidak tahu | 10% | | Selain persyaratan yang telah disebutkan dalam undang-undang, apa lagi syarat menjadi hakim agung? | Memiliki integritas tinggi | 74% | Mempunyai "track record" yang bagus | 59% | Melaporkan kekayaan pribadi | 31% | Jujur dan profesional | 9% | Adil | 6% | Berpengalaman | 2% | Bertanggung jawab | 2% | Memiliki kredibilitas yang tinggi | 2% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Apakah Benjamin Mangkoedilaga layak menjadi calon Ketua MA? | Ya | 65% | Tidak | 21% | Tidak tahu | 14% | | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO, bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 503 responden di lima wilayah DKI pada 21-22 Maret 2000. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multistages random sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo