Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Uganda: Dengan Api Menuju Surga

Lebih dari 500 orang membakar diri hidup-hidup dalam gereja. Mereka pengikut sekte yang memadukan upacara Kristen dengan tradisi lokal.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA duka seperti tak bisa dipisahkan dari Uganda. Jumat, 17 Maret lalu, sebuah "misa keagamaan" yang berlangsung di Kanungu telah ditutup dengan acara bunuh diri massal yang menelan korban 500 jiwa. Mereka adalah pengikut sekte Pemurnian 10 Perintah Tuhan yang diharuskan berdoa dan bernyanyi sebelum membakar diri (lihat: Harakiri Kelompok Kultus, halaman 64).

Menurut seorang saksi, pemimpin sekte itu lebih dulu memerintahkan agar jemaahnya menjual harta benda mereka, lalu mempersiapkan diri untuk terbang ke surga. Dalam peristiwa tragis yang mencuatkan Kota Kanungu di atas peta dunia itu—terletak di sebelah barat daya Ibu Kota Kampala—ikut terbantai 78 anak.

Pemimpin sekte Pemurnian, Joseph Kibwetere, 60 tahun, dan pendampingnya, bekas pelacur Cledonia Mworinde, 40 tahun, dikabarkan masih hidup. Sedangkan Amama Mbabazi, Menteri Negara untuk Kerja Sama Regional Uganda, menyatakan bahwa kedua pentolan sekte tersebut sudah raib sebelum misa selesai. Hingga akhir pekan kemarin, belum ada kejelasan tentang Kibwetere dan Mworinde karena para pengikut sekte itu—diperkirakan mencapai 5.000 orang—bersikap sangat tertutup.

Anehnya, Presiden Uganda, Yoweri Museveni, tidak menyesalkan bunuh diri massal yang mengerikan itu. Dia sebaliknya menuduh Pemurnian sebagai kelompok pemberontak. Semula, pada 1994, Pemurnian memang terdaftar sebagai lembaga swadaya masyarakat. Tapi kemudian, oleh dinas intelijen Uganda, Pemurnian dilaporkan sebagai kelompok perlawanan. "Jadi, ada keterlibatan seorang kaliber tinggi, yang memakai sekte sebagai selimut tujuan politiknya," kata Museveni, yang terpilih menjadi presiden sejak 1986.

Benar atau tidak, yang pasti, menjamurnya sekte di Uganda menjadi sangat fenomenal selama dasawarsa 1990. Pemerintah Uganda sibuk membasmi sekte-sekte, yang biasanya menggabungkan ritus Kristen dengan kebiasaan lokal. Pada September 1999, misalnya, polisi menyerbu Sodom, sebuah permukiman sekte yang dipimpin Nabassa Gwajwa, 19 tahun, yang hanya memperbolehkan pengikutnya makan madu. Kelompok yang berpusat di Ntusi, Sembabule, tersebut bersiap-siap untuk bunuh diri massal sebelum tahun 2000. Rencana menyeramkan ini akhirnya batal karena dapat dibubarkan.

Pemunculan berbagai sekte tidak cuma terjadi di Uganda, tapi juga di Rwanda, Burundi, Kenya, dan Tanzania. Diperkirakan, fenomena sekte berkaitan erat dengan kondisi masyarakat yang miskin dan tak punya banyak pilihan. Seperti diketahui, Uganda, yang berpenduduk 22 juta jiwa, masih harus disantuni bantuan makanan dari negara-negara maju. Kamis pekan lalu, misalnya, Uganda mendapat US$ 50 juta untuk makanan. Bantuan ini rutin karena lebih dari 50 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Angka buta huruf di sana masih di atas 60 persen. Dan kenyataan ini diperburuk oleh banyaknya penganggur serta merebaknya epidemi AIDS. "Karena tidak ada jawaban yang riil, rakyat mencari jawaban secara metafisika," Museveni mencoba menjelaskan kecenderungan sekte tersebut.

Sejak merdeka dari Inggris pada 9 Oktober 1962, Uganda—terdiri atas 10 etnis—belum pernah betul-betul terbebas dari kericuhan dan keresahan internal. Di negeri yang galau itu, Idi Amin dan Milton Obote selama 15 tahun melakukan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran—terutama dengan pembunuhan massal. Bencana kemanusiaan itu ternyata tidak berakhir dengan naiknya Museveni dari Gerakan Perlawanan Nasional, pada 1986. Museveni—yang mengatasnamakan persatuan dan kesatuan—melarang segala jenis partai dan kelompok masyarakat berpartisipasi dalam politik. Alhasil, penindasan ala Museveni juga melahirkan kelompok perlawanan seperti Front Tepi Barat Nil, Front Penyelamatan Nasional Uganda II, dan—yang paling sadis—Tentara Tuhan untuk Perlawanan, yang sering beraksi membunuh penduduk sipil, termasuk anak-anak.

Menjamurnya sekte diduga berkaitan erat dengan rasa putus asa yang meluas dalam masyarakat. Sepanjang dasawarsa terakhir, gerakan sempalan agama tersebut banyak ditemukan di Uganda dan Afrika Timur. Menurut David Bamford, analis Afrika Timur, para pemimpin sekte biasanya meyakinkan "umat" mereka bahwa hari kiamat segera tiba, sedangkan gereja dan pemerintah brengsek dan tidak dapat dipercaya. "Sekte-sekte itu memang lahir dari tragedi dalam masyarakat," kata Bamford.

Sintesis dari semua tragedi tersebut adalah berbaurnya kelompok perlawanan dengan sekte-sekte. Menurut Bamford, akhirnya sekte-sekte bisa berkembang sebagai kelompok pemberontak. Tentara Tuhan, yang merupakan metamorfosis dari sekte Gerakan Jiwa Suci, misalnya, nekat melakukan serangan bunuh diri ke lembaga-lembaga pemerintahan. Dengan tubuh dibaluri "minyak ajaib", mereka percaya dirinya kebal peluru.

Adakah senjata pamungkas untuk mengakhiri malapetaka Uganda? "Ya, dengan meningkatkan investasi untuk industrialisasi," kata Museveni. Dan Kamis lalu, negara donor sepakat mengucurkan US$ 800 juta lagi bagi kesejahteraan negeri yang dulu dizalimi oleh Idi Amin ini.

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus