Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewa 19: Dari Surabaya ke Jakarta
KELAK, empat siswa SMP Negeri 6 Surabaya itu akan menceritakan dengan bangga sebuah perjalanan kisah sukses. Inilah cerita tentang sekelompok anak muda yang berhasil menjadi salah satu ikon dalam peta musik di negeri ini. Adalah Dhani Ahmad Prasetyo (keyboard, vokal), Erwin Prasetya (bas), Wawan Juniarso (drum), dan Andra Junaidi (gitar) yang saat itu adalah pemuda-pemuda “kecil”, yang menjadi “founding fathers” kelompok band bernama Dewa, pada 1986. Nama ini adalah singkatan dari inisial para personelnya.
Saat itu, ketika kelompok-kelompok band Surabaya cenderung memainkan aliran heavy metal Iron Maiden, Dewa muncul dengan lagu-lagu milik kelompok Toto, yang kental dengan warna pop. Erwin Prasetya, yang cenderung menyukai jazz, kemudian menyeret kelompok ini tercebur dalam kekenesan musik fusion Casiopea sehingga Andra dan Dhani Manaf, yang matang pada jalur rock, mulai bergeser pada kecenderungan Erwin. Bahkan, mereka sempat berangan-angan ingin menjadi Krakatau atau Karimata, dua kelompok jazz yang saat itu tengah dipuji-puji kritikus musik.
Adalah penggebuk drum Wawan Juniarso yang tak setuju dengan cita-cita itu. Dia keluar pada 1998. Posisi Wawan lantas digantikan Salman. Nama Dewa pun berubah menjadi Down Beat, diambil dari nama majalah jazz yang terbit di AS.
Untuk kawasan Jawa Timur, nama Down Beat cukup bergema di berbagai panggung festival. Wawan Juniarso tak ragu untuk kembali bergabung. Pada saat yang sama, Ari Lasso pun dinobatkan menjadi vokalis. Nama Dewa kembali dikibarkan. Kali ini dengan embel-embel angka 19, yang menandakan usia personelnya waktu itu. Berhubung Surabaya tak memiliki studio yang memenuhi persyaratan pada masa itu, terpaksa dengan modal pas-pasan mereka hijrah ke Jakarta. Dan dengan kehidupan yang irit, Dhani membawa kaset demo itu dari satu perusahaan rekaman ke perusahaan lain dengan mengendarai bus kota.
Racikan musik pop, rock, dan jazz yang mereka suguhkan membuat Dewa ditarik masuk dapur rekaman. “Dari diskusi pada proses rekaman, kami benar-benar mencari yang alternatif dengan mendengarkan semua (aliran) musik yang ada, lalu coba-coba,” tutur Ahmad Dhani kepada TEMPO pada saat pentas di Bali beberapa waktu silam.
Kemunculan Dewa 19 pada 1992 itu pun menggoyang grup musik tangguh seperti Slank, Java Jive, Kla Project, atau Kahitna, yang saat itu merajai pasar. Angka penjualan album pertama mereka yang berjudul 19 ini memang di luar dugaan. Album pertama itu terjual sebanyak 300 ribu keping kaset. Dengan prestasi ini, mereka langsung dilimpahi aneka penghargaan dalam ajang BASF Award 1993, yaitu untuk kategori pendatang baru terbaik dan album terlaris.
Meraih Masa Depan, album kedua yang dilempar pada 1994, juga berhasil mencapai angka penjualan sangat baik. Sayang, kesuksesan ini harus dibayar dengan perginya Wawan dengan alasan “tidak ada kecocokan di antara mereka”. Dewa pun menggunakan additional music untuk penggebuk drum, antara lain Ronald—drummer yang dikenal sebagai personel Gigi—dan Rere, drummer Grass Rock.
Toh, kesuksesan belum bosan menguntit anak-anak muda ini. Album ketiga, bertajuk Terbaik Terbaik, terjual hingga 300 ribu kaset. Mereka pun menggondol BASF Award 1996 untuk tiga kategori: musik rock terbaik, penata musik rekaman terbaik, dan grup rekaman terbaik. Di dalam album ini, Lilo—personel Kla Project—diajak sebagai salah seorang bintang tamu.
Album ini menunjukkan sebuah kecerdasan, bukan hanya dalam penciptaan komposisi, tetapi juga aransemen yang unik dan menukik. Cukup Siti Nurbaya dan Terbaik Terbaik adalah dua lagu yang bukan hanya mampu mencungkil romantisme, tetapi menampilkan lirik yang lumayan berisi—dibandingkan dengan lirik lagu musik Indonesia yang umumnya berisi cinta atau protes sosial yang mentah—dan memiliki nilai puitik.
Setelah album ini selesai, masuklah Wong Aksan menempati posisi drummer. Drummer yang sempat mengecap pendidikan Folkwang Musik Schule, Jerman, dan putra pasangan Sjumanjaya dan Farida Oetojo, ini menambah nuansa baru dalam kelompok ini. Album Kirana, yang lahir setelah Wong Aksan bergabung, juga meledak, meski harus diakui gebukan drum Aksan yang lebih mengarah ke jazz menimbulkan friksi klasik. Aksan keluar, diganti Bimo Sulaksono, mantan anggota Netral. Kemelut itu juga semakin ruwet karena bassist Erwin Prasetya dan Ari Lasso, vokalis andalan yang suaranya mulai menjadi ciri khas Dewa 19, terlibat dalam penggunaan narkotik. Dalam upaya menangani personel yang mengonsumsi narkotik, Dewa 19 juga menghadapi kenyataan penyanyi latar yang keluar-masuk. Frida, yang keluar karena ingin bersolo karir, disusul oleh Reza yang memiliki alasan serupa. Kelak, Reza di kemudian hari juga berhasil mengukir namanya sendiri sebagai salah satu penyanyi pop idola anak-anak muda.
Lalu, bagaimana nasib Ari Lasso? “Dia minta keluar dari grup pada 1995, tapi waktu itu kami belum siap. Alasannya karena dia tak ingin menghambat Dewa,” ujar Dhani. Ari Lasso, yang kini sudah menyanyi solo, sudah menikah dan berputri satu orang. Duetnya dengan Melly dalam lagu Jika kini tengah menduduki tangga teratas.
Nasib Dewa? Mereka baru menyelesaikan album Bintang Lima, yang akan diluncurkan pertengahan tahun 2000 dan akan tampil tanpa Ari Lasso dan permainan bas Erwin. Posisi Ari dan Erwin kini ditempati oleh Tyo dan Once.
Dan sejarah Dewa bergulir terus….
Gigi Band: Delapan Tahun Masih Tetap Bergigi
Pekan lalu, para personel “Gigi” meniup lilin ulang tahunnya yang kedelapan. Di antara riuh-rendahnya kelompok-kelompok baru, Gigi tetap gemilang tampil di jajaran pemusik generasi baru Indonesia. Awalnya adalah Armand Maulana, Dewa Budjana, Thomas Ramdhan, Baron Arafat, dan Ronald Fristianto, yang mencoba merajut mimpi lewat Gigi. Album pertama mereka bertajuk Angan langsung laris manis di pasar. Begitu juga Bumi, album kedua, tak mengalami kesulitan menggerayangi pasar. Lagu andalan mereka, Janji, juga langsung sukses menghentak panggung musik Tanah Air. Lewat 56 konser selama tahun 1996, keberadaan Gigi kian menancap di hati penggemarnya.
Sayang, di tengah popularitas, personel Gigi justru rontok satu per satu. Yang pertama mengundurkan diri adalah Baron. Alasan resminya, dia ingin melanjutkan sekolah dan bisnis di AS. Tapi banyak yang percaya bahwa Baron cabut karena ketidakcocokan dengan personel Gigi yang lain. The show must go on. Gigi tetap meneruskan rekaman album ketiga. Persoalan kembali mencuat. Thomas Ramdhan, yang dianggap telah melanggar komitmen “no drugs”, pun putus hubungan dengan kelompok ini. “Penyebabnya (memakai narkotik) jelas bukan karena saya artis, tetapi karena saya manusia biasa dan ingin coba-coba. Lalu, saya keluar dari Gigi karena enggak mau mengganggu, saya sakit terus…,” tutur Thomas dalam sebuah wawancara dengan TEMPO.
Dengan tiga personel, Gigi mencoba bertahan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, Ronald juga pamit. Tinggallah Armand dan Budjana mempertahankan sisa-sisa impian mereka itu.
Untuk mengisi kekosongan, Opet Laksana, yang semula teknisi Thomas, pun “naik pangkat” menggantikan mantan bosnya. Sedangkan posisi Ronald untuk sementara digantikan oleh Budhi Haryono, yang juga drummer Krakatau. Dengan formasi tambal sulam ini, mereka melempar albumnya yang melibatkan sejumlah musisi asing seperti Billy Sheehan (Mr. Big) dan Eric Marienthal (eks-Chick Korea Electric Band). Apa boleh buat, keterlibatan bintang baru ini toh tak berhasil mengembalikan jiwa Gigi yang asli.
Untunglah, masa transisi ini tak berlangsung lama. Pada 1998, Gigi kembali menggigit lewat album Kilas Balik dengan hits Terbang dan Di Manakah Kau Berada. Meski angka penjualannya belum bisa menyaingi album kedua mereka, Gigi mulai menemukan kembali ritme musiknya. Klip video Terbang, yang menampilkan Armand Maulana dengan kaus Superman—tentu saja garapan sutradara Rizal Manthovani—juga menunjukkan upaya Gigi yang ingin kembali menancapkan gigi di dunia musik. Upaya itu juga terlihat dari berbagai eksperimen yang dilakukan, misalnya gamelan Sunda dalam lagu Nayaga atau Pavan Kumar yang memainkan tabla dalam lagu Hikayat Insani.
Pada awal 1999, Opet pun resmi mengundurkan diri dari Gigi. Atas ajakan Budjana, Thomas Ramdhan bergabung kembali. “Kami bangga dengan Thomas, yang berani mengaku pernah menggunakan narkotik dan berusaha sembuh. Itu hebat banget,” ujar Dewa Budjana, yang dikenal sebagai pemusik yang sangat antinarkotik. “Saya dan Armand memang tetap jalan terus sesudah Thomas keluar karena yakin Thomas akan sembuh,” tutur Dewa lagi.
Kembalinya “si anak hilang” seolah meniupkan napas baru ke dalam raga Gigi. Bersama Thomas, Gigi berkewajiban menyelesaikan dua album dengan pihak Sony Music dan menemui para penggemarnya lewat konser di berbagai daerah. Bintang Gigi memang belum pudar.
Pas Band: Memulai dengan Modal Pas-pasan
SESUAI dengan namanya, kuartet rock asal Bandung ini didirikan dengan modal serba pas-pasan. Baik kemampuan maupun peralatan yang dimiliki serba ngepas. Adalah Yukie (vokal), Bambang (gitar), Trisno (bas), Freddy (keyboard) dan Herry (drum) yang pada 1992 berhasil merebut simpati publik Kota Kembang dengan suguhan musik-musik alternatif dari kelompok Red Hot Chili Pepper, Nirvana, Faith No More, dan Ugly Kid Joe. Belum sempat mereka memproklamasikan sebuah nama, Freddy dan Herry memilih hengkang dari kelompok ini untuk menyelesaikan kuliahnya. Sempat oleng sesaat, Pas Band kembali stabil setelah Tony dan Richard masuk memperkuat barisan.Modal yang serba pas-pasan ini tidak menghalangi lompatan karir para pemuda alumni Universitas Padjadjaran itu. Pernah dalam sebuah pertunjukan di Bandung, mereka bermain tanpa membawa alat sama sekali. Mereka duduk di dekat panggung sambil berharap bisa meminjam alat dari musisi lain yang sudah kelar tampil. Nyatanya penonton menghujani Pas dengan keplokan yang sangat meriah. Dalam sekejap, aksi panggung mereka yang gila-gilaan—meloncat, menendang, dan berlari ke sana kemari—langsung mendapat tempat di hati penggemar musik alternatif.
Setahun kemudian, Pas Band melepas album mini berjudul Four through the Sap. Tiga dari empat lagu dalam album itu dilantunkan dalam teks bahasa Inggris, yaitu Gangster of Love, Old Fashion Sickness, dan Here Forever. Hanya Dogma yang menggunakan bahasa Indonesia. Yukie mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan menggunakan lirik bahasa sendiri dalam lagu-lagu Pas, yang umumnya berirama cepat. "Saat itu Yuki merasa lebih pas bernyanyi dalam bahasa Inggris. Bukan untuk gaya-gayaan," ujar Richard Mutter, drummer Pas yang kini memutuskan untuk keluar dari band itu.
Pada awalnya, album beredar dalam jumlah terbatas. Produksinya pun ditangani sendiri. Ternyata, model pemasaran seperti ini tidak sukses. Akhirnya, Pas Band menerapkan sistem jual label kepada Nova Records. Untuk distribusi, mereka menyerahkan kepada Tropic Bandung. Ternyata, sambutan konsumen sangat bagus. Para personel Pas langsung sibuk menandatangani aneka kontrak yang menandakan kesuksesan mereka.
Kini, tentu saja kisah musisi yang tampil serba pas-pasan itu tinggal cerita bagi anak-anak muda ini. Rupiah demi rupiah yang mereka kantongi dalam tiap pertunjukan bukan saja cukup untuk membeli alat musik lengkap, tapi juga bisa mengucurkan “gaji” bulanan buat para personel Pas pada saat tidak ada tawaran show. Dan hidup serba nge-“pas” adalah sebuah masa lalu.
Potret: Lagu-Lagu yang Memiliki Daya Kejut
Melly identik dengan sukses. Dan Melly juga identik dengan kelompok Potret.
Inilah potret salah satu kelompok musik anak muda yang secara meteoris melesat—dan sekaligus melibas—bintang-bintang musik lainnya. Sederet penghargaan telah dikantongi kelompok yang terdiri atas Melly Goeslaw (vokal), Anto Hoed (bas), dan Ari Ayunir (drum) ini. Simak saja prestasi yang telah diraih. Di Ajang Musik Indonesia tahun silam, Potret memborong tiga gelar sekaligus: untuk lagu, grup, dan album alternatif terbaik.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, di final Video Musik Indonesia, Melly dan kawan-kawan juga diganjar berbagai penghargaan. Melly, umpamanya, menggondol gelar artis interpretasi terbaik untuk klip video Diam. Lagu yang sama juga dinobatkan sebagai karya yang memiliki gagasan inovatif terbaik.
Bukan hanya jejalan gelar yang berhasil diraih yang menjadi ukuran keberhasilan Potret. Kaset yang mengemas lagu-lagu yang mereka rilis pun laris manis di pasaran. Tiga album Potret telah terjual lebih dari 300 ribu keping.
Padahal, pada awal perjalanannya, grup ini sempat dilecehkan sesama pemusik. Potret, yang terbentuk pada 1995, dinilai tak akan mampu bertahan di tengah ingar-bingar persaingan bisnis musik. “Ada teman yang mencibir kepada Potret ketika band ini baru dibentuk. Tak akan bertahan, begitu kata mereka,” demikian tutur Anto Hoed, yang juga suami Melly, pada sebuah wawancara di satu stasiun televisi swasta. Toh, segala celaan itu dianggap sebagai angin lalu saja. Berbekal keteguhan sikap itulah Potret akhirnya masuk dapur rekaman dan sukses dengan terjualnya album pertama, Potret I, sebanyak lebih dari 80 ribu keping.
Apa kiat sukses Potret? Warna musik mereka sebenarnya tak jauh beda dengan kelompok musik lain yang tengah digandrungi anak-anak muda, seperti Gigi dan Dewa 19, yaitu perpaduan pop-rock dan sedikit disko. Lalu, apa yang membedakan Potret dengan kelompok lainnya? Lirik-lirik lagunya—yang kebanyakan diciptakan Melly itu—terbilang melawan arus musik konvensional lantaran nyeleneh, sedikit nakal dan jenaka. Ada yang berkisah tentang gadis remaja yang merebut pacar temannya, ada pula yang menceritakan soal pembalasan dendam. Bagaimana Melly bisa meramu lirik yang begitu bagus dan lucu? “Karena saya termasuk orang yang tidak suka baca, kosakata saya adalah bahasa sehari-hari. Tapi orang lain jadi lebih gampang mencerna,” tuturnya pada sebuah wawancara dengan TEMPO.
Ternyata, lirik-lirik semacam ini cepat diterima khalayak pendengar. Dan hasilnya ya itu tadi. Potret melejit, albumnya laku terjual dan memborong sederet penghargaan.
Kunci keberhasilan Potret lainnya adalah sosok Melly Goeslaw, yang multibakat. Tangan dingin anak sulung penyanyi pop terkenal era 1970-an, Melky Goeslaw, ini bagaikan Raja Midas saja, yang bisa mengubah benda-benda yang disentuhnya menjadi emas. Melly terkenal produktif menghasilkan puluhan lagu untuk kelompok Potret, baik dibawakan sendiri maupun dilantunkan penyanyi lain. Misalnya lagu Jika, yang dinyanyikan bersama Ari Lasso itu, juga melejit.
Yang terakhir tentu saja adalah peran Anto Hoed, yang mengaransemen semua lagu ciptaan Melly, sebagai satu sosok yang memahami bagaimana menerjemahkan lagu Melly—yang sering tidak konvensional itu—ke dalam kemasan musik yang sedap. Dan pasangan itu—ditambah drummer Ari Ayunir—kini telah memeluk sukses. Inilah kelompok yang selalu dinanti karena lazimnya menyajikan satu atau dua nomor kejutan dalam lirik lagunya.
Slank: Perang Melawan Narkotik
Slank memang bukan sekte satu agama. Tapi grup musik ini punya pengikut fanatik. Para pemuja kelompok yang telah berkibar lebih dari satu dekade ini menyebut diri mereka Slankers. Setiap hari, dapat dipastikan selalu ada Slankers yang nongkrong di Jalan Potlot 14, Pasarminggu, Jakarta Selatan itu. Dan saking fanatiknya, Bim Bim, drummer dan salah seorang pendiri Slank, sempat diancam akan dibunuh oleh para Slankers saat ia berencana membubarkan Slank. Ide itu terlintas setelah angin kencang mengguncang Slank saat grup ini berada di puncak kesuksesan. Kekompakan di antara kru awal yang terdiri dari Bim Bim, Kaka, Pay, Bongki, dan Indra itu mulai retak. Buntutnya, tiga orang terakhir ini “dikenai PHK” alias dikeluarkan dari Slank.
Tak bisa disangkal, Slank adalah fenomena tersendiri di dunia musik Indonesia. Slank, yang kini terdiri dari Kaka (vokal), Bim Bim (drum), Abdee (gitar), Ridho (gitar) dan Ivan (bas), telah menelurkan delapan album, sebagian besar laku keras di pasaran. Lirik-lirik lagu Slank—yang berasal dari kata slengean alias asal-asalan, semau gue— dekat dengan kehidupan anak muda sehari-hari. “Kami bercerita soal diri sendiri, soal seks, soal drugs, soal sehari-hari. Justru itu mendapat sambutan,” tutur Bim Bim.
Pada 1994, markas mereka di Jalan Potlot dikenal sebagai kawah penggojlokan para musisi papan atas Indonesia. Berawal dari tempat kumpul-kumpul sejumlah musisi muda, akhirnya dari rumah ibunda Bim Bim itu melejit nama-nama Imanez, Oppie Andariesta, dan grup Kidnap Katrina dengan vokalisnya, Anang. Komunitas Potlot kemudian tumbuh menjadi rumah produksi serius bernama Pulau Biru. Lewat Pulau Biru inilah segala aktivitas dikendalikan, mulai urusan kontrak, fans club, merchandise, sampai urusan tetek-bengek manajemen lainnya. Namun, seiring dengan pecahnya formasi Slank awal, Geng Potlot akhirnya bubar di jalan. Walhasil, kini Pulau Biru, yang dipimpin Bunda Iffet, ibu Bim Bim, hanya menangani manajemen Slank.
Di balik kesuksesannya itu, Slank bukanlah “nabi” yang bersih dari cela. Wajah grup musik rock ini tersaput warna kelabu pemakaian narkotik dan obat terlarang. Selama enam tahun, hampir tiap hari para personel Slank mencicipi putaw untuk terbang ke dunia mimpi. Untunglah, sebelum terlambat, kesadaran itu segera datang. “Gua capek, badan hancur, duit juga ludes. Sekarang kita menyatakan perang terhadap narkotik!” kata Bim Bim serius.
Hendriko L. W, Andari K. Anom, Ardi B, Dwi Wiyana (Jakarta), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo