Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN senyum mekar, Kanjeng Pangeran Haryo Rusdihardjo menyambut wartawan Tempo di beranda rumahnya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu. Bekas orang nomor satu di Kepolisian RI itu akhirnya mau buka mulut untuk menjawab tudingan serius tentang keterlibatannya dalam praktek korupsi di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia. “Ini bukan interogasi kan?” katanya bercanda, membuka percakapan.
Semasa menjabat duta besar di negeri jiran itu pada 2003-2007, Rusdihardjo ditengarai ikut menikmati sejumlah uang haram dari keringat tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Tudingan datang dari bekas anak buahnya, Arihken Tarigan, yang diduga ikut terlibat kasus korupsi pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur. Dia tak gentar. Kata lelaki 63 tahun yang kini berambut putih itu, justru dialah yang getol membabat praktek percaloan di sana.
Bagaimana keberadaan calo sewaktu Anda menjadi duta besar?
Saya datang pada Januari 2004, KBRI semrawut. Calo banyak, pemeras dan penipu tak sedikit. Padahal seribu orang datang setiap hari mengurus dokumen. Kalau habis libur, bisa tiga ribu. Saya miris dan sedih melihatnya. Lalu saya tertibkan, 1 April harus bersih.
Tapi percaloan tetap marak.…
Ya. Agen yang seharusnya menjemput bola malah mencegat TKI di pintu KBRI. Saya datangkan Brimob dan Gegana untuk menangkap mereka dan menyelidiki staf saya. Saya selidiki staf rendahan yang hidup mewah. Ada tiga orang yang cukup bukti bekerja sama dengan calo, dan saya laporkan ke departemen teknis. Kewenangan saya cuma melaporkan. Mereka akhirnya dipecat.
Menurut temuan kami di Malaysia, agen itu ditunjuk resmi oleh Anda.…
Ide dasarnya jemput bola. Banyak TKI tinggal di desa yang jauh dari Kuala Lumpur. Kalau mengurus dokumen sendiri, makan waktu. Mereka bisa dipecat majikan, kehilangan penghasilan. Agen itu datang untuk mempermudah. Mereka mengumpulkan foto dan persyaratan dokumen, lalu dibawa ke KBRI. Mereka tak boleh memungut biaya dari TKI, tapi dari perusahaannya. Sebab, ada konvensi PBB bahwa di kedutaan tak boleh ada badan usaha yang memungut biaya dari pekerja.
Faktanya mereka memungut 20 ringgit dari TKI?
Ya, itu ekses dan permainan. Saya tegur yang ketahuan. Saya putus kontraknya. Agen ini tak boleh sembarangan. Mereka harus badan hukum, kantornya jelas, orangnya bagus. Sewaktu dibuka, banyak yang daftar, ada dari partai segala. Karena memang ada fee, menggiurkan. Akhirnya saya tunjuk lima agen. Ini seperti biro jasa mengurus surat izin mengemudi, sah saja sepanjang tak ada pemalsuan.
Agen mengaku sebagian hasil pungutan itu diminta KBRI untuk biaya menyambut tamu. Benarkah?
Anggaran untuk tamu ada. Tapi partisipasi juga ada. Setiap tahun ada 105 kunjungan. Ada juga insiden pemulangan TKI. Dari mana uangnya? Saya kontak imigrasi, apakah ada anggaran untuk pengacara, untuk ongkos pemulangan, dan lain-lain. Saya tidak tahu dari mana sumbernya. Saya ini manajer, urusan saya dengan perdana menteri, urusan teknis oleh atase.
Tim Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri kemudian mengusut kasus ini.…
Ya, dari merekalah saya justru tahu ada tarif ganda pengurusan dokumen keimigrasian.
Bukankah Arihken sudah melaporkan adanya tarif ganda begitu Anda tiba?
Ha-ha-ha..., omong kosong. Kalau saya membiarkan sesuatu yang palsu, apalagi ada uangnya, saya sudah gila. Terus terang, gaji saya cukup untuk hidup di Malaysia dengan istri saya. US$ 6.000 (Rp 56 juta) itu lebih dari cukup.
Arihken juga mengaku setiap bulan menyetor 40 ribu ringgit kepada Anda.…
Itu kan menurut catatannya. Dia juga bisa menulis US$ 3 juta, bukan? Mungkin karena psikologi tersangka, semua orang “ditembak”.
Tarif ganda diberlakukan mulai 1999, tidakkah Anda curiga ada yang aneh?
Sewaktu serah-terima jabatan, tak ada informasi itu. Lagi pula tiap tahun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit, Inspektorat Jenderal juga mengaudit. Kenapa baru ketahuan tahun 2005?
Apa yang Anda lakukan setelah tahu ada dua tarif?
Saya cabut peraturan yang tarifnya tinggi. Bahwa dalam prakteknya tetap ada pungutan dengan tarif tinggi, itu soal lain. Saya sudah berusaha membenahi, tapi kok masih juga terjadi hal-hal begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo