Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN bus umum di sejumlah kawasan di Jakarta tergusur proyek busway pada 2004. Trayek basah yang mereka kuasai bertahuntahun digeser. Mereka pun diberi keistimewaan menjadi operator di sistem transportasi umum baru: bus khusus di jalur khusus.
Mereka diharuskan membentuk konsorsium. Terbentuklah antara lain Jakarta Mega Trans (gabungan Mayasari, Steady Safe, PPD, Pahala Kencana) serta Jakarta Trans Metropolitan (gabungan Mayasari, Steady Safe, Bianglala, PPD). Mereka mengoperasikan 122 bus di koridor IV sampai koridor VII.
Karena ditunjuk langsung, operator diduga menjulangkan harga. Namun Direktur Operasional Jakarta Mega, Jun Tambunan, membantah tuduhan itu. Ditemani Direktur Operasional dan Teknis Jakarta Trans Metropolitan, I Gusti Ngurah Oka, Jun memberikan wawancara kepada Tempo di kantor Jakarta Trans, Pondok Gede, Jakarta Timur, awal Juni lalu.
Bagaimana konsorsium ditunjuk menjadi operator?
Konsep busway adalah untuk memperbaiki angkutan. Agar perusahaan angkutan tidak menjadi korban, ini kompensasinya. Pada saat koridor II dan III, pemerintah tidak punya dana lalu meminta operator bus kota. Pemerintah meminta spek tertentu. Perundingan mulai alot. Lalu muncul perintah Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta di masa itu). Dia bilang, ”Tanggal sekian saya mau launching, jadi harus ada.”
Pelaksanaannya dikebut?
Ketika baru ada 71 dari 126 unit bus yang dibutuhkan di koridor ii dan iii, koridor IV sampai VII dimulai. Padahal membeli bus perlu inden. Negosiasi dilakukan pada September. Setelah beberapa pertemuan, kami meminta Rp 13.200 per kilometer, mengacu pada tarif koridor II dan III yang Rp 12.550 per kilometer. Konsultan PT Rekadaya Sentosa malah mengajukan Rp 13.900 per kilometer.
Bagaimana kesepakatannya?
Badan Layanan Umum tidak memutuskan. Tapi launching mesti dilakukan pada Desember 2006—meski kemudian mundur ke Januari 2007. Karena tidak ada harga satuan, negosiasi tidak putus-putus. Sutiyoso tidak mau tahu. Waktu itu ada pertemuan gubernur se-Indonesia dan menteri, lalu proyek busway diumumkan. Kami jalan tanpa perjanjian kerja. Nama baik Gubernur harus dijaga.
Mengapa tetap jalan tanpa kontrak?
Karena akan ada pembayaran. Untuk pegangan, dibuatlah surat perintah kerja pertama pada Maret 2007, walau berlakunya mundur ke Januari. Pada Juni, keluar surat perintah kerja kedua. Di situ diberi tahu ada Peraturan Gubernur Nomor 123 yang juga membuka peluang lelang.
Apa reaksi konsorsium?
Kami pelajari. Di situ diatur, kalau ada hasil lelang, negosiasi mengikuti harga terendah. Badan Layanan mengacu pada harga ini, menundanunda kontrak sampai lelang. Mereka beralasan takut diborgol Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengapa tarif konsorsium jauh lebih mahal?
Seperti membeli telepon seluler, ketika pertama keluar harganya Rp 3 juta. Setahun kemudian sudah turun menjadi Rp 2 juta. Kami juga punya konsultan yang menghitung.
Tapi ada anggota konsorsium yang ikut lelang.
Aturannya tak boleh, karena sudah mendapat (penunjukan). Ini soal etika.
Anggota konsorsium itu mengajukan tawaran lebih rendah.
Perusahaannya kan lain. Kalau masih ada lelang, kami pun akan menawar Rp 6.000. Makanya, kalau ada koridor lagi, bubarkan saja Peraturan Gubernur (yang membolehkan penunjukan langsung). Kita adu kuat saja.
Bunga pinjaman konsorsium mengapa sedemikian tinggi?
Mereka (peserta lelang) pinjam bank setelah busway berhasil. Sudah ada kontrak, parameter, banyak bank yang mau. Waktu kami belum ada apaapa, mana ada bank mau? Bunga saat itu 21 persen. Setelah itu turun.
Lalu soal asuransi yang lebih mahal?
Kami ajukan all risk. Kalau memang harus kembali ke total loss only, tak apaapa. Selain itu, kami yang menanggung biaya keselamatan.
Kami mendapat info, konsorsium memermak pembelian suku cadang. Contohnya, harga AC sampai Rp 90 juta?
Itu tidak jadi masalah, yang penting sesuai dengan rencana dan menurut harga pasar. Pengaruhnya tak banyak ke tarif. Alat pendingin Rp 90 juta itu karena pekerjaannya dipercepat.
Mengapa banyak bus yang saling salip, bukankah konsorsium dibayar per kilometer?
Teorinya begitu. Tapi di lapangan? Yang mengatur bukan kami, tapi Badan Layanan Umum. Ini ada dua harga, Badan Layanan memilih yang mana. Ya pasti yang lelang.
Daripada bus gue dipulangin petugas, apa pun gue lakukan. Jadinya ”salam tempel” (menyogok petugas). Kembali seperti dulu, ugal-ugalan, dan saling kejar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo