Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ditumpuk, surat dan berkas dokumen itu sudah setebal bantal. Inilah materi hasil perundingan selama tiga tahun antara dua konsorsium operator busway dan Badan Layanan Umum Transjakarta. Inti bahasan mereka: ongkos busway per kilometer.
Rapat-rapat negosiasi berlangsung sengit dan alot. Tak jarang diwarnai adu mulut dan gebrak meja. ”Kedua pihak sama-sama keras,” direktur sebuah perusahaan bus menuturkannya kepada Tempo, awal Juli lalu.
Ada lima perusahaan bergabung dalam dua konsorsium: Jakarta Trans Metropolitan yang mengoperasikan koridor Pulogadung-Dukuh Atas dan RagunanDukuh Atas. Dan Jakarta Mega Trans yang mengelola Koridor Kampung Melayu-Ancol dan Kampung Rambutan-Kampung Melayu.
Mulamula, pada 2006, konsorsium menyodorkan Rp 15.965 per kilometer. Menurut Jun Tambunan, Direktur Operasi Jakarta Mega, harga penawaran sudah wajar. Alasannya, koridor Blok M-Kota yang menggunakan bus pemerintah saja sudah naik dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000 per kilometer. Ini tarif setelah harga bahan bakar solar dan gas melonjak pada tahun itu.
Badan Layanan rupanya tak mau terima begitu saja. Rekadaya Sentosa, perusahaan konsultan yang berkantor di ruko dua lantai di Pamulang Plaza, Tangerang, Banten, diminta memverifikasi komponen proposal konsorsium. Rekadaya lalu menyodorkan angka Rp 13.900. ”Setahu saya ini angka tertinggi,” kata Deni Robert, konsultan di perusahaan itu, Selasa pekan lalu.
Badan Layanan belum puas karena Rekadaya hanya menghitung harga mesin dan suku cadang. Lembaga itu pun membentuk tim sendiri untuk verifikasi ulang. Hasilnya adalah angka Rp 12.885.
Konsorsium, yang semula bertahan, akhirnya sudi menurunkan harga ke Rp 13.200. Verifikasi Rekadaya menjadi acuan mereka. Tarif operator yang ditunjuk langsung, Rp 12.550, juga mereka perbandingkan. Pada koridor Pulogadung-Harmoni dan Harmoni-Kalideres, skema kerja sama Badan Layanan dan operator sama. ”Ini sudah lebih rendah dari harga konsultan, kami tak bisa lagi turun dari harga ini,” tutur Jun.
Negosiasi mentok. Badan Layanan lalu meminta ”fatwa” Dewan Transportasi Kota agar menjadi penengah. Dewan menengahi dengan cara menyodorkan median harga dua kubu: Rp 13.042. ”Negosiasi ketika itu amat alot sehingga kami ambil jalan tengah agar bisa selesai,” kata Sutanto Soehodho, Deputi Gubernur. Dulu, dia Ketua Dewan Transportasi.
Menurut Sutanto, Dewan memberi catatan agar semua komponen biaya yang diajukan konsorsium dilihat lagi. Sebab, biaya sejumlah pos dianggap terlalu tinggi. Di antaranya bunga pinjaman 20 persen.
Belum sreg dengan angka Dewan Transportasi, Badan Layanan membawa ketiga alternatif harga ke kantor gubernur. ”Tentu saja, mereka memilih harga paling rendah, Rp 12.885 per kilometer,” kata Drajad Adhyaksa, Kepala Transjakarta periode 2007-2008. Konsorsium menerima tarif yang ditetapkan kantor gubernur dengan catatan harga gas ditinjau ulang.
Negosiasi yang berujung pada kesepakatan pada 14 Mei 2007 itu dilakukan ketika bus sudah meluncur di jalanan Jakarta. Sutiyoso telah meresmikan operasionalisasi bus abu-abu itu empat bulan sebelumnya.
Dasar pembayaran bukan berdasarkan kontrak, melainkan hanya surat perintah kerja dengan upah sementara Rp 12.885. Bus dipaksa jalan tanpa dasar hukum karena Sutiyoso tak mau peresmian koridor diundur lagi. Peresmian pada Januari 2007 bahkan sudah molor sebulan dari rencana semula.
Masalah tak berhenti pada ihwal operasional bodong. Badan Layanan tak punya acuan peraturan memilih tarif Rp 12.885. Seorang petinggi Dinas Perhubungan bercerita, Biro Hukum Gubernur yang ikut menilai angka itu tak berani memutuskan. Alasannya, tarif itu memakai acuan harga tertinggi. ”Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menyeret kami,” ujar si petinggi kepada Tempo.
Kontrak tak jadi dibikin. Busway pun mengitari Jakarta hanya dengan modal surat perintah kerja Kepala Badan Layanan dengan adendum: ”ini tarif sementara sampai diperoleh harga final”.
Bus konsorsium sebenarnya hanya mencukupi 60 persen kebutuhan. Untuk memenuhi kekurangannya, pemerintah membuka tender ke perusahaanperusahaan lain. Pada pertengahan 2007, 12 perusahaan otobus mengajukan penawaran harga untuk mengelola sisa operasional koridor itu.
Lelang tak terpaku kepada perusahaan yang sudah punya konsesi. Dalam daftar peserta lelang ada nama Perum Damri, Blue Bird, Primajasa, Lorena. Awalnya, seorang peserta lelang membuka rahasia: tender akan dikuasai perusahaan anggota konsorsium melalui sistem arisan. ”Sehingga pembagiannya rata, satu perusahaan pegang satu koridor,” kata pria ini.
Itu sebabnya, harga penawaran perusahaan anggota konsorsium tak jauh beda, Rp 10.000 hingga Rp 12.000. Mujur tak dapat ditolak. Ketika amplop pengajuan dibuka, Lorena dan Primajasa pasang harga jauh lebih murah: Rp 9.334.
Lorena dan Primajasa lantas ditetapkan sebagai pemenang. ”Kami pebisnis, tentu harga (yang kami ajukan) sudah ada untungnya,” kata Ryanta Soerbakti, Direktur Pengelolaan Lorena Busway.
Jun Tambunan menyangkal mengatur ”arisan” pemenang untuk sesama anggota konsorsium. Menurut dia, sejak awal tender dibuka untuk umum. ”Agar adil, mestinya perusahaan yang sudah mengelola koridor tak boleh ikut,” kata Jun, yang juga direktur Steady Safe.
Nah, inilah pangkal kisruh busway selama ini. Badan Layanan menyodorkan harga hasil lelang kepada konsorsium. Alasannya, konsorsium sepakat mengikuti tarif final. Kepala Badan Layanan bahkan sempat mengancam menghentikan operasionalisasi bus jika menolak harga hasil lelang.
Jun jelas tak mau tarifnya disamakan. Ia beralasan, perhitungan komponen berbeda karena waktu penunjukan dan lelang terpaut satu tahun. Ia mencontohkan bunga pinjaman modal yang ia dapat 21 persen karena Bank Muamalat belum melihat prospek bisnis ini. ”Kalau Anda beli telepon seluler dua tahun lalu, harganya pasti turun tahun ini kan?” katanya.
Konsorsium pun menuntut tetap dibayar Rp 12.885. Sementara Badan Layanan bertahan di harga lelang karena ogah dituding merugikan kas negara. Apalagi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan juga merekomendasikan harga lelang sebagai tarif wajar. Badan Pengawas menilai ada penggelembungan biaya manajemen, harga ”muskil” suku cadang, skema asuransi, dan bunga kredit kelewat tinggi yang dicantumkan konsorsium.
Wakil Gubernur Prijanto lalu membuat perintah, upah hanya dibayar 85 persen dari harga kesepakatan sementara sambil menunggu negosiasi ulang. Konsorsium meradang. Mereka menggugat pemerintah Jakarta dan Badan Layanan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Pemerintah tak kalah gertak. Kepada Arbitrase, mereka melayangkan jawaban dengan menyertakan notulensi serta surat-surat yang tebalnya sekitar tujuh sentimeter—mirip buntalan bantal kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo