Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

<font size=2 color=#FF3300>David Hidayat:</font><br />Tanah untuk Tanaman Jamu

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA David Hidayat tiba-tiba akrab di telinga warga Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur. Bungsu generasi ketiga pemilik perusahaan Jamu Sido Muncul itu—lainnya Irwan Hidayat, Sofyan Hidayat, Johan Hidayat, dan Sandra L. Hidayat—kini disebut-sebut salah satu ”raja” tanah di Blok Cepu, Bojonegoro.

Sayang, David pelit bicara. Komisaris Sido Muncul itu menolak permohonan wawancara yang dititipkan kepada sekretarisnya. Telepon selalu tak bersahut. Di rumah dan kantornya di kawasan industri Bugangan, Semarang, ia juga tak muncul.

Pertengahan Desember lalu, Tempo mengontak Suhadi, Direktur Produksi Sido Muncul, minta dihubungkan dengannya. Esoknya David menelepon. ”Saya tak suka dipublikasikan,” katanya. Bahkan, ia mengaku pernah menolak undangan sebuah lembaga yang memberinya penghargaan bisnis. Hanya Irwan Hidayat yang terbiasa berhadapan dengan media dan publik.

Soal tanah di Cepu? ”Tidak banyak informasi yang bisa saya berikan,” kata David. Tempo lalu menghubungi Irwan, yang sedang di Jakarta, untuk memperjelas duduk soal, sehari sebelum Natal. ”Saya sudah tanya dia,” kata Direktur Utama Sido Muncul itu. ”Apakah salah membeli tanah di Bojonegoro?” Berikut penuturan mereka, ditambah penjelasan Erdyn Sutjahyo, Camat Ngasem:

Nama Anda sangat tenar di Blok Cepu.…

David: Saya memang punya tanah di sana.

Di mana?

David: Di daerah Banyu Urip, tepatnya di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem. Luasnya 2,2 hektare.

Menurut informasi yang kami kumpulkan, Anda punya puluhan hektare di desa-desa sekitar sumur minyak.…

David: Tidak benar. Tanah saya di Mojodelik bahkan belum dibaliknamakan atas nama saya. Jika benar ada segitu, 10 hektare untuk Anda. Kalau tak percaya, tanya saja Erdyn Sutjahyo. Dia tahu tanah saya ada berapa. (David memberikan nomor telepon seluler Erdyn yang cocok dengan nomor yang dimiliki Tempo.)

Erdyn : David orang Ngasem, tapi jarang tinggal di rumah karena dia pedagang. Saya tak kenal.

Irwan: Kepada saya, David mengaku cuma punya 2,2 hektare. Kalau betul ada puluhan hektare, mungkin dia berbohong kepada saya.

Mulai kapan membeli tanah di Blok Cepu?

David: Lima tahun lalu. Saya beli dari Sutrisno Yuwono, kontraktor dari Semarang. Harganya Rp 20 ribu per meter persegi.

Erdyn: Di Banyu Urip, jual-beli tanah sudah terjadi lama. Itu hal biasa. Tapi memang intensif mulai 2006, setelah Exxon jadi operator.

Menurut data yang kami punya, Anda bermodal KTP Ngasem untuk membeli tanah.…

David: Wah, ke Bojonegoro saja saya baru sekali, sewaktu mau lihat tanah dari Sutrisno itu. Bagaimana saya bisa punya KTP Bojonegoro?

Erdyn: Karena orang asli Ngasem, dia punya KTP. Alamatnya di RT 8, RW 3.

Untuk apa membeli tanah di Blok Cepu?

David: Untuk budi daya tanaman jamu.

Tapi kok tak ada tanaman jamu di sana?

David: Itu proyek gagal karena tanahnya ternyata tak cocok.

Bukan untuk meraup untung dari jual-beli tanah?

David: Tidak. Bernegosiasi dengan Exxon saja belum pernah. Jangan kaitkan saya dengan Exxon. Tapi, kalau Exxon mau beli mahal tanah saya, saya senang sekali.

Irwan: Kalau nanti ada negosiasi dengan Exxon, dan harga tanah di sana mahal, saya mau, deh, mewakili David bernegosiasi, ha-ha-ha.…

Tapi ada orang yang mewakili Anda di sana.…

David: Siapa? Tidak ada. Tidak ada sama sekali.

Irwan: Januari ini saya akan ke Blok Cepu. Mau lihat-lihat. Apa salah membeli tanah di sana?

Ada ketentuan, tanah yang sudah ada izin pengelolaan tidak boleh berpindah tangan.…

Irwan: Saya kira wajar jika orang ramai-ramai membeli tanah yang diperkirakan harganya akan mahal.

Erdyn: Kalau jual-beli antarwarga saja tidak masalah. Lagi pula, tidak mungkin kalau yang beli tanah itu pengusaha. Kalau 1-2 tahun tanah itu tidak dibeli Exxon, mereka pasti rugi karena modalnya pinjam ke bank.

Kenapa jual-beli tanah marak?

Erdyn: Karena Exxon tak konsisten. Mereka cuma mengukur tanpa jelas mau membeli atau tidak. Jadinya, harga tanah juga naik terus. Padahal, kalau Exxon mau Rp 60 ribu per meter saja, warga pasti mau jual. Kami semua menunggu kepastian dari Exxon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus