Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKERJAAN resminya guru SMP Negeri Kalitidu, Bojonegoro, Jawa Timur. Tapi ke mana-mana Parmani, 43 tahun, menyetir Suzuki Escudo biru laut umur setahun. Encik Guru juga selalu tampil rapi jali: berbatik atau bersalut kemeja licin ala eksekutif. Mainnya ke kafe dan hotel berbintang. Sesekali ia berbicara di seminar tentang minyak dan gas.
Bukan karena profesi guru itu Parmani fasih cas-cis-cus perkara migas. Tapi karena jabatan lain: Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Banyu Urip-Jambaran. Forum ini kerap menjadi penghubung perusahaan-perusahaan migas yang punya konsesi di Blok Cepu dengan masyarakat. Topik yang ditanganinya rupa-rupa: dari sengketa tanah sampai program sosial perusahaan migas.
Nama Parmani mencorong sejak sukses memimpin demonstrasi warga Bojonegoro ke Komisi Pertambangan DPR, April 2005. Mereka menuntut pemerintah pusat menyertakan Pemerintah Daerah Bojonegoro dalam pengelolaan Blok Cepu, dan meminta bagi hasil produksi. Ketika itu pemerintah masih bingung memilih Pertamina atau ExxonMobil Oil sebagai operator ladang migas itu.
Sepulang ia dari Jakarta, berbondong pengusaha yang ingin membeli tanah di Blok Cepu bertandang ke rumah Parmani di Desa Braboan. Fee jual-beli tanah itulah yang membuat Parmani tak bernasib seperti ”Korps Umar Bakri” di negeri ini. ”Ini bisnis sah,” katanya yakin. ”Yang penting tak membodohi rakyat.”
Kisah sukses menjadi calo tanah Blok Cepu juga menghampiri Soeparmo, 44 tahun. Keluar dari sebuah perusahaan migas, hidupnya tak sampai repot. Pada awal 2004, rumahnya disambangi Kolonel Soegono, Direktur PT Indonadi Perdana, perusahaan kontraktor yang dikelola sejumlah pensiunan tentara di Jakarta. Soegono terus terang ingin memborong tanah di Blok Cepu.
Dalam setahun warga Braboan itu berhasil mempersembahkan 30 hektare lebih kepada Indonadi. Rata-rata ia membeli tanah itu Rp 12-20 ribu per meter. Sepuluh persen fee dari tiap meter membuat hidupnya lapang. Keuntungan itu ia belikan lagi tanah. Sisanya untuk membangun rumah dua lantai yang mentereng, mobil Honda Genio, dan beberapa truk yang ia sewakan.
Berbeda dengan Parmani, Soeparmo lebih banyak melayani jenderal yang ingin kecipratan untung menjadi makelar di ladang emas hitam. ”Menjadi calo tak selalu negatif,” katanya. Menurut dia, menjual tanah kepada pemodal lebih menguntungkan dibanding kepada Exxon. Selain berbelit dan makan waktu, harga Exxon bisa tak sesuai dengan harapan. ”Kompensasi biasanya tak jelas,” kata kader Partai Demokrat yang gagal menjadi anggota DPRD Bojonegoro pada Pemilu 2004 itu.
Itu baru kisah sukses makelar ”eceran”. Bagaimana jika perantara itu orang yang punya kekuasaan? Mari kita intip kekayaan Erdyn Sutjahyo. Camat Ngasem sejak 2004 itu terkenal sebagai camat terkaya dari 27 camat di Bojonegoro. Sebagai camat yang merangkap pejabat pembuat akta tanah, Erdyn menguasai data tanah yang akan dibebaskan Exxon dan kewenangan mengesahkan jual-beli.
Dua rumah di samping kantornya berdiri megah di atas lahan 6.000 meter persegi. Di sebelahnya terpacak dua tower perusahaan telekomunikasi. Menurut jirannya, Erdyn menyewakan halaman rumahnya Rp 40 juta per tahun per tower. Belum lagi rumah di Kota Bojonegoro dan sejumlah tanah di desa-desa Ngasem. ”Di luar itu, saya tak tahu tanah mana lagi yang beliau punya,” kata Yapin, Kepala Dusun di Sendangharjo, yang ”membantu” Erdyn mencarikan tanah pesanan pengusaha.
Meski berlimpah kekayaan, Erdyn tak tampil mentereng. Ke mana-mana ia hanya menunggang sepeda motor Honda Win pelat merah atawa Kijang dinas. Mobil pribadi hanya jadi pajangan garasi. Ia menolak disebut menikmati untung dari jual-beli tanah warganya kepada pemodal. ”Tak ada, itu cuma isu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo